Telaah

Bidah, Syariat Baru?

×

Bidah, Syariat Baru?

Sebarkan artikel ini
Apa yang dimaksud dengan bidah? Perbuatan apa yang termasuk kategori bidah? Mengapa orang melakukan bidah? Apa saja jenis-jenis bidah?
Bidah (Ilustrasi freepik.com)

Apa yang dimaksud dengan bidah? Perbuatan apa yang termasuk kategori bidah? Mengapa orang melakukan bidah? Apakah karena merasa kurang sunah? Apa saja jenis-jenis bidah? Apa maksud bidah di kalagan Nasrani?

Oleh Ustaz Ahmad Hariyadi, M.Si, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam An-Najah Indonesia Mandiri (STAINIM).

Tagar.co – Bidah berasal dari kata bada’a yang artinya membuat sesuatu yang baru tanpa contoh sebelumnya. Penggunaan kata ini dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Ahqaf/69:9 yang artinya:”Katakanlah aku bukan rasul yang pertama (bid’an) di antara para rasul.” 

Penggunaan lainnya terdapat dalam surat Al-Baqarah/2:117, yang artinya “Allah pencipta (badi’u) langit dan bumi.” (baca juga Al-An’am 6:101). 

Baca jugaSyariat Universal

Adapun pengertian bidah sacara istilah adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan dalam urusan diniahyang dibuat baru sehingga menyaingi syariat islamiah guna dijalankan dalam kehidupan sebagai mana fungsi syariah. Dalam urusan diniah artinya urusan yang tata caranya sudah dijelaskan oleh Rasulullah Saw.

Jenis-Jenis Bidah

Bidah bisa dikategorikan menjadi dua yaitu bidah haqiah atau bidah kuliah dan bidah idhafiah atau bidah juz’iah

Bidah haqiah adalah yang tidak ada dasar hukumnya dalam Islam (membuat syariat baru). Seperti puasa mati-geni (puasa 3 hari, 7 hari, atau 40 hari berturut-turut tanpa makan dan minum sedikit pun), mengharuskan penginjakan telor sebelum acara akad nikah dimulai, dan lain-lain. 

Baca juga: Ummi, Benarkah Nabi Muhammad Tidak Bisa Baca Tulis?

Baca Juga:  Makna Ayat Terakhir yang Diturunkan dalam Al-Quran

Adapun bidah idhafiah adalah bidah yang dasar hukumnya jelas dalam Islam, tetapi salah dalam pelaksanaannya, seperti pelaksanaan salat fardu yang rakaatnya ditambah atau dikurangi (Al-Bid’ah Dlawa Bituha wa Atsaruba, Ali bin M. Nashir, Universitas Islam Madinah). 

Pelaku bidah berbeda dengan pelaku maksiat pada umumnya. Pelaku maksiat merasa bersalah dengan maksiat yang dilakukannya, sementara pelaku bidah merasa puas—merasa lebih dekat dengan Allah—dengan bidah yang dilakukannya. 

Pesan Nabi

Rasulullah Saw berpesan: ” …. Aku wasiatkan agar kalian bertakwa kepada Allah dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang hamba. Barang siapa hidup (berumur panjang) diantara kalian niscaya akan melihat banyak perselisihan. 

Oleh karena itu, kalian wajib berpegang teguh dengan sunah dengan para Khulafaurrasyidun yang diberi petunjuk sesudahku, gigitlah (sunah itu) dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diadakan (dalam urusan diniah), karena setiap bidah itu sesat.” (H.R. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Baca jugaIjtihad dalam Hukum Islam 

Di kesempatan lain Rasulullah Saw juga bersabda, “Barang siapa mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan kami maka perbuatan itu tertolak.” (H.R. Bukhari); dan dalam riwayat Muslim dikatakan, “Barang siapa yang beramal dengan suatu amal yang tidak ada perintah kami atasnya, maka amalan tersebut tertolak.” (Hadis Arba’in an Nawawi, hadis kelima). 

Orang Nasrani menciptakan sistem kerahiban untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bidah yang mereka adakan ini, menjadikan mereka merasa lebih dekat Allah padahal Allah tidak meridai mereka (Al Hadid/57:27). 

Baca Juga:  Para Rasul Ternyata Membawa Agama yang Sama, Islam

Terlalu banyak sunah-sunah Rasulullah Saw yang belum kita laksanakan untuk mendekakan diri kepada Allah Swt, mengapa harus menggunakan cara-cara bidah? (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni