Buwuh menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari bahasa Jawa, yakni uang atau bahan yang diberikan oleh tamu kepada tuan rumah sebagai sumbangan suatu upacara atau pesta.
Opini oleh Sujarwa, S.Th.I., Guru SMK Sunan Giri Menganti, Gresik; aktif diskusi di Forum Studi Islam Surabaya
Tagar.co – Dalam kehidupan sosial kita, tradisi buwuh telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat, terutama di Pulau Jawa.
Buwuh adalah tradisi memberi sumbangan, biasanya berupa uang yang diletakkan di dalam tombang, kepada seseorang yang sedang mengadakan hajatan seperti pernikahan, khitanan, atau bahkan ulang tahun.
Niat awal tradisi ini mulia: membantu meringankan beban tetangga atau saudara yang sedang punya hajatan.
Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini mengalami pergeseran makna. Dahulu, buwuh dilakukan tanpa perhitungan atau harapan untuk dikembalikan. Orang-orang memberikan sumbangan dengan tulus tanpa mencatat berapa yang telah mereka berikan.
Namun, di masa kini, dengan semakin banyaknya penduduk dan meningkatnya kebutuhan, mencatat sumbangan telah menjadi hal yang lazim. Pencatatan ini awalnya bertujuan agar mereka yang memberi sumbangan bisa dibalas ketika mereka kelak mengadakan hajatan.
Sayangnya, hal ini justru membuat buwuh yang seharusnya menjadi simbol gotong-royong dan keikhlasan, berubah menjadi beban terselubung.
Baca juga: Legenda Putri Sedudo dan Makna Kemerdekaan
Bayangkan, seseorang yang telah lima kali memberi sumbangan kepada orang lain, ketika tiba gilirannya mengadakan hajatan, bisa merasa kecewa jika orang yang telah ia bantu sebelumnya hanya memberi sumbangan satu kali.
Ini bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang harapan yang tak terpenuhi, dan akhirnya melukai keikhlasan yang seharusnya menjadi dasar dari tradisi ini.
Fenomena ini bisa menjadi lebih berbahaya jika sumbangan yang diberikan dianggap sebagai ‘utang’ yang harus dikembalikan. Bagaimana jika yang bersangkutan tidak sempat membalas karena pindah tempat atau meninggal dunia? Apakah kita rela membawa ‘utang’ yang tidak tertulis ini ke alam baka?
Momen Berbagi
Rasulullah Saw mengajarkan kita bahwa walimatul ursy atau pesta pernikahan, seharusnya menjadi momen untuk berbagi kebahagiaan dengan menjamu tamu dan bersedekah kepada yang membutuhkan. Tidak ada tuntutan untuk menerima sumbangan atau hadiah kecuali jika tamu memang berniat memberikan hadiah sebagai tanda kasih sayang.
Saat ini, sangat penting bagi kita untuk mengembalikan esensi dari buwuh. Jika Anda menerima undangan hajatan, niatkanlah sumbangan Anda sebagai bantuan yang ikhlas tanpa harapan untuk dikembalikan.
Baca juga: Kisah Pak AR Memimpin Yasinan Gaya Baru
Jika kondisi ekonomi tidak memungkinkan untuk memberikan sumbangan, lebih baik meminta izin untuk tidak hadir atau hadir tanpa membawa sumbangan daripada memaksakan diri hingga harus berutang.
Dengan kembali ke niat yang murni, kita tidak hanya meringankan beban orang yang mengadakan hajatan, tetapi juga menjaga hubungan baik tanpa menambah beban terselubung.
Mari kita jadikan buwuh sebagai sarana untuk menanam kebaikan, bukan menghitung ‘utang’ yang harus dibayar di kemudian Hari. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni