Buya Hamka dikenal sebagai ulama, sastrawan, penulis, dan tokoh Islam. Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karena itu, ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.
Tagar.co – Buya Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatra Barat.
Mendapat gelar Datuk Indomo, Buya Hamka dikenal sebagai ulama, sastrawan, penulis dan tokoh Islam. Di bidang akademisi, dia mendapatkan gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar di Mesir dan Universitas Kebangsaan Malaysia.
Anak pertama dari empat bersaudara dari sang ayah Haji Abdul Karim Amrullah dan ibu Safiyah. Sang ayah juga dikenal sebagai Haji Rasul, merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau.
Sejak muda, Buya Hamka dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi Buya Hamka gelar si Bujang Jauh. Pada akhir tahun 1924, tepat di usia ke 16 tahun, Hamka merantau ke Yogyakarta dan mulai belajar pergerakan Islam modern kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto dan H. Fachruddin.
Dari sana, dia mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Sarekat Islam Hindia Timur dan gerakan Sosial Muhammadiyah.
Baca juga: Hanum Rais Kirim Surat Terbuka ke Erina Gudono: Lukai Perjuangan Kami
Dia adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Di antaranya seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik dalam dunia Islam maupun dunia Barat.
Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat meneliti karya-karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, dan Husayn Haykal.
Tidak hanya itu, dengan kemampuan bahasa asingnya juga, beliau melakukan penelitian karya sarjana Prancis, Inggris, dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karena itu, ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.
Ketokohan Buya Hamka dan keluasan ilmu pengetahuannya, serta kepeduliannya terhadap nasib umat Islam, tidak hanya terkenal di kalangan nasional saja, tetapi juga di Timur Tengah dan Malaysia. Tun Abdul Razak Perdana Menteri Malaysia pernah mengatakan Buya Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Adat Minangkabau
Dalam bidang sastra, penulis Di Bawah Lindungan Ka’bah ini juga sempat berseberangan dengan sesama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Taufiq Ismail pernah mengatakan Pram kerap melontarkan kritikan keras pada karya dan pemikiran Hamka.
Semisal, saat halaman Lentera yang diasuh Pram di harian Bintang Timur melansir tudingan plagiat untuk karya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Seberapapun keras dan bertolak belakang pemikiran dua sastrawan besar tersebut, ternyata di masa tua, Pram menyuruh calon menantunya belajar agama pada Hamka. Ulama besar yang sempat rutin mengisi pengajian di RRI dan TVRI itu pun tidak keberatan. Taufiq yang bisa dibilang salah satu saksi hidup pertikaian mereka di masa lalu, kini bersaksi pula kalau sejatinya mereka sudah berdamai.
Baca juga: Perjalanan Terakhir Buya Hamka, Catatan Media dan Sahabat
Karya-karya Hamka umumnya bertema gugatan terhadap adat Minangkabau, terutama kawin paksa dan hubungan kekerabatan yang menurut pandangannya tak bersesuaian dengan cita-cita masyarakat Indonesia modern.
Melalui Di Bawah Lindungan Ka’bah, Hamka menggugat penggolongan orang berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan oleh masyarakat Munangkabau.
Menurutnya, adat bertentangan dengan agama Islam yang memandang kedudukan manusia sama di hadapan Allah. Dalam Tuan Direktur, Hamka menyindir tokoh Jazuli sebagai kebanyakan orang Melayu yang kerap terburu nafsu sehingga mengabaikan nilai-nilai fundamental.
Dalam Merantau ke Deli, Hamka menginginkan perubahan penilaian masyarakat Minangkabau tentang keberhasilan merantau dan mengkritik penilaian adat tentang pernikahan yang baik dari satu daerah saja. Pada kenyataannya, harta bukan jaminan kehidupan akan menjadi bahagia, begitupula asal daerah bukan jaminan pernikahan akan bertahan lama.
Ketika kali pertama menulis roman, Hamka sempat dikecam dan dianggap tidak pantas menulis kisah percintaan. HB Jassin melihat kritikan terhadap Hamka, antara lain, disebabkan hukum yang menetapkan menulis karya sastra adalah satu dosa dan haram.
Hamka dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat menegaskan menulis karya sastra bukan satu dosa, selain menjelaskan kegiatan menulis boleh menjadi satu dakwah.
Baca juga: Penguasa Jangan Antikritik
H.B. Jassin mengutip pernyataan Hamka. “Seni atau sastra Islam mestilah merangkumi keindahan dan kebenaran.” Keindahan, kebenaran dan kebaikan itu, menurut Hamka, jelas kembali semula kepada Tuhan.
Dari sudut pandang sastra, beberapa kritikus menganggap karya-karya Hamka tidak istimewa. Kritikus sastra Indonesia berpendidikan Belanda A. Teeuw menilai, Hamka tidak dapat dianggap sebagai pengarang besar karena karyanya mempunyai psikologi yang lemah dan terlalu moralistik.
Karya-karyanya
Sepanjang hidupnya, Hamka telah banyak melahirkan karya, baik berupa sastra, sejarah, maupun, tafsir. Beberapa karya Hamka bahkan telah difilmkan. Berikut adalah beberapa karya Hamka yang populer:
Novel
- Si Sabariah (dalam bahasa Minangkabau). Padang Panjang. 1926.
- Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. I, 1938. Cet. VII, 1957.
- Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Cet. I, 1939. Cet. VIII. Bukittinggi: Nusantara. 1956. Cet. XIII. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.
- Laila Majnun. Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
- Salahnya Sendiri. Medan: Cerdas. 1939.
- Keadilan Ilahi. Medan: Cerdas, 1940.
- Dijemput Mamaknya. Cet. I. 1949. Cet. III. Jakarta: Mega Bookstrore. 1962.
- Angkatan Baru. Medan: Cerdas. 1949.
- Cahaya Baru. Jakarta: Pustaka Nasional. 1950.
- Menunggu Beduk Berbunyi. Jakarta: Firma Pustaka Antara. 1950.
- Terusir. Jakarta: Firma Pustaka Antara. 1950.
- Merantau ke Deli. Jakarta: Jayabaku. Cet. I. 1938. Cet.III. 1959. Jakarta: Bulan Bintang. Cet. VII. 1977.
- Tuan Direktur. Jakarta: Jayamakmur. 1961.
Kumpulan Cerita Pendek
- Dalam Lembah Kehidupan. Cet.I. 1941. Cet.V. Jakarta: Balai Pustaka. 1958.
- Cermin Kehidupan. Jakarta: Mega Bookstore. 1962.
Terjemahan
Margaretta Gauthier (karya Alexandre Dumas Jr. dan diterjemahkan dari bahasa Arab). Cet. II. 1950. Medan: Pustaka Madju. Cet.III. Pustaka Madju. Cet. IV. Bukittinggi dan Jakarta: Nusantara. 1960. Cet,Vii. Jakarta: Bulan Bintang. 1975.
Biografi
Ayahku (riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan perjuangannya). Jakarta: Pustaka Wijaya. 1958.
Otobiografi
Kenang-Kenangan Hidup. 4 Jilid. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.
Kisah Perjalanan
- Mengembara di Lembah Nil. Jakarta: NV. Gapura. 1951.
- Di Tepi Sungai Dajlah. Jakarta: Tintamas. 1953.
- Mandi Cahaya di Tanah Suci. Jakarta: Tintamas. 1953.
- Empat Bulan di Amerika. 2 Jilid. Jakarta: Tintamas. 1954.
Jurnalis Ichwan Arif Penyunting Mohammad Nurfatoni