Bansos membuat juragan beras itu terkenal. Akhirnya terpilih jadi wakil rakyat. Tapi warga terkejut ketika tahu siapa yang mendanai.
Cerpen oleh Sugeng Purwanto
Tagar.co – Sore selepas Asar, warga kampung berduyun-duyun menuju toko Koh Bun. Hari itu adalah waktunya pembagian bingkisan yang rutin diberikan juragan beras itu sebulan sekali tiap tanggal satu.
Tidak ada antrean panjang. Warga sudah bisa mengatur irama pengambilan bingkisan hingga tidak perlu antre. Warga seperti sudah punya jam sendiri kapan waktunya mengambil.
Begitu warga datang, satu per satu langsung diberi satu kresek bingkisan oleh pegawai tokonya. Koh Bun hanya mengawasi. Pakai kaos oblong putih dan celana kolor.
Warga pulang dengan wajah gembira. Tas kresek itu berisi beras tiga kilogram, gula pasir sekilo, minyak goreng satu liter, kecap, mi instan, dan sarden satu kaleng.
Pembagian bingkisan ini sudah berlangsung lima tahun. Awalnya hanya beras dibagi tiap tahun menjelang Idulfitri. Koh Bun menyebut pembagian zakat fitrah seperti di masjid dan musala. Tiap warga dapat 3 kg per sak.
Tahun pertama untuk seratus warga. Tahun kedua dua ratus warga. Tahun berikutnya meningkat lagi tiga ratus orang. Warga semakin senang banyak yang mendapat bagian. Koh Bun menjadi terkenal sekecamatan. Juragan beras yang dermawan.
Bava juga: Perginya sang Muazin
Namun pembagian beras ini jadi perdebatan di antara para ustaz di masjid-masjid. Apakah beras dari non-Muslim bisa disebut zakat fitrah?
Warga tak peduli dalil hukum beras Koh Bun yang diperdebatkan. ”Beras zakat, sedekah, infak, sumbangan tidak penting. Terpenting saya punya beras hari ini untuk makan,” kata satu warga.
”Apalagi harga beras terus naik, tak pernah turun. Hanya celana kolor saja yang turun,” seru lainnya.
”Dapat beras lumayan bisa hemat uang untuk sepekan. Tinggal beli lauk dan sayur,” kata warga satunya.
”Daripada para ustaz itu berdebat mbok yo niru Koh Bun ikut bagi-bagi beras. Debat gak ngatasi kelaparan,” ujarnya.
”Di sini banyak juragan toko yang kaya. Tapi yang membagi beras hanya Koh Bun. Padahal Haji Burhan itu juga kaya. Tokonya laris. Belum pernah bagi-bagi zakat,” sergah warga lainnya.
Jalan utama kampung itu jadi pertokoan. Ada toko beras, minyak goreng, mi instan, peralatan rumah tangga, frozen food, dua mini market yang bersebelahan, toko kue. Juga ada toko grosir camilan tempat orang kulakan jajanan. Ada lagi warung bakso dan makanan.
Nama Haji Burhan yang disebut warga itu pemilik toko elektronik. Lokasinya berada di depan toko Koh Bun. Tokonya memang laris. Jual TV, AC, kulkas, setrika, magic jar, kipas, blender, mixer, pompa air, dispenser, dan lainnya.
Ketika TV analog berganti digital, tokonya sangat laris. Orang-orang berjubel keluar masuk. Banyak yang cari TV digital ukuran 40 inch. Stok barang terus mengalir. Begitu habis langsung datang kiriman lagi.
Stok TV LED lama diobral lengkap dengan set top box (STB) untuk mengonversi TV analog menjadi digital. Itu pun habis diserbu warga. Dia beriklan lewat TikTok. Disebar lewat WA. Menyebar berantai ke mana-mana. Orang luar kota berduyun-duyun ke tokonya.
Di musim kemarau, kipas angin dan AC jadi laris. Orang-orang yang gerah dan kesumukan ramai-ramai beli kipas. Ada yang pilih pasang AC. Lebih sejuk dan tidak masuk angin. Demi bisa tidur nyenyak saat udara panas menyengat.
Ketika waktu bayar listrik, mereka melonjak kaget karena tagihannya naik drastis dua kali lipat. Baru sadar kalau AC makan banyak listrik.
Haji Burhan dikenal sebagai orang kaya raya. Dia rajin ke masjid. Menjadi imam. Namun warga tak pernah tahu dia membagikan zakat fitrah maupun mal. Karena itu orang menilai dia pelit. Waktu urunan acara 17 Agustusan saja dia paling kecil di antara pemilik toko lainnya.
Beda dengan Koh Bun yang makin dermawan saja. Tahun keempat dia mulai membagi bingkisan menjadi sebulan sekali. Dalam bingkisan tak hanya beras. Ditambah minyak goreng, dan gula.
Pemilik toko minyak goreng dan gula pun ikut gembira. Karena dagangannya ikut diborong tiap bulan.
Sudah tak terdengar lagi perdebatan status hukum beras Koh Bun di kalangan ustaz. Nama Koh Bun makin populer. Tak hanya sekecamatan. Kali ini jadi perbincangan di seluruh kota. Di warung-warung kopi.
Warga menyebut bingkisannya itu bansos. Bantuan sosial. Seperti yang dibagikan para menteri dan presiden itu. Tahun kelima ini ditambah lagi isinya dengan kecap, mi instan, dan sarden. Bertambah gembira warga yang menerima. Juga suka ria pemilik toko kecap, mi, dan sarden.
Puja-puji disampaikan kepada Koh Bun. Ada warga yang bilang dia layak jadi wakil rakyat. Warga lainnya bilang pantas jadi wali kota. Bahkan ada yang omong dia cocok jadi menteri sosial.
Baca juga: Jam Dinding Bertuah
Waktu acara pembagian, wartawan berdatangan. Juga para youtuber dan tiktoker. Untuk bikin konten. Divideo saat membagi bansos. Diwawancarai banyak pertanyaan. Sampai dia gelagapan. Juga bosan menjelaskan berulang-ulang.
Namanya masuk berita. Videonya menyebar di WA. Termasuk komentar warga yang menyebut dia cocok menjadi wakil rakyat, wali kota, atau mensos. Kian terkenal dia.
Orang-orang partai politik akhirnya berdatangan. Menawari dia didaftar menjadi wakil rakyat untuk pemilu tahun depan.
Koh Bun bimbang. Sebab dia tak paham politik. ”Owe tak ngerti politik. Tahunya jualan beras,” ujar Koh Bun dengan logat medoknya.
”Masalah politik bisa dipelajari sambil jalan,” terang orang partai.
”Tapi siapa nanti yang pilih. Owe orang Cina, sembahyangnya di kelenteng,” ujarnya lagi.
”Gak masalah. Rakyat gak mikir itu. Asal dapat Bansos rakyat pasti memilih Koh Bun,” kata orang partai meyakinkan.
”Enak jadi wakil rakyat. Gaji besar, dapat pensiunan, koneksi banyak, dekat pejabat,” seru orang partai lagi.
Koh Bun jadi tergoda. Sebulan menjelang coblosan pemilu, fotonya terpampang di daftar calon tetap wakil rakyat Partai Kuda. Daerah pemilihan di wilayahnya. Musim kampanye dimulai.
Warga menyambut gembira. Mereka beramai-ramai mendatangi rumahnya. Memberi dukungan sambil ikut makan-makan. Menunya bergantian. Rawon, soto, kare, sate, gule, lontong cap goh meh, nasi krawu, bebek goreng, rica-rica mentog, krengsengan, sup ayam.
Mereka juga bawa istrinya. Berombongan dengan anaknya. Mengajak tetangganya juga. Lumayan selama sebulan bisa ikut makan di situ. Menikmati pesta kampanye.
Banyak yang mengajukan diri jadi jurkam. Bikin jadwal, program, dan kunjungan. Juga anggarannya. Koh Bun tambah bingung dan kaget. Ternyata ribet urusan jadi calon wakil rakyat.
Baca juga: Laut dan Cerita di Tepi Sore Itu
”Sampeyan gak usah bingung. Saya yang ngatur. Koh Bun terima jadi,” ujar jurkam.
”Waduh, owe gak ada uang untuk kampanye segede ini,” kata Koh Bun saat ada yang minta dana kampanye satu miliar.
”Dana ini kecil. Koh Bun gak usah kuatir. Pasti balik modal dalam setahun,” kata jurkam.
”Gimana caranya?”
”Ada gaji, tunjangan rumah, uang sidang, uang reses, uang aspirasi, uang saku kunjungan kerja, uang siluman… he.. he.. he…,” kata jurkam sambil terkekeh.
”Kok ada uang siluman?”
”Iya. Kadang ada uang tiba-tiba muncul gak tahu dari mana asalnya ha.. ha.. ha..”
”Wah, gak bahaya tah. Bisa ditangkap KPK.”
”Mainnya harus elegan. Jangan mencolok. Biar gak apes,” tutur jurkam dengan tawa.
Kampanye dimulai. Koh Bun tak pandai pidato. Dia hanya keluar masuk kampung. Blusukan. Diiringi pendukungnya. Menyapa warga. Omon-omon. Mendengar keluhan. Sampai kepalanya penuh sesak dimasuki permintaan warga.
Hari coblosan pemilu dimulai. Saat penghitungan, namanya mendapat suara tertinggi di dapilnya. Warga bersorak. Bergembira. Acara makan-makan berlanjut lagi. Para pemilik toko juga datang memberi ucapan selamat.
Baca juga: Jawabanku untukmu, Morin
Koh Bun masuk gedung dewan rakyat. Lalu mengukur jas dan pakaian safari. Memilih dasi. Penampilannya jadi trendi. Pakai kopiah. Di dada menempel lencana DPRD. Berkali-kali dia becermin. Tak lagi pakai kaos oblong dan celana kolor.
Mengikuti pelantikan, rapat fraksi, rapat komisi, dengar pendapat, mengenal para pejabat, turun ke masyarakat menyelesaikan pengaduan. Dia ngikut saja. Bicara seperlunya.
Warga mulai datang ke kantornya. Ada yang mengeluh SPP anaknya belum bayar, uang ujian, kontrakan rumah habis, hajat sunatan, mantenan. Dia jadi kikuk meladeni tamu-tamunya ini. Berkali-kali dia membuka dompet.
”Wah rugi soro kalau begini,” ujarnya sambil geleng-geleng. ”Belum gajian sudah keluar duit.”
”Tenang Koh. Itu uang receh untuk rakyat. Nanti dapat yang besar,” ujar orang partai.
Baca juga: Uang Abu-Abu
Dilaluinya hiruk pikuk menjadi wakil rakyat. Di tokonya pembagian bansos terus berjalan setiap bulan tanggal satu. Namanya makin tenar saja. Juragan beras jadi wakil rakyat.
Omset berasnya makin besar. Dia dapat order memasok beras anggota DPRD. Juga orderan beras karyawan balai kota. Beras premium. Semua orang memuji berasnya enak. Punel. Lebih enak dibanding jatah beras tahun sebelumnya yang bulukan dan berkutu.
Warga makin memuja-muja. Orang partai bilang pemilu mendatang dia bisa jadi wali kota.
”Pengalaman DPRD lebih mudah melangkah ke kursi wali kota. Sudah tahu hitung-hitungannya,” kata orang partai.
Koh Bun cuma manggut-manggut. Gak paham.
Esok hari ada kabar Haji Burhan terkena serangan jantung. Tak lama kemudian disusul berita duka. Haji Burhan wafat. Satu kampung terkejut. Lebih-lebih Koh Bun tetangga dekatnya. Semua tak menyangka juragan TV itu meninggal. Padahal masih tampak sehat dan gagah.
Keluarga Haji Burhan tak mengadakan slametan dan tahlilan. Jadi rasan-rasan tetangga.
”Dasar pelit. Kirim doa saja gak mau. Padahal dapat beras takziah banyak gak ngadakan slametan,” ujar tetangganya.
Satu bulan berlalu. Tanggal satu semua warga berdatangan ke toko Koh Bun. Mau mengambil bingkisan. Tapi karyawannya mengatakan sudah tak ada bansos lagi.
Baca juga: Biduan
Warga terkejut. Tidak percaya. Mereka berkerumun. Belum mau pulang. Kerumunan makin besar. Memenuhi jalan. Lantas menjadi gelombang protes. Demonstrasi. Berteriak. Menuntut. Bansos. Meminta Koh Bun keluar.
Karyawan dan anak istri Koh Bun jadi takut. Ada yang lempar batu. Ada yang memaki. Misuh-misuh. Koh Bun keluar. Menjelaskan tak ada lagi bansos.
”Kenapa?” tanya warga serempak tak percaya.
”Uangnya sudah disetop,” jawab Koh Bun.
”Kenapa disetop. Toko Sampeyan makin besar. Untungnya pasti banyak,” kata warga.
”Haji Burhan sudah meninggal. Tidak ada lagi uang Bansos,” jelas Koh Bun.
”Apa hubungannya dengan Haji Burhan?”
”Bansos itu uang Haji Burhan. Dia membeli beras saya untuk dibagikan. Juga membeli minyak, kecap, mi, gula, sarden dibagikan ke warga.”
”Haahhh……” semua orang melongo terkejut lagi.
”Jadi bukan uang Sampeyan?”
”Rugi soro kalau uang saya. Jual beras untungnya dikit.”
Warga kecewa. Ngomel. Misuh-misuh. Ada yang melempar batu. Diikuti lainnya. Hujan batu menimpa toko Koh Bun. (#)