Berguru adalah belajar mencari pengalaman di mana saja, dari siapa saja. Di era digitalisasi sekolah dan kampus akan menjadi museum.
Oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, Pendiri Rosyid College of Arts
Tagar.co – Kemarin adalah Hari Guru Nasional, 25 November. Setelah kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, kini Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro maupun Prof. Abdul Mu’ti sedang menata kembali peran guru yang selama ini sulit disebut merdeka karena harus terus menyesuaikan perubahan kurikulum.
Sulit mengatakan guru memiliki otonomi yang cukup. Lalu kriminalisasi atas seorang guru honorer baru-baru ini oleh wali murid polisi yang dituduh memukul anaknya. Juga kasus doktor kilat di SKSG UI. Ini menunjukkan spektrum krisis guru yang mendera republik ini.
Selama lima tahun terakhir Nadiem Makarim telah menjadikan pendidikan sebagai semacam applied science dengan berbagai aplikasi yang makin populer sejak pandemi Covid.
Pelajaran dan kuliah makin banyak diselenggarakan secara daring atau online. Baik siswa maupun mahasiswa makin virtualized, jika bukan 2-dimensionalized.
Jika belajar adalah proses memaknai pengalaman, maka siswa maupun mahasiswa sekarang makin miskin pengalaman yang secara esensial bersifat 3-D di mana waktu menjadi bagian penting. Tak ada proses berguru.
Bahkan sejak sebelum pandemi, peran internet makin besar dengan melubangi tembok-tembok sekolah yang tinggi dan tebal. Sekolah dan kampus mengalami disrupsi besar-besaran. Sebagai institusi, keduanya harus meninjau ulang rencana strategisnya, juga model bisnisnya.
Namun itu belum terjadi. Padahal tanpa reposisi perannya, baik sekolah maupun kampus akan menjadi museum, dan guru serta dosen akan menjadi dinosaurus.
Ki Hajar Dewantara menyebut tiga pilar pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat, dan perguruan. Baru-baru ini, Prof. Abdullah Shahab dari ITS mengingatkan bahwa universitas itu adalah perguruan tinggi, bukan institusi penelitian tinggi dengan target-target publikasi dan world class ranking yang makin foot-lose dengan realitas di sekelilingnya.
Ada risiko irelevansi saat banyak institusi pendidikan terobsesi dengan mutu berstandar internasional. Kapan ITB atau ITS misalnya bisa bersanding dengan MIT, CalTech atau Stanford?
Saya kira schools are soon to be out dated. Kita harus segera meninggalkan paradigma sekolah menuju paradigma berguru dan belajar.
Belajar selalu membutuhkan guru bukan sekolah. Karena itu disebut berguru. Sekolah suatu ketika adalah inovasi institusi untuk mendukung revolusi industri 200 tahun silam untuk menyiapkan buruh.
Belajar sebagai sebuah emergent phenomena tidak pernah membutuhkan formalisme sekolah. Sugata Mitra mengajukan Self Organized Learning Environment (SOLE) semacam Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang lebih informal.
Rasulullah SAW suatu ketika mengatakan, hanya ada dua macam pekerjaan, yaitu guru dan selain guru. Setiap orang mengguru saat mengajarkan sesuatu, terutama melalui praktik.
Di saat lain setiap manusia adalah murid yang belajar sesuatu dari teladan guru. Pada akhirnya tujuan belajar adalah untuk memperbaiki praktik. Jika praktik hukum kita bermasalah, tajam ke bawah, tumpul ke atas, itu karena para hakim, jaksa, dan polisi merasa bukan guru.
Selamat Hari Guru! (#)
Penyunting Sugeng Purwanto