Budaya

Cak Nun: Antara PSK, Lautan Jilbab, dan Suara Perlawanan

×

Cak Nun: Antara PSK, Lautan Jilbab, dan Suara Perlawanan

Sebarkan artikel ini
Cak Nun
Emha Ainun Nadjib

Setelah ‘melahirkan’ Lautan Jilbab, Cak Nun pun membuat lakon Kiai Kanjeng yang menyuarakan kritik terhadap pengekangan hak asasi manusia di era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.

Tagar.co – Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun lahir 27 Mei 1953. Selain penulis, dia juga dikenal sebagai seniman, budayawan, ulama, penyair, cendekiawan, ilmuwan, sastrawan, filsuf, aktivis pekerja sosial, pemikir, dan kiai.

Menjelang jatuhnya pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi ora dadi presiden ora pathèken (arti dalam bahasa Indonesia adalah tidak jadi presiden tidak apa-apa).

Setelah Reformasi 1998, Cak Nun bersama Gamelan Kiai Kanjeng memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia. Aktivitasnya berjalan terus dengan menginisiasi Masyarakat Maiyah, yang berkembang di seluruh negeri hingga mancanegara.

Cak Nun bersama Kiai Kanjeng dan Masyarakat Maiyah mengajak untuk membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan. Dalam pandangan akademisi Barat, pemikiran dan kegiatan ini bisa dimasukkan dalam perjuangan decoloniality.

Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Ayahnya adalah petani dan tokoh agama (kiai) yang sangat dihormati masyarakat Desa Menturo, Sumobito, Jombang. 

Dia juga seorang pemimpin masyarakat yang menjadi tempat bertanya dan mengadu tentang masalah yang masyarakat hadapi. Begitu juga ibunya menjadi panutan warga yang memberikan rasa aman dan banyak membantu masyarakat.

Pendidikan formal Cak Nun dimulai dari Sekolah Dasar di desanya. Karena semenjak kecil sangat peka atas segala bentuk ketidakadilan, dia sempat dianggap bermasalah oleh guru karena memprotes dan menendang guru yang dianggapnya tak berlaku adil.

Suatu ketika ada guru terlambat mengajar dan Cak Nun memprotesnya. Karena sebelumnya Cak Nun pernah terlambat masuk sekolah dan dihukum berdiri di depan kelas sampai pelajaran usai.

Baca juga: Umar Kayam, Sastrawan yang Berseberangan Visi dengan Sukarno

Hukuman itu dia jalani sebagai konsekuensi kesalahannya dan itu merupakan aturan sekolah. Maka tatkala ada guru terlambat, menurut Cak Nun aturan yang sama harus diberlakukan. Ujungnya, dia keluar dari SD yang dianggapnya menerapkan aturan yang tidak adil itu.

Kemudian oleh ayahnya, Cak Nun dikirim ke Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Pada masa tahun ketiganya di Gontor, dia sempat menggugat kebijakan pihak keamanan pondok yang dianggapnya tidak berlaku adil.

Dia pun memimpin ‘demonstrasi’ bersama santri-santri lain sebagai bentuk protes. Namun protes itu berujung pada dikeluarkannya Cak Nun dari Pondok. Meskipun hanya 2,5 tahun di sana, Gontor memberikan kesan mendalam baginya. Budaya santri mengakar kuat dalam dirinya sehingga dia memiliki disiplin pesantren.

Kemudian Cak Nun pindah ke Yogyakarta melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah 4. Selanjutnya dia juga tamat SMA Muhammadiyah 1 bersama dengan teman karibnya, Busyro Muqoddas.

Usai SMA, dia diterima di Fakultas Ekonomi UGM. Di Kampus Biru ini, dia bertahan hanya satu semester, atau tepatnya empat bulan saja. Sebenarnya dia juga diterima di Fakultas Filsafat UGM, namun tidak mendaftar ulang.

Baca juga: Buya Hamka: Adat Minangkabau dan Kepeduliannya pada Nasib Umat

Istrinya, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film dan panggung, serta penyanyi. Bersama Novia, dia dikaruniai lima anak, yaitu Ainayya Al-Fatihah (meninggal di dalam kandungan), Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, Anayallah Rampak Mayesha, dan Sabrang Mowo Damar Panuluh atau yang akrab disapa Noe adalah salah satu putranya yang tergabung dalam grup band Letto dan CEO Symbolic.id.

Pada akhir tahun 1969 ketika masih SMA, Cak Nun memulai proses kreatifnya dengan hidup ‘menggelandang’ di Malioboro, Yogyakarta selama lima tahun hingga 1975. Kala itu, Malioboro menjadi tempat bertemu aktivis mahasiswa, sastrawan, dan seniman Yogyakarta. 

Malioboro menjadi salah satu poros dalam jalur Bulaksumur-Malioboro-Gampingan yang menandakan dialektika intelektual-sastra-seni rupa.

Sabrang Mowo Damar Panuluh, B.Sc. lebih dikenal sebagai Noe (lahir 10 Juni 1979) sang vokalis band Letto merupakan anak pertama Cak Nun dari pernikahan pertamanya dengan Neneng Suryaningsih.

Persada Studi Klub

Di Malioboro ini, Cak Nun bergabung dengan Persada Studi Klub (PSK), sebuah ruang studi sastra bagi penyair muda Yogyakarta yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius. Banyak yang mengatakan pertemuan dengan Umbu memberikan pengaruh dalam perjalanan hidup Cak Nun selanjutnya.

PSK yang didirikan tahun 1969 dan aktif hingga 1977, telah melahirkan sejumlah sastrawan terkemuka Indonesia, di antaranya Teguh Ranusastra Asmara, Imam Budhi Santoso, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, dan Cak Nun sendiri. Keberadaan PSK tidak dapat dipisahkan dari mingguan Pelopor Yogya.

Baca juga: Hanum Rais Kirim Surat Terbuka ke Erina Gudono: Lukai Perjuangan Kami

Baca Juga:  Sepeda Pertamaku

Kehidupan di PSK, di bawah asuhan Umbu, memang menuntut setiap penyair mudanya untuk berpacu setiap saat dengan ‘kehidupan puisi’. Dan ketika di PSK, Cak Nun termasuk yang produktif menghasilkan karya sehingga di usia yang masih belia, belum genap 17 tahun, dia sudah mendapatkan legitimasi sebagai penyair dan disematkan sebagai penyair garda depan yang dimiliki Yogyakarta.

Semasa di Malioboro ini, Cak Nun yang masih SMA sering bolos sekolah karena asyik dengan dunia sastra. Dia pernah membolos hampir 40 hari dalam satu semester. Ini membuat dia mulai tidak disukai guru-gurunya, ditambah rambutnya gondrong yang dianggap melanggar peraturan sekolah. Tapi dia mengatakan dirinya lebih suka mencari hal-hal yang belum diketahuinya namun tidak didapatkannya di sekolah.

Lautan Jilbab

Selain bersama Teater Dinasti, di akhir era 80-an dan awal 90-an, Cak Nun juga menghasilkan karya-karya naskah pementasan drama seperti Santri-santri KhidlirSunan Sableng dan Baginda FaruqKeluarga SakinahLautan JilbabPak Kanjeng, dan Perahu Retak

Pementasan Lautan Jilbab diangkat dari judul puisi berjudul sama. Puisi ini tercipta pada 16 Mei 1987 secara spontan, sore hari sebelum Cak Nun mengisi acara Ramadan in Campus yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM.

Setelah penampilan penyair Taufiq Ismail di boulevard UGM, pentas puisi Lautan Jilbab mendapat sambutan hangat 6000-an orang yang hadir. Puisi ini kemudian mengalami revisi, dari satu judul berkembang menjadi 33 sub judul, terhimpun dalam buku Syair Lautan Jilbab yang terbit tahun 1989.

Pada masa Orde Baru ketika itu, pemakaian jilbab di kalangan muslimah Indonesia, terutama di sekolah dan tempat kerja dilarang oleh pemerintah. Karena pemakaian jilbab dianggap sebagai fenomena politik Islam.

Atas bentuk represi Orde Baru itu, Cak Nun yang sejak kecil menentang ketidakadilan, memandang tindakan pemerintah ini melanggar hak asasi perempuan untuk berjilbab. Puisi Lautan Jilbab ini merupakan resistensi Cak Nun terhadap pembatasan hak asasi manusia oleh Orde Baru.

Drama Lautan Jilbab pertama kali dipentaskan kelompok Sanggar Shalahuddin UGM, disutradarai oleh Agung Waskito dengan supervisor Dr. Kuntowijoyo. Pementasan ini dianggap memecahkan rekor jumlah penonton.

Tidak kurang dari 3000 penonton pada malam pertama dan sekitar 2000 penonton saat malam kedua. Karena antusias yang tinggi itu, drama ini dipentaskan di banyak kota selain Yogyakarta, yaitu di Madiun, Malang, Surabaya, Bandung, Jember, dan Makassar.

Baca juga: Perjalanan Terakhir Buya Hamka, Catatan Media dan Sahabat

Puisi dan pementasan teater Lautan Jilbab tak ubahnya sebuah ajakan perlawanan. Sejak itu pemakaian jilbab punya arti perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru. Cak Nun mengungkapkan alasan perlawanannya:

Pakai jilbab atau tak berjilbab adalah otoritas pribadi setiap wanita. Pilihan atas otoritas itu silakan diambil dari manapun: dari studi kebudayaan, atau langsung dari kepatuhan teologis. Yang saya perjuangkan bukan memakai jilbab atau membuang jilbab, melainkan hak setiap manusia untuk memilih.

Menurut Niels Murder, seorang sosiolog Belanda yang perhatian kepada perkembangan sosiokultural Indonesia, sejak pentas Lautan Jilbab oleh Cak Nun bersama Sanggar Shalahuddin digelar, busana muslimah berjilbab menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.

Pak Kanjeng dan Kritikan

Pak Kanjeng merupakan naskah Cak Nun yang dipentaskan untuk mengkritik dan merespons kesemena-menaan penguasa rezim Orde Baru ketika membangun Waduk Kedungombo. Setelah sebelumnya sangat sulit sekali mendapat izin pentas, tanggal 16 dan 17 November 1993 di Purna Budaya Yogyakarta (sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM]), lakon Pak Kanjeng dipentaskan.

Lakon ini memotret perlawanan seorang warga, yaitu Pak Jenggot, dalam menolak pembangunan Waduk Kedungombo di Boyolali, Jawa Tengah. Pementasan ini ditampilkan dengan bahasa yang sangat deras, keras, tajam, pintar, dan sarkastis.

Pak Kanjeng diperankan oleh tiga aktor yaitu Joko Kamto, Nevi Budianto, dan Butet Kertaradjasa. Ketiganya, masing-masing menggambarkan sebuah pribadi yang terpecah menjadi tiga: yang keras melawan, yang lunak toleran, dan yang ragu-ragu. Itu merupakan tiga faset kejiwaan Pak Kanjeng dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru.

Pementasan ini digarap oleh Komunitas Pak Kanjeng (yang memang diambil dari judul naskah ini) dengan forum penyutradaraan oleh sembilan sutradara. Selain ketiga pemainnya, dalam forum sutradara ini turut terlibat pula Agus Noor, Indra Tranggono, Djadug Ferianto, dan Cak Nun sendiri. Gagasan berani dan keras dalam pementasan lakon yang mengkritik Orde Baru ini menyebabkan pertunjukannya dilarang di berbagai kota.

Bagi Cak Nun, Pak Kanjeng bukan sebuah pertunjukan. Melainkan sebuah laboratorium budaya, Laboratorium Pak Kanjeng yang kemudian dalam pementasan-pementasan selanjutnya menjadi Komunitas Pak Kanjeng (KPK).

Komunitas ini pada akhirnya mengalami perubahan format, bermetamorfosa menjadi Gamelan Kiai Kanjeng yang diinisiasi oleh Toto Rahardjo. Personel awal adalah Nevi Budianto, Joko Kamto, Bayu Kuncoro, Narto Piul.

Baca Juga:  Sinopsis Home Sweet Loan, FilmDrama Komedi Cermin Kehidupan Nyata

Selanjutnya beberapa personel baru pun direkrut ketika itu seperti Bobiet, Joko SP, Azied Dewa, Yoyok Prasetyo, Imoeng, Ismarwanto, Ardhani, dan Giyanto. Kemudian Kiai Kanjeng pada tahun-tahun selanjutnya selalu bersama Cak Nun dalam melayani masyarakat.

Cak Nun berkarya sejak akhir tahun 1969, pada usia 16 tahun. Mulai tahun 1975, karya-karyanya dibukukan. Buku-bukunya terentang dalam berbagai jenis: esai, puisi, naskah drama, cerpen, musik puisi, quote, transkrip Maiyahan, dan wawancara.

Buku yang diterbitkan tahun 1980-an dan 1990-an, 20 sampai 30 tahun setelahnya masih diterbitkan ulang karena dipandang masih kontekstual dengan situasi dan kondisi kehidupan di Indonesia. 

Sebagian buku-buku karya Emha Ainun Nadjib. Buku-buku kumpulan esai karya Emha Ainun Nadjib. Kumpulan puisi, cerpen, naskah drama, musik puisi, skenario film, quote, transkrip maiyahan, dan wawancara karya Emha Ainun Nadjib.

Karya-karyanya

Puisi

  1. “M” Frustasi dan Sajak-sajak Cinta (1975). Diterbitkan sederhana oleh Pabrik Tulisan. Diterbitkan kembali oleh penerbit yang sama tahun 2021.
  2. Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978). Diterbitkan oleh Tifa Sastra UI.
  3. Tak Mati-Mati (1978). Dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
  4. Nyanyian Gelandangan (1982). Dibacakan bersama Teater Dinasti di Taman Budaya Surakarta.
  5. 99 Untuk Tuhanku (1983). Dibacakan di Bentara Budaya Yogyakarta. Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Pustaka-Perpustakaan Salman ITB. Diterbitkan kembali oleh Bentang tahun 1993 dan 2015.
  6. Iman Perubahan (1986).
  7. Suluk Pesisiran (1988). Diterbitkan oleh Mizan.
  8. Syair Lautan Jilbab (1989). Diterbitkan oleh Sipress.
  9. Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba (1990). Diterbitkan oleh Mizan, pertama kali tahun 1990 dan diterbitkan kembali tahun 2016.
  10. Cahaya Maha Cahaya (1991). DIterbitkan pertama kali oleh Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pembinaan Sastra (LP3S) tahun 1988. Edisi tahun 1991 diterbitkan oleh Pustaka Firdaus.
  11. Sesobek Buku Harian Indonesia (1993). Diterbitkan oleh Bentang, pertama kali tahun 1993 dan diterbitkan kembali tahun 2017.
  12. Abacadabra Kita Ngumpet… (1994). Diterbitkan oleh Bentang bersama Komunitas Pak Kanjeng.
  13. Syair-syair Asmaul Husna (1994). Diterbitkan oleh Shalahuddin Press dan Pustaka Pelajar.
  14. Doa Mohon Kutukan (1995). Diterbitkan oleh Risalah Gusti.
  15. Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu (2000). Diterbitkan oleh Zaituna.
  16. Trilogi Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta (2001). Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
  17. Karikatur Cinta (2005). Diterbitkan oleh Progress.
  18. Rahman Rahim Cinta (2021). Diterbitkan oleh Noura Books.

Esai/Buku

  1. Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (1983). Diterbitkan pertama kali oleh penerbit Jatayu. Diterbitkan kembali dengan judul Indonesia Bagian Dari Desa Saya tahun 1983 dan 1992 oleh Sipress, tahun 2013 oleh Kompas, dan tahun 2020 oleh Bentang Pustaka.
  2. Sastra yang Membebaskan: Sikap Terhadap Struktur dan Anutan Seni Moderen Indonesia (1984). Diterbitkan oleh PLP2M (Pusat Latihan, Penelitian, dan Pengembangan Masyarakat).
  3. Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan (1985). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2020.
  4. Slilit Sang Kiai (1991). Diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti. Diterbitkan kembali tahun 2013 oleh Mizan.
  5. Secangkir Kopi Jon Pakir (1992). Diterbitkan oleh Mizan.
  6. Bola-Bola Kultural (1993). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2016 dan 2019.
  7. Markesot Bertutur (1993). DIterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2012, 2015, dan 2019.
  8. Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1994). Diterbitkan pertama kali oleh Risalah Gusti. Diterbitkan kembali tahun 2015 dan 2018 oleh Bentang Pustaka.
  9. Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah (1994). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Dicetak kembali tahun 2015.
  10. Kiai Sudrun Gugat (1994). Diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti.
  11. Markesot Bertutur Lagi (1994). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2013, 2015, dan 2019.
  12. Sedang Tuhan Pun Cemburu: Refleksi Sepanjang Jalan (1994). Diterbitkan pertama kali oleh Sipress. Diterbitkan kembali tahun 2015 dan 2018 oleh Bentang Pustaka.
  13. Gelandangan di Kampung Sendiri (1995). Diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Pelajar. Diterbitkan kembali tahun 2015 dan 2018 oleh Bentang Pustaka.
  14. Nasionalisme Muhammad: Islam Menyongsong Masa Depan (1995). Diterbitkan oleh Sipress.
  15. Opini Plesetan, OPLES (1995). Diterbitkan oleh Mizan.
  16. Terus Mencoba Budaya Tanding (1995). Diterbitkan oleh Pustaka Pelajar.
  17. Surat Kepada Kanjeng Nabi (1995). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2015.
  18. Titik Nadir Demokrasi: Kesunyian Manusia dalam Negara (1996). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2016 oleh Bentang Pustaka.
  19. Tuhan Pun Berpuasa (1997). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2012 dan 2016 oleh Kompas.
  20. Demokrasi T*l*l Versi Saridin (1997). Diterbitkan oleh Zaituna.
  21. Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana (1998). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2016 oleh Bentang Pustaka.
  22. Iblis Nusantara Dajjal Dunia: Asal Usul Krisis Kita Semua (1998). Diterbitkan oleh Zaituna.
  23. Keranjang Sampah (1998). Diterbitkan oleh Zaituna.
  24. Kyai Kocar Kacir (1998). Diterbitkan oleh Zaituna.
  25. Mati Ketawa Ala Refotnasi: Menyorong Rembulan (1998). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2016 oleh Bentang Pustaka.
  26. Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia (1999). Diterbitkan oleh Hamas dan Padhangmbulan.
  27. Jogja-Indonesia Pulang-Pergi (1999). Diterbitkan oleh Zaituna.
  28. Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1999). Diterbitkan oleh Zaituna.
  29. Hikmah Puasa 1 & 2 (2001). Diterbitkan oleh Zaituna.
  30. Segitiga Cinta (2001). Diterbitkan oleh Zaituna.
  31. Kafir Liberal (2005). Diterbitkan oleh Progress.
  32. Orang Maiyah (2007). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2015 oleh Bentang Pustaka.
  33. Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki (2007). Diterbitkan oleh Kompas. Dicetak kembali tahun 2016.
  34. Tidak. Jibril Tidak Pensiun (2007). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2017 oleh Bentang Pustaka.
  35. Istriku Seribu (2007). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2015 oleh Bentang Pustaka
  36. Kagum Pada Orang Indonesia (2008). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2015 oleh Bentang Pustaka.
  37. Jejak Tinju Pak Kiai (2008). Diterbitkan oleh Kompas.
  38. Demokrasi La Roiba Fih (2009). Diterbitkan oleh Kompas. Dicetak kembali tahun 2016.
  39. Anak Asuh Bernama Indonesia – Daur 1 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  40. Iblis Tidak Butuh Pengikut – Daur 2 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  41. Mencari Buah Simalakama – Daur 3 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  42. Kapal Nuh Abad 21 – Daur 4 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  43. Kiai Hologram (2018). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  44. Pemimpin Yang “Tuhan” (2018). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  45. Markesot Belajar Ngaji – Daur 5 (2019). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  46. Siapa Sebenarnya Markesot – Daur 6 (2019). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  47. Sinau Bareng Markesot – Daur 7 (2019). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  48. Lockdown 309 Tahun (2020). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  49. Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar (2020). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  50. Mbah Nun Bertutur (2021). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  51. Mereka yang Tak Pernah Mati (2022). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
Baca Juga:  Sirkus Pernikahan: Kisah Akrobatik Rumah Tangga Agus Mulyadi-Kalis Mardiasih

Cerpen

  1. Yang Terhormat Nama Saya (1992). DIterbitkan oleh Sipress.
  2. BH (2006). Diterbitkan oleh Kompas.

Naskah Drama

  1. Sidang Para Setan (1977).
  2. Patung Kekasih (1983). Tentang pengkultusan. Ditulis bersama Fajar Suharno dan Simon Hate.
  3. Doktorandus Mul (1984).
  4. Mas Dukun (1986). Tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern.
  5. Keajaiban Lik Par (1987). Tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern.
  6. Geger Wong Ngoyak Macan (1989). Tentang pemerintahan “Raja” Soeharto. Ditulis bersama Fajar Suharno dan Gadjah Abiyoso.
  7. Keluarga Sakinah (1990).
  8. Lautan Jilbab (1990).
  9. Santri-Santri Khidlir (1991). Dipentaskan di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain. Dihadiri 35.000 penonton di saat dipentaskan di alun-alun Madiun)
  10. Perahu Retak (1992). Tentang Indonesia Orde Baru yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram.
  11. Sunan Sableng dan Baginda Farouq (1993).
  12. Pak Kanjeng (1994).
  13. Duta Dari Masa Depan (1996).
  14. Tikungan Iblis (2008).
  15. Nabi Darurat Rasul Ad Hoc (2012). Tentang betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya. Dipentaskan oleh Teater Perdikan dan Letto.
  16. Sengkuni 2019 (2019).
  17. Mlungsungi (2022). Disutradarai bersama oleh Jujuk Prabowo, Fajar Suharno, Untung Basuki, dan Meritz Hindra.
  18. Waliraja Rajawali (2022). Dipentaskan oleh Teater Perdikan dan Gamelan Kiai Kanjeng.

Skenario Film

Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2011). Ditulis bersama Viva Westi.

    Wawancara, Quote, Transkrip Maiyahan

    1. Kerajaan Indonesia (2006). Diterbitkan oleh Zaituna.
    2. Indonesia Apa Adanya (2016). Diterbitkan oleh Mizan.
    3. Hidup Itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem (2016). Diterbitkan oleh Noura Publishing.
    4. Urusan Laut Jangan Dibawa Ke Darat (2018). Diterbitkan oleh Pustaka Narasi.
    5. Allah Tidak Cerewet Seperti Kita (2019). Diterbitkan oleh Noura Publishing.
    6. Islam Itu Rahmatan Lil Alamin Bukan Untuk Kamu Sendiri (2020). Diterbitkan oleh Noura Publishing.
    7. Kalau Kamu Ikan, Jangan Ikut Lomba Terbang (2021). Diterbitkan oleh Noura Books.
    8. Berserahlah, Biarkan Allah Mengurus Hidupmu (2022). Diterbitkan oleh Noura Books.

    Musik Puisi

    1. Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu (1980). Dimusikpuisikan berrsama Teater Dinasti di Taman Ismail Marzuki (TIM).
    2. Isro` Mi’roj yang Asyik (1986). Dimusikpuisikan di UGM, Yogyakarta.
    3. Satria Natpala (1995).
    4. Talbiyah Cinta (1996). Dipentaskan di RCTI.
    5. Jangan Cintai Ibu Pertiwi (2001).
    6. Kesaksian Orang Biasa (2003).
    7. Republik Gundul Pacul (2004).
    8. Presiden Balkadaba (2009).

    Album Musik dan Shalawat

    1. Perahu Retak (1995). Seluruh lirik ditulis oleh Cak Nun, dan lagu oleh Frangky Sahilatua.
    2. Kado Muhammad (1996).
    3. Raja Diraja (1997).
    4. Wirid Padang Bulan (1998).
    5. Jaman Wis Akhir (1999).
    6. Menyorong Rembulan (1999).
    7. Allah Merasa Heran (2000).
    8. Perahu Nuh (2000).
    9. Dangdut Kesejukan (2001). Syair ditulis oleh Cak Nun.
    10. Maiyah Tanah Air (2001).
    11. Terus Berjalan (2008).
    12. Shohibu Baity (2010).
    13. Lizziyaroh Qoshidiina (2020). Single
    14. Sholawatun Nur (2020). Single.
    15. Takbir Akbar (2020). Single
    16. Hubbu Ahmadin (2020). Single
    17. Pusaka 1 (2020)
    18. Pusaka 2 (2020)
    19. Wakafa (2023)

    Jurnalis Ichwan Arif  Penyunting Mohammad Nurfatoni