Artika, seorang siswi yang mencintai si Tuan. Bertahun-tahun dia menunggu di ruang gelap, berharap cinta itu berbalas.
Siapakah si Tuan yang umurnya terpaut jauh dengannya? Bagaimana akhirnya kisah cinta Artika?
Cerpen oleh Risha Iffatur Rahmah
Tagar.co – Di sebuah lorong sekolah, Artika duduk dengan hati yang berdebar. Ia menanti kedatangan laki-laki tangguh yang mengisi setiap sudut pikirannya.
Dua puluh menit berlalu tanpa kepastian. Keringat dingin membasahi dahi yang memucat, saat pesan di ponselnya berbunyi: “Misunderstanding.”
Jarinya bergetar, mencerminkan perasaannya yang penuh gejolak, harapan yang mulai pudar.
Minggu-minggu berlalu, dan Artika hanya bisa bercinta kasih dengan bayangannya. Harapan yang menggebu semakin redup. Di luar kelas, dunia berputar, sementara di dalam hatinya, perasaan berat ini memukul jiwa. Setiap detik menjadi siksaan.
Sementara itu, teman di sekolah sering membicarakan cinta terlarangnya.
“Artika jatuh cinta pada orang sepuluh tahun lebih tua! Gila, kan?”
Telinganya merona, terasa terbakar oleh kata-kata itu. Kerinduan pada si Tuan semakin menguasai dirinya, mengubah harapan menjadi kegelisahan yang tak tertahankan.
Baca juga: Jalan Kembali
Saat kabar pernikahan si Tuan menyebar, keputusasaan menggulung wajahnya. Ujian sekolah datang menghantui, namun air mata tak dapat dibendung lagi. Dalam keheningan, ia menangis meratapi nasib yang seolah telah ditentukan. Air mata dan rasa candu pada si Tuan ia pendam dalam kesunyian. Sebuah beban jiwa Artika.
Hari-hari berikutnya, sepulang sekolah dengan rasa yang sepi dan duka menghiasi wajahnya. Dia terkucilkan. Pintu rumah dibuka, langkahnya menuju kamar dengan jendela sore hari. Seakan memberitahukan bahwa harapannya semakin meredup begitulah kesedihan yang tak tahu diri segera menyelimuti.
Selepas bersih diri dalam kesedihan yang panjang. Bacaan ayat suci Al-Qur’an menjadi satu-satunya pelipur lara. Menanti Magrib dengan hafalan doa lalu berganti rekaman tadarus.
Setiap kali mendengar ayat-ayat itu, sesak mengisi dadanya. Gadis yang tinggal sendirian di atap rumahnya menyaksikan betapa besar cinta yang tak terbalas, terasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar.
Azan Magrib menggema, menghentikan alunan kesedihan yang menggelora. Mukenanya melayang di atas ranjang. Dengan tatapan kosong, ia menatap langit temaram yang berwarna kekuningan. Waktu Magrib dihabiskan dengan gelisah yang mencekam, seolah ia hanyalah anak kecil yang merindukan Tuan.
Pikiran untuk mengakhiri hidupnya melintas, namun ujian nasional mengingatkannya akan tanggung jawab yang harus dihadapi. Ia tak jadi bunuh diri, terhalang oleh gengsi yang mengikatnya. Isak tangisnya tak lagi terdengar, hanya tawa yang menertawakan kesedihannya.
Di sudut kamarnya, rumus-rumus kimia, matematika, biologi, dan fisika bertebaran, tetapi pikirannya terjebak pada sosok si Tuan. Salat Magrib seakan menjadi obat, dan waktu yang melambat membawanya ke dalam mimpi yang penuh harapan.
Dalam mimpinya, si Tuan datang membawa kabar bahwa waktunya telah tiba. Ia menyerahkan seuntai mawar merah, simbol cinta yang terpendam. Namun, saat Artika ingin berbicara, si Tuan menghilang dalam asap yang membubung.
Mata Artika terbelalak, tak sempat mengungkapkan segala rasa. Hanya kesedihan yang tersisa, malam-malam panjang yang mengubur perasaannya dalam kesunyian.
Si Tuan, seorang guru, tak akan pernah mencintai muridnya. Sedangkan, Artika akan lulus tiga bulan lagi tetapi status alumni tak akan mengubah kenyataan bahwa si Tuan lebih memilih orang lain.
Dalam keputusasaan, Artika hanya bisa menatap si Tuan bersanding di pelaminan, air matanya mengalir, sementara Tuan hanya membuang muka. Keberuntungan menjauh, meninggalkan Artika dalam kesendirian.
Beberapa bulan berlalu, ia bertemu Rahmat, sosok yang seolah menjadi penolong. Artika masuk jurusan kedokteran namun ia beralih menjadi guru. Kabar itu tersiar sampai di telinga kekasihnya. Rahmat pun memilih menghilang tanpa jejak sambil berkata, “Guru itu miskin. Kenapa kamu memilih jalan ini, padahal menjadi dokter ada di depan mata?”
Baca juga: Pintu Berkabut
Artika hanya bisa terpaku, melepaskan beban hidupnya. Bagi gadis itu, uang bukan segalanya; kebahagiaan terletak pada cinta yang tulus. Sebagai putri bungsu pengusaha kaya ia memiliki segalanya akan tetapi cinta untuk si Tuan tak tergantikan. Kini si Tuan telah berkeluarga, tapi bayangannya tetap hidup di dalam hatinya.
Artika tetap gadis mungil yang terbuang, terjebak dalam kesalahpahaman dan rasa yang dalam. Mungkin cintanya melebihi kasih pada Sang Rab, sehingga tak ada jalan untuk bersatu.
Di tahun-tahun berikutnya dalam ruangan kamar kos yang hanya ada satu jendela tak mengubah hatinya yang kaku. Lelaki yang tulus melebarkan harapan cinta menghilang ditelan sunyi.
Artika terus bersembunyi di balik jendela tua sambil meneteskan air mata. Terbayang si Tuan dalam hidupnya. Kesedihan itu berganti tawa yang menertawakan dirinya sendiri.
“Artika pengecut!” serunya dalam hati, suara yang memantul di ruang kosong.
Gelagat anehnya membuat mbak kosnya bingung. Perempuan semester delapan itu menganggapnya gila. Namun, cerpen yang ditulisnya menjadi jawaban atas segala tangisan dan tawanya, pelampiasan dari luka yang tak kunjung sembuh.
Di sudut hati Artika, bertahun-tahun berlalu, wajah si Tuan terus menghantuinya, penuh kerinduan yang tak terpadamkan. Ia tetap merasa sendiri, terjebak dalam labirin cinta yang menyakitkan. Si Tuan adalah bayangan yang tak ‘kan pernah pudar.
Wajahnya tetap menggelayut di jendela itu diiringi suara gemuruh air hujan. Sama-sama tangisannya menggema. Mbak kosnya hanya menghela napas dan turut berduka. Karena gadis ini tak pandai berbohong.
“Bukankah, ia bahagia dengan pilihannya? Kau cantik, masih banyak yang peduli di luar sana! Jangan menangis lagi.” Mbak Kos memeluk erat.
Sementara gadis samar-samar berbisik, “Sudah bertahun-tahun saya bertahan, entah mengapa cinta saya hanya pada si Tuan”.
Sebagai psikolog muda, Mbak Kos tahu sang gadis tidak dalam keadaan baik. Ia mencetuskan ide agar melebur semua perasaan itu dengan menyukai ilmu.
“Bukankah belajar lebih menyenangkan untuk sekadar mengingat si Tuan?”
Tangisannya mereda begitu juga hujan. Dalam hatinya masih hidup si Tuan hanya saja kini berbeda. Setiap hari jendela tua itu menyaksikan si gadis terus belajar. Tampak guratan wajahnya menata masa depan hanya sekadar mematahkan kata miskin yang disandang seorang guru.
“Setidaknya, saat bertemu Tuan, aku tak rendah diri.”
Hatinya bergumam sendu dan kembali mengingkari nurani. Ia menjadi sosok yang realistis membenarkan perkataan Rahmat. Ia baru menyadari jika peran guru hanya sebagai sandal menteri yang silih berganti, bahan proyek, atau boneka kebijakan.
Wajah gadis yang tadinya optimis menjadi lusuh dikarenakan terbayang kemiskinan meskipun dia anak orang kaya. Teringat kembali perkataan si Tuan saat terakhir kali bertemu.
“Siapa pun kalian nantinya, tetaplah berjuang di garis yang lurus. Di sana akan menemukan kemenangan walaupun menderita. Allah tetap menolongmu.”
Kalimat itu menjadi beban berkepanjangan terlebih perasaan dihargai dan diharapkan seakan menjadi candu yang melelahkan. (#)
Beban Jiwa Artika, Penyunting Mohammad Nurfatoni