Mendengar ternyata bukan perbuatan mudah. Mengapresiasi pendapat, gagasan, saran, atau kritik, tidak banyak yang bisa melakukannya.
Opini oleh Mohammad Nurfatoni, Direktur Penerbit Kanzun Book.
Tagar.co – Mendengar! Adakah yang sulit dari mendengar? Jika (hanya) diartikan merespon bunyi, mendengar, tentu, bisa dilakukan semua orang (kecuali teman tunarungu).
Akan tetapi mendengar dalam pengertian mengapresiasi pendapat, gagasan, saran, atau kritik, tidak banyak yang bisa melakukannya. Apalagi jika posisi Anda adalah bos, sedangkan apa-apa yang harus Anda dengar berasal dari bawahan.
Kesulitan untuk mampu mendengar “apa-apa” inilah yang menjadi awal dari sebuah bencana dalam sebuah tim. Pertama, dari sisi bos, bencana yang akan timbul adalah, munculnya sikap paling benar.
Karena merasa sebagai satu-satunya eksponen yang benar, bos tidak perlu bersusah-susah mendengar, karena apa yang dipikirkan, apa yang dilakukan, sudah benar. Akibatnya kebenaran bukan lagi berdasar kebenaran, melainkan berdasarkan suara bos.
Baca juga: Konflik
Kedua, dari sisi bawahan, akan muncul sikap alergi, dan mungkin frustasi, untuk mengambil peran yang lebih besar. Jangankan untuk itu, kesempatan untuk berbicara saja sudah tidak memungkinkan.
Ketiga, tim akan kehilangan peluang atas munculnya ide-ide alternatif. Peluang itu telah tertutup oleh keangkuhan bos. Padahal ide dan gagasan kreatif, bisa datang dari mana saja, tak terkecuali dari bawahan.
Suasa Kondusif
Agar tiga bencana tersebut tidak melanda tim Anda, maka perlu diciptakan suasana kondusif yang memungkinkan seluruh lapisan tim mampu dan mau berbicara. Dengan kata lain, seluruh aspirasi anggota tim, yang sejalan dengan nilai yang dianut tim, sedapat mungkin mampu terakomodasi.
Kiatnya? Pertama, sebagai bos, Anda harus menampilkan diri sebagai manusia yang sewajarnya, yang terbatas pengetahuannya, dan bisa berbuat kesalahan-kesalahan. Ini mengandung implikasi bahwa Anda harus belajar mendengar. Anda harus banyak mendengar, ketimbang berbicara, apalagi memerintah. Anda harus siap dikoreksi dan dikritik.
Maka posisikan setiap saran dan kritik sebagai kekuatan tambahan yang mampu meningkatkan kinerja tim Anda. Contohlah kearifan pemimpin-pemimpin besar dalam merespon aspirasi “anak buah”.
Tengoklah sejarah Muhammad Rasulullah Saw. Pada suatu kesempatan, beliau pernah mempersilakan para sahabat untuk mengoreksi, bahkan “membalas” atas tindakan Rasulullah Saw, yang mungkin secara tidak sengaja, menyusahkan dan memberatkan para sahabat.
Baca juga: Siklus
Pada saat itu pula, majulah seorang sahabat dan mengadu bahwa Rasulullah saw pernah, secara tak sengaja, memukulnya. Maka sahabat ini meminta balas untuk memukul Rasulullah Saw.
Tentu, sahabat yang lain merasa keberatan, dan mengajukan kesanggupan untuk mengganti balasan itu. Karena—kita tahu—mereka (dan kita) sangat cinta kepada Rasulullah Saw dan tidak rela melihat sang junjungan itu dipukul.
Namun kearifan Rasulullah Saw membuat kejadian berlangsung secara mengejutkan. Rasulullah Saw mempersilahkan dan rela untuk dipukul, bahkan dengan membuka bajunya, seperti yang diminta sahabat tadi.
Tapi, di luar dugan pula, sahabat tadi tidak jadi memukul Rasulullah Saw melainkan memeluk erat-erat. Semua sahabat merasa plong. Ya, pemimpin sekaliber Rasulullah Saw ternyata sangat aspiratif. Beliau (sangat) mau mendengar.
Jangan Takut Bicara
Kedua, sebagai bawahan Anda tak perlu takut dan ragu untuk menyampaikan aspirasi. Anggaplah ide dan gagasan Anda sangat berguna bagi kemaslahatan tim. Saran dan kritik Anda adalah energi baru bagi tim.
Tentu, Anda harus pandai-pandai meramu segala unek-unek yang akan Anda sampaikan. Sebab, jangan sampai esensi aspirasi Anda belum tersampaikan, mentok, hanya karena si bos sudah terperangkan pada gaya dan cara penyampaian Anda. Maka akan muncul kembali tembok-tembok tebal penghalang penyampaian aspirasi.
Akhirnya, iklim keterbukaan dan suasana “saling memberi dan menerima masukan” menjadi keharusan untuk dipraktekkan dalam tim Anda. Ini artinya bahwa sikap aspiratif tidak hanya berlaku antara bos dengan bawahan, melainkan melingkupi seluruh lapisan tim.
Dalam bahasa yang lebih kental, amar makruf nahi mungkar hendaknya menjadi “Ideologi” dalam sebuah tim. Kebaikan disuarakan untuk disosialisasikan, sementara kejahatan disuarakan untuk ditepis.
Nah, bukankah Anda menginginkan tim yang aspiratif? (#)