
Buku “Berhaji kepada Allah” ini membimbing Anda melewati ritual fisik menuju makna terdalam haji dan umrah: perjalanan rohani, penyerahan diri, dan pulang sejati kepada Allah.
Tagar.co – Bayangkan Anda berdiri di hadapan Ka’bah. Udara panas menampar wajah, kaki pegal karena berjam-jam berdiri dan berjalan, tubuh lelah setelah melewati perjalanan jauh.
Namun, anehnya, di tengah semua kelelahan fisik itu, hati Anda justru gemetar penuh harap. Di tengah hiruk-pikuk ribuan jemaah yang ber-talbiah—menyerukan “Labbaikallahummalabbaik” — Anda tiba-tiba tersadar: apakah selama ini saya hanya sibuk mengejar ritual, atau benar-benar datang untuk menyembah Allah?
Inilah pengalaman batin yang berusaha disampaikan Abdul Aziz melalui bukunya, Berhaji kepada Allah: Pelatihan Manasik untuk Meraih Spiritualitas Haji dan Umrah (hlm. xi–xiv). Buku ini bukan sekadar buku manasik teknis yang mengajari tata cara wudu, doa, dan urutan perjalanan.
Ia adalah sebuah undangan perjalanan, bukan perjalanan fisik, tetapi perjalanan menuju pemurnian roh. Ia mengajak pembaca menyelami ulang makna terdalam di balik setiap gerak, langkah, bahkan bisikan hati saat berhaji.
Yang menarik, sejak cetakan pertamanya pada Juni 2012, buku ini telah berulang kali dicetak ulang, hingga mencapai cetakan keenam pada Januari 2023. Capaian itu jelas bukan angka biasa. Dalam dunia literatur haji, yang sering didominasi buku-buku panduan praktis yang cepat diganti setiap musim, Berhaji kepada Allah tetap bertahan, menjadi salah satu best seller, dibaca dan dicari lintas generasi jemaah. Bukti bahwa buku ini memiliki daya tarik yang melampaui zamannya: bukan hanya untuk membekali koper fisik, tetapi membekali koper hati.
Sejak halaman-halaman awal, pembaca seperti disambut dengan pertanyaan besar: untuk siapa engkau berhaji? Apakah hanya untuk status sosial, untuk gengsi, untuk memperbaiki citra di mata keluarga atau masyarakat?
Abdul Aziz menyentil satu per satu jebakan niat yang kerap menyelimuti para calon jemaah, seperti yang ia kupas di Bab II (hlm. 15–25). Ia menulis tanpa menghakimi, tetapi dengan bahasa yang memaksa pembaca bercermin.
Haji sejati, katanya, bukan sekadar perjalanan fisik menuju Baitullah, tetapi perjalanan rohani menuju Allah. Bukan hanya perjalanan tubuh, tetapi perjalanan batin yang mempertemukan seorang hamba dengan Tuhannya, melewati lapisan-lapisan keduniawian yang semula tak disadari.
Bab demi bab dalam buku ini tak hanya berbicara “bagaimana” tetapi juga “mengapa”. Bab III (hlm. 27–50) tentang Ihram, misalnya, tidak hanya membahas syarat teknis mengenakan pakaian putih tak berjahit, tetapi menggali simbol kesetaraan yang terkandung di dalamnya: ketika kain disematkan, ego harus ditanggalkan, status harus dilarutkan, dan hanya kehambaan yang tersisa. Penulis bahkan berani menyentil perilaku jemaah yang tetap memamerkan jam tangan mahal atau barang mewah lain, meskipun telah memakai pakaian sederhana ihram (hlm. 29–30).
Bab Tawaf (Bab IV, hlm. 51–90) digambarkan bukan hanya soal putaran mengelilingi Ka’bah, tetapi simbol penyerahan total. Seperti bumi berputar pada porosnya, demikian pula seorang hamba harus memutar seluruh hidupnya hanya kepada Allah (hlm. 65–69).
Sementara itu, Sai (Bab V, hlm. 91–116) begitu menggetarkan, karena ia membangkitkan kembali gambaran Hajar yang berlari-lari kecil di antara Safa dan Marwah, bukan sekadar sebagai ritual fisik, tetapi sebagai lambang ketabahan, keteguhan, dan kesabaran seorang manusia yang menggantungkan harapannya sepenuhnya kepada Sang Pemberi kehidupan (hlm. 104–106).
Setiap gerak dalam ibadah haji, menurut Abdul Aziz, adalah pelajaran tentang roh. Ketika tiba di Tahalul (Bab VI, hlm. 117–140), pembaca diajak melihat makna memotong rambut bukan hanya sebagai tanda selesainya rangkaian ritual, tetapi simbol kelulusan batin.
Seorang haji adalah seorang yang telah melewati ujian, yang telah mematangkan diri, dan yang siap pulang sebagai pribadi baru, bukan hanya membawa oleh-oleh fisik, tetapi oleh-oleh rohani yang hidup (hlm. 126–128).
Momen puncak dari seluruh ibadah ini terletak di Wukuf Arafah (Bab VII, hlm. 141–160). Di sana, kata penulis, bukan hanya soal berdiri diam menunggu waktu, tetapi soal menghadap Allah tanpa perantara, tanpa penghias diri, tanpa kedok, hanya diri sendiri yang rapuh berhadapan dengan Yang Mahakuat (hlm. 148–150).
Di Muzdalifah, Mina, hingga saat melontar Jumrah (Bab VIII–X, hlm. 161–212), penulis mengajak pembaca memahami bahwa yang dilempar bukan hanya batu, tetapi simbol-simbol godaan, bisikan setan, dan hawa nafsu yang kerap menyesatkan (hlm. 176–178).
Yang membuat buku ini semakin mendalam adalah bab tentang Muhasabah (Bab XII, hlm. 237–252). Abdul Aziz menulis panjang lebar soal makna haji mabrur: bukan soal formalitas, bukan soal diakui oleh panitia haji, bukan soal diterima pemerintah, tetapi soal diterima oleh Allah.
Ia mengajak pembaca memeriksa kembali: sudahkah aku berubah? Sudahkah keluargaku merasakan kebaikan dari ibadahku? Sudahkah masyarakatku, lingkunganku, bangsaku, bahkan alamku mendapat manfaat dari kepergianku ke Tanah Suci? (hlm. 248–250). Di sinilah, pembaca merasa disentuh, karena menyadari bahwa ibadah itu tak pernah berhenti di panggung pribadi, tetapi selalu berdampak sosial.
Kekuatan terbesar buku ini adalah kedalaman reflektifnya. Abdul Aziz tidak hanya mengajari teknis “bagaimana” berhaji, tetapi menuntun pembaca memahami “mengapa” mereka harus berhaji. Bahasanya mengalir hangat, penuh kutipan Al-Qur’an, hadis, kisah sejarah, dan pengalaman lapangan, membuat setiap bab seperti dialog antara guru rohani dan muridnya.
Setiap bagian selalu diakhiri dengan latihan-latihan renungan rohani praktis (misalnya, Pelatihan Ihram di hlm. 45, Pelatihan Thawaf di hlm. 74, Pelatihan Sai di hlm. 106), membuat buku ini bukan sekadar bacaan pasif, tetapi sahabat yang menuntun pelan-pelan, tangan di tangan.
Namun, tentu saja, buku ini bukan tanpa kelemahan. Beberapa tema terasa berulang, terutama penekanan soal niat dan keikhlasan (hlm. 17–23, 27–37), sehingga bagi pembaca yang sudah akrab dengan tema itu, mungkin akan terasa repetitif.
Selain itu, minimnya visualisasi praktis (tidak ada diagram, peta, atau ilustrasi perjalanan) membuat buku ini lebih cocok sebagai bacaan reflektif ketimbang panduan teknis lapangan (hlm. 1–11 hanya berupa narasi padat).
Buku ini juga belum mencakup isu kekinian seperti kuota haji, antrean panjang, atau pemanfaatan teknologi digital yang kini menyertai jemaah haji modern. Tetapi justru karena itu, kekuatannya terletak pada napas panjangnya: buku ini tidak lekang oleh waktu, karena berbicara pada lapisan terdalam yang selalu relevan di setiap zaman.
Dengan semua capaian itu, termasuk statusnya sebagai buku best seller yang telah melewati enam kali cetak ulang, Berhaji kepada Allah layak menjadi buku wajib bagi siapa saja yang ingin memahami makna haji secara mendalam, tidak hanya sebagai kewajiban ritual, tetapi sebagai latihan penghambaan.
Judulnya sendiri adalah inti dari seluruh pesan: bahwa seluruh gerakan fisik, seluruh ritual, hanya berarti jika roh kita benar-benar diarahkan menuju-Nya. Kita mungkin bisa berangkat berkali-kali ke Mekkah, tetapi jika roh kita tak pernah benar-benar sampai kepada Allah, semua perjalanan itu akan kosong.
Dan di situlah letak kekuatan utama buku ini: ia bukan hanya membekali koper fisik Anda, tetapi koper rohani Anda. Ia bukan hanya mempersiapkan kaki Anda untuk berjalan, tetapi mempersiapkan hati Anda untuk pulang. Pulang bukan hanya dari Tanah Suci, tetapi pulang sejati: pulang kepada Allah, Sang Pemilik perjalanan.
Data Buku
- Judul: Berhaji kepada Allah: Pelatihan Manasik untuk Meraih Spiritualitas Haji dan Umrah
- Penulis: Abdul Aziz
- Penerbit: Kanzun Books, Sidoarjo
- Cetakan VI: Januari 2023
- Tebal: xxiv + 284 halaman
- ISBN: 978-602-8337-02-7
- Ukuran: 14 x 20 cm
- Harga: Rp110.000,-
- Informasi pemesanan: Iswantoro 0821-4081-1465
Jurnalis Mohammad Nurfatoni