Cerpen

Cahaya Iftar di Tengah Bara Gaza

183
×

Cahaya Iftar di Tengah Bara Gaza

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Ai

Samir hanya ingin memberi makan adiknya di Gaza yang terbakar. Di tengah reruntuhan dan suara bom, secercah harapan muncul lewat roti, doa, dan tangan-tangan yang peduli.

Cerpen Oleh Dwi Taufan Hidayat, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Tagar.co – Langit Gaza masih merah. Bukan fajar yang menyingsing, tapi kobaran api yang terus menyala. Asap pekat mengepul dari reruntuhan bangunan yang semalam dihantam bom. Di tengah puing-puing itu, seorang anak kecil berlari tertatih, menggendong adiknya yang masih bayi.

Ia bernama Samir, bocah berusia delapan tahun yang kehilangan segalanya—ayahnya gugur dalam serangan pertama, ibunya tertimbun reruntuhan rumah mereka. Kini, hanya adiknya yang tersisa, mungil dan lemah dalam dekapannya.

Baca cerpen lainnya: Duka di Musim Dingin Gaza

Lapar adalah sahabat lama bagi warga Gaza. Di bulan suci Ramadan ini, mereka tak lagi menunggu suara azan untuk berbuka, karena sepanjang hari mereka sudah berpuasa dalam kegetiran dan ketakutan. Makanan tak ada, air bersih sulit ditemukan, listrik padam, dan di setiap sudut jalan hanya ada duka yang menggantung di udara.

Samir terus berjalan, melewati jalan-jalan yang penuh dengan serpihan kaca dan puing bangunan yang runtuh. Langkahnya gontai, tapi ia tidak punya pilihan selain terus maju. Adiknya, Jibril, mulai menangis lirih dalam gendongannya. Tangisnya tak sempat menjadi jerit, terlalu lemah untuk itu. Samir berusaha menenangkannya dengan mengusap lembut punggungnya.

“Ayo, Jibril. Kita pasti menemukan makanan,” bisiknya.

Di kejauhan, aroma makanan tercium samar. Samir mengangkat kepalanya, mencoba mencari sumbernya. Matanya menangkap sekumpulan orang yang mengantre di depan sebuah bangunan yang setengah hancur. Ia mengenali tempat itu—dapur umum yang dikelola para relawan.

Dapur umum itu adalah satu-satunya tempat di kamp pengungsian yang masih mampu menyediakan makanan, meskipun terbatas. Setiap harinya, relawan harus berjuang mengumpulkan bahan makanan yang semakin sulit didapatkan. Hafiz, seorang relawan yang sudah berminggu-minggu bertahan di Gaza, mengatur distribusi makanan bersama rekan-rekannya. Dengan peralatan seadanya, mereka memasak di atas tungku sederhana, menggunakan kayu bakar karena gas sudah lama tak tersedia.

Hari itu, mereka menerima kiriman 140 paket iftar dari donasi kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Hafiz menatap tumpukan makanan itu dengan perasaan campur aduk. Senang karena masih ada yang peduli, tapi juga sedih karena jumlahnya tidak cukup untuk semua orang di kamp pengungsian. Di hatinya, ia terus berdoa agar makanan itu sampai ke tangan yang paling membutuhkan.

Samir mendekati antrean dengan langkah ragu. Tubuhnya terlalu kecil untuk menyelip di antara orang-orang dewasa yang berebut tempat. Ia hanya bisa berdiri di pinggir, memeluk Jibril erat-erat.

Hafiz melihat bocah itu. Matanya yang cekatan langsung menangkap wajah Samir yang penuh debu, matanya yang sayu karena kelaparan, dan lengannya yang kurus. Ia segera menghampiri.

“Assalamu’alaikum, Nak. Kau sendirian?” tanyanya lembut.

Samir mengangguk, lalu dengan suara lirih berkata, “Aku bersama adikku.”

Hafiz menatap bayi kecil dalam gendongan Samir. Napasnya lemah, bibirnya kering. Hafiz menghela napas dalam-dalam. Ia tidak bisa membiarkan dua bocah ini kelaparan lebih lama.

“Tunggu sebentar, ya,” katanya sambil bergegas kembali ke dapur umum.

Ia mengambil dua paket makanan berisi roti, kurma, sepotong ayam, dan sekotak susu. Tangannya sedikit gemetar saat menyerahkannya kepada Samir.

“Ini untukmu dan adikmu.”

Mata Samir membelalak. Tangan kecilnya gemetar saat menerima paket itu, seakan tak percaya bahwa hari ini mereka benar-benar bisa berbuka dengan makanan yang layak. Dengan hati-hati, ia membangunkan adiknya dan mulai menyuapinya susu. Senyum kecil muncul di bibirnya.

“Syukron katsiran, ya Allah…,” bisiknya, matanya berkaca-kaca.

Hafiz mengusap kepalanya. “Kamu kuat sekali, Samir. Semoga Allah selalu melindungimu.”

Dalam diam, Hafiz teringat anaknya sendiri di kampung halaman—sebaya Samir, tapi tidur nyenyak setiap malam. Ia menahan sesak yang tiba-tiba merambat di dadanya.

Malam semakin pekat. Dentuman bom terdengar dari kejauhan, mengguncang bumi Gaza yang lelah. Tapi di dalam kamp pengungsian, ada kehangatan kecil yang lahir dari piring-piring sederhana yang dibagikan oleh tangan-tangan ikhlas.

Di sudut lain kamp, seorang ibu tua menangis dalam diam. Di tangannya ada sebungkus makanan yang baru saja diterimanya. Ia duduk di atas tikar lusuh, menatap langit yang terus bergejolak.

“Ya Allah, semoga orang-orang yang telah mengirimkan makanan ini mendapatkan pahala yang berlipat,” bisiknya.

Hafiz yang mendengar itu menunduk, menahan air matanya yang nyaris luruh.

Saat langit Gaza kembali dihiasi ledakan, Hafiz hanya bisa memandang ke atas, berdoa dalam diam.

“Ya Allah, lindungi saudara-saudara kami di sini. Jika dunia memilih diam, jangan biarkan langit-Mu pun membisu.”

Angin berhembus pelan, membawa harapan dalam kelamnya malam. Di suatu tempat yang jauh, doa-doa dari kaum Muslimin terus mengalir, seperti sungai yang tak pernah kering.

Di ufuk timur, fajar perlahan menyingsing. Gaza masih terbakar, tapi di antara reruntuhan, ada cahaya kecil yang tak bisa dipadamkan—cahaya harapan yang terus menyala dalam dada mereka yang bertahan. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni