Sejarah

Baiat Aqabah, Perjanjian Rahasia yang Menggerakkan Hijrah

×

Baiat Aqabah, Perjanjian Rahasia yang Menggerakkan Hijrah

Sebarkan artikel ini
Baiat Aqabah terjadi tahun 622 Masehi setelah empat kali pertemuan tiap musim haji. Perjanjian ini mendorong terjadinya gelombang hijrah muslim Makkah ke Kota Yatsrib dalam bayang-bayang kejaran kafir Quraisy.
Masjid Baiat di Bukit Aqabah Mina dibangun zaman Dinasti Abbasiah. (foto open minda)

Baiat Aqabah terjadi tahun 622 Masehi setelah empat kali pertemuan tiap musim haji. Perjanjian ini mendorong terjadinya gelombang hijrah muslim Makkah ke Kota Yatsrib dalam bayang-bayang kejaran kafir Quraisy. 

Tagar.co – Nabi Muhammad berjalan mendatangi tenda-tenda rombongan peziarah yang bermalam di seputaran Makkah di musim haji. 

Nabi Muhammad mengenalkan dirinya sebagai nabi dan menerima wahyu. Dia mengajarkan Islam yang hanya menyembah Allah. Nabi membacakan ayat-ayat Al-Quran yang sudah turun saat itu.

Dakwah dari satu kemah ke kemah peziarah di Makkah akhirnya menjadi perbincangan. Orang asing akhirnya tahu ada penduduk Makkah yang mengaku nabi dan menerima wahyu.  

Dua peziarah dari Yatsrib bernama Suwaid bin Shamit dan Iyaz bin Muadz saat pulang ke kotanya menyampaikan kabar adanya nabi dari Makkah ini. 

Orang-orang Yatsrib suku Khazraj dan Aus sudah tahu masalah kenabian dari cerita orang-orang Yahudi tetangganya. 

Orang Yahudi Yatsrib bercerita, ”Sesungguhnya zaman kedatangan nabi yang diutus telah dekat. Kita akan mengikutinya dan dengannya kami akan membunuh kalian seperti pembunuhan terhadap orang-orang Ad dan Iram.” 

Baca juga: Nabi Ibrahim, sejak Muda Sudah Radikal

Kitab Sirah Ibnu Hisyam menceritakan, di musim haji tahun berikutnya, ada enam peziarah Yatsrib mencari Nabi Muhammad yang berdakwah di bukit Aqabah. 

Ketika bertemu Nabi Muhammad bertanya, ”Siapa kalian?”

”Kami orang-orang Khazraj dari Yatsrib,” jawab mereka.

”Apakah kalian dari teman-teman orang Yahudi?” tanya Rasul.

”Ya,” jawab mereka.

Nabi Muhammad duduk bersama mengajarkan ketuhanan dengan membacakan ayat-ayat Al-Quran. 

Mendengar ayat-ayat itu orang Yatsrib berkata sesama temannya, ”Demi Allah, inilah nabi yang dijanjikan orang-orang Yahudi kepada kalian. Karena itu kalian jangan kalah cepat dari orang-orang Yahudi mengakuinya.”

Enam orang ini lalu bersyahadat. Namun masih diam-diam dan merahasiakan pertemuan ini dari orang-orang Quraisy.

Juru Damai

Ketika pulang ke Yatsrib, mereka menceritakan pertemuan dengan Nabi Muhammad dan ajaran Islam. Cerita ini kemudian meluas menjadi pembicaraan dalam keluarga suku Khazraj dan Aus.

Musim haji tahun berikutnya ada dua belas orang suku Khazraj dan Aus pergi haji. Di antara dua belas orang itu, lima orang pernah bertemu nabi pada musim haji sebelumnya. 

Lima orang ini adalah As’ad bin Zurarah, Auf bin Al Harts, Rafi’ bin Malik bin Ajlan, Quthbah bin Amir bin Hadidah, dan Uqbah bin Amir bin Nabi. 

Baca Juga:  Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng, Gaya Hidup Bersahaja

Mereka bertemu dengan Nabi Muhammad di bukit Aqabah kembali untuk mendengarkan ayat-ayat Al-Quran. Usai pertemuan mereka menerima Islam dan berbaiat.

Baca juga: Khalifah Umar bin Abdul Aziz Akhiri Caci Maki pada Ali di Khotbah Jumat

Isi baiat adalah tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh bayi, tidak berbohong, dan tidak bermaksiat. Dikenallah ini sebagai baiat Aqabah.

Kemudian Nabi mengutus Mush’ab bin Umair ikut bersama orang Yatsrib untuk mengajarkan Al-Quran dan menjadi imam salat. 

Mush’ab bin Umair tinggal di rumah As’ad bin Zurarah bin Udas yang juga dikenal dengan panggilan Abu Umamah. 

Orang-orang suku Khazraj dan Aus itu selalu bersaing. Merasa paling unggul. Semula orang Khazraj tidak mau bermakmum kepada orang Aus dan sebaliknya. Kehadiran Mush’ab bin Umair akhirnya menjadi penengah dan juru damai di antara dua suku itu. Dialah yang menjadi imam salat. 

Masalah Politis

Kedatangan Mush’ab bin Umair ternyata memunculkan masalah politis. Muslim Yatsrib menghormatinya dan menjadi tempat bertanya.

Situasi ini menimbulkan cemburu pemimpin suku Khazraj, Sa’ad bin Muadz dan Usaid bin Hudhair. Keduanya tidak senang wilayah kepemimpinannya diusik. Keduanya ingin mengusir Mush’ab bin Umair.

As’ad bin Zurarah memberitahu Mush’ab, bahwa dua orang ini mempunyai pengikut yang banyak. Jika keduanya masuk Islam maka kaumnya pasti masuk Islam juga.

Sa’ad bin Muadz dan Usaid bin Hudhair secara bergantian mendatangi Mush’ab dengan marah dan hendak mengusirnya.

Mush’ab dengan tenang mengajak bicara. Dia menjelaskan ajaran Islam dan membacakan ayat. Mendengar ayat-ayat Al-Quran, Sa’ad bin Muadz maupun Usaid bin Hudhair hatinya langsung tersentuh. 

Lalu keduanya berkata, ”Apa yang kamu perbuat ketika ingin masuk Islam?”

Mush’ab bin Umair tersenyum. Dia menjawab, ”Mandi, membersihkan diri, membersihkan bajumu, bersyahadat dengan kesaksian yang benar kemudian salat.”

Keduanya mengerjakan saran itu. Kemudian bersyahadat dan shalat dua rakaat. Setelah masuk Islam keduanya pergi menemui kaumnya, Bani Abdul Asyhal, dan berkata, ”Hai kaumku, bagaimana pendapat kalian tentang diriku?”

Kaumnya menjawab, ”Engkau pemimpin kami, orang yang paling baik pendapatnya dan paling baik pertimbangannya.”

Baca jugaKa’bah dan Sejarah Haji

Lalu tanpa ragu-ragu Sa’ad bin Muadz berkata, ”Sesungguhnya perkataan orang laki-laki dan perempuan kalian haram bagiku hingga kalian beriman kepada Allah dan Rasulnya.”

Baca Juga:  Sura Bulan Hijrah Masyarakat Jawa

Semua orang kaget mendengar perkataan Sa’ad bin Muadz yang telah menerima ajaran Islam. Kaumnya pun menjawab, ”Demi Allah pada sore ini tidak tersisa orang laki-laki dan perempuan melainkan semua masuk Islam.”

Semua orang berbondong-bondong menemui Mush’ab bin Umair untuk bersyahadat. Dalam sehari warga Bani Abdul Asyhal telah muslim semua. 

Di luar itu warga Bani Umaiyah bin Zaid, Khathamah,  Wail dan Waqif yang masih musyrik karena pemimpinnya Abu Qais bin Al Aslat belum mau menerima Islam.

Sejak menganut Islam, dua suku Khazraj dan Aus  tidak lagi terjadi pertentangan. Mush’ab bin Umair menjadi orang yang sangat dihormati karena mampu mendamaikan dua suku ini dengan Islam.

Pertemuan Rahasia

Tahun berikutnya Mush’ab bin Umair pulang ke Makkah bersama penduduk Yatsrib muslim dan musyrik untuk berhaji. 

Muslim Yatsrib secara rahasia mengikuti pertemuan dengan Nabi Muhammad di bukit Aqabah pada pertengahan hari Tasyriq. Ada 73 laki-laki dan dua perempuan muslim Yatsrib mengikuti pertemuan.

Nabi Muhammad ditemani pamannya, Abbas bin Abdul Muththalib, ketua Bani Hasyim. Nabi duduk dikelilingi muslim Yatsrib. 

Abbas bin Abdul Muththalib membuka pembicaraan. ”Hai orang-orang Khazraj, sesungguhnya Muhammad adalah bagian dari kami. Kami telah melindunginya dari kaum kami. Dia berada dalam perlindungan kaumnya dan jaminan keamanan di negerinya. Tapi dia lebih suka bergabung dengan kalian dan menyatu dengan kalian.” 

”Bila kalian yakin mampu memenuhi apa yang dia serukan dan mampu melindunginya dari orang-orang yang menentangnya, kalian berhak melakukannya dan menanggungnya. Tapi jika kalian akan menyerahkan kepada musuhnya dan menelantarkannya setelah dia bergabung kepada kalian maka sejak sekarang biarkan dia, karena dia sudah berada dalam perlindungan dan jaminan keamanan dari kaumnya dan negerinya.”

Baca juga: Orang Cina di Majapahit dan Asal-usul Wali Sanga

Muslim Yatsrib berkata,” Kami telah mendengar apa yang kamu sampaikan. Silakan bicara, ya Rasulullah. Ambillah untuk dirimu dan untuk Tuhanmu apa saja yang engkau sukai.”

Nabi Muhammad diam sejenak. Lalu membaca ayat Al-Quran. Setelah itu berpesan agar muslim Yatsrib terus berpegang kepada agama Allah. Sambil menatap tajam satu persatu orang-orang di sekelilingnya, 

Nabi berkata, ”Aku membaiat kalian agar kalian melindungiku sebagaimana kalian melindungi anak istri kalian.”

Baca Juga:  Kisah Penyamaran Jenderal Soedirman dalam Perang Gerilya

Spontan sesepuh orang Yatsrib, Barra bin Ma’rur, mendekati Nabi langsung memegang tangannya lalu mengucapkan baiat. ”Ya. Demi zat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, kami pasti melindungimu seperti kami melindungi anak istri kami. Baiatlah kami ya Rasulullah. Demi Allah, kami ahli perang dan ahli senjata. Itu kami wariskan dari satu generasi kepada generasi lainnya.”

Abu Al Haitsam bin At Tayyahan menambahkan. ”Wahai Rasulullah, sebenarnya kami mempunyai hubungan perjanjian dengan orang-orang Yahudi dan kami akan memutuskannya. Jika kami telah melakukannya kemudian Allah memenangkanmu, maka apakah engkau akan kembali kepada kaummu dan meninggalkan kami?”

Nabi berkata meyakinkan. ”Tidak. Darah kalian adalah darahku. Kehormatan kalian adalah kehormatanku. Aku bagian dari kalian dan kalian bagian dari diriku. Aku memerangi siapa saja yang kalian perangi dan berdamai dengan orang-orang yang kalian berdamai dengannya.” 

Baca juga: Bung Karno Diklaim Lahir di Ploso Jombang, Bukti Ini Kuatkan Surabaya

Nabi meminta orang-orang Yatsrib itu dibagi menjadi dua belas kelompok. Tiap kelompok dipimpin seorang naqib(pemimpin). Ada sembilan naqib dari suku Khazraj dan tiga dari Aus. 

Kepada para naqib, Nabi berkata, ”Kalian bertanggung jawab atas apa saja yang terjadi di atas kaum kalian seperti halnya pertanggungjawaban Hawariyun kepada Isa bin Maryam dan aku bertanggung jawab atas kaumku.” 

”Ya,” jawab mereka serempak. Tanpa ragu, orang-orang Yatsrib berkata, ”Kami mengambilnya meskipun ini mengurangi harta kami dan menewaskan orang-orang terhormat kami. Kalau kami melakukan hal tersebut, kami mendapatkan apa ya Rasulullah?”

Nabi menjawab,” Surga.” Mereka langsung menukas, ”Ulurkan tanganmu.”

Nabi mengulurkan tangannya langsung disambut oleh tangan semua yang hadir. Inilah baiat Aqabah kedua. 

Isi baiat Aqabah kedua: muslim Yatsrib memberikan perlindungan dan jaminan keamanan terhadap Rasulullah dan pengikutnya dari musuh-musuhnya. 

Baiat ini terjadi tahun 622 Masehi menjadi landasan hijrah muslim Mekkah ke Yatsrib. Sewaktu Rasulullah sudah menetap di Yatsrib, negeri itu berganti nama menjadi Madinatul Nabi atau juga disebut Madinatul Munawarah yang lazim dengan sebutan singkat sebagai Madinah. Madinatul Munawarah artinya kota nabi yang bercahaya. 

Orang-orang Yatsrib inilah yang kelak mendapat gelar kaum Ansar. Artinya orang-orang yang menolong. Menolong kaum Muhajirin Muslim dari Makkah. Menolong dengan segala tenaga, harta, dan jiwanya.

Penulis/Penyunting Sugeng Purwanto