Berusia 6 tahun, ayah saya menjalani masa kecil yang sulit. Suatu saat, dia mengajak teman-temannya ke loji Belanda, dengan harapan Tuan Meneer memberi roti, makanan pokok orang Belanda.
Cerpen oleh Bekti Sawiji, ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lumajang Jawa Timur
Tagar.co – Saat ayah kecil, dia tinggal bersama orang tua angkatnya. Saya memanggilnya engkong, di Pasirian. Sebelum pendudukan Jepang, ayah sudah hampir berusia 6 tahun.
Di masa itu, hidup jauh lebih sulit. Untuk sekadar makan, masyarakat harus bergantung pada hasil bumi seperti pisang, ketela pohon, dan umbi-umbian. Jika dalam sebuah keluarga makan nasi lengkap dengan lauk-pauknya seperti ayam, ikan, atau telor, maka itu sebenarnya adalah makan besar.
Pendidikan untuk anak-anak adalah prioritas nomor sekian. Yang utama adalah bagaimana mereka tidak kelaparan. Ayah agak beruntung. Sebagai anak angkat orang Cina, dia sempat mengenyam pendidikan ala Cina, di mana bahasa pengantarnya adalah bahasa Cina.
Saat sudah dewasa, saya mengerti bahwa ayah sangat mahir berbicara bahasa dan menulis huruf-huruf Cina. Bahkan, yang membanggakan hanya ada beberapa orang saja yang bisa menulis huruf Cina di area tempat kami tinggal.
Selain pendidikan, pakaian juga sederhana. Ada mode unik bagi ibu-ibu, seperti jarik isuk sore, kain bermotif batik yang dipakai berulang kali dengan membalik sisi motifnya. Dengan begitu, seolah-olah penggunanya memiliki lebih dari satu jarik.
Baca juga: Insomnia
Soal makan, di keluarga ayah juga tidak berlebih, meski belum pernah kelaparan seperti beberapa warga yanga lain. Namun demikian, ayah kecil masih menginginkan makanan-makanan ekstra.
Sebagai bocah dalam masa pertumbuhan, lambungnya seperti memanggil-manggil makanan, selalu lapar dan ingin makan. Maka tidak heran jika ayah dengan beberapa temannya kadang bermain ke ladang-ladang untuk mencari makanan seperti buah-buahan milik orang.
Puas ke ladang, suatu hari teman-teman ayah mengajak ke loji Belanda. Ayah membayangkan di loji ada makanan enak, terutama roti, makanan pokok orang Belanda. Khayalan ayah menjadi liar.
Dia merasa seperti dipersilakan masuk oleh Tuan Meneer. Setelah duduk, kepada ayah dan teman-temannya disuguhan roti dan susu yang masih panas. Lalu mereka buru-buru memakan roti-roti dan meminum susu yang lezat itu sampai habis. Setelah itu ayah berjalan-jalan di dalam rumah dan halamannya yang luas sebelum akhirnya berpamitan pulang.
Tapi itu hanya imajinasi seorang bocah kecil. Tidak demikian halnya dalam kenyataan. Begitu sampai di gerbang loji itu, ayah berkumpul dengan teman-temannya. Mereka menunggu Tuan Meneer keluar karena biasanya pagi-pagi seperti itu dia didapati sedang ke teras rumahnya untuk sekadar mondar-mandir.
Baca juga: Dorbok!
Anak-anak itu berdiri berjajar di pagar besi menghadap ke bagian loji. Tak lama yang mereka tunggu-tungu akhirnya muncul juga. Seseorang yang mereka sebut sebagai Tuan Meneer keluar dan mondar-mandir di teras.
Anak-anak menyambut gembira kedatangan Tuan ini. Kompak mereka berteriak memanggil-manggil Tuan Meneer.
“Tuan, Tuan.” Begitu mereka berteriak. Mereka berharap tuan itu menyahuti panggilan mereka.
Tak ada sahutan, mereka tidak berputus asa. Kemudian satu di antara teman ayah berteriak dengan kata-kata yang lucu. Mengingat cerita ini saya tersenyum simpul sendiri.
Anak itu berteriak, “Tuan, saya minta belung, saya minta belung, Tuan.”
Belungadalah istilah Jawa yang artinya adalah tulang. Tetapi, sungguh, anak itu tidak bermaksud untuk minta tulang kepada tuan itu. Anak itu seharusnya mengatakan, “Tuan saya belum minta.”
Baca juga: Lurah Jadug
Maklum, kala itu sumber daya manusia kita masih sangat rendah. Tak lama kemudian, Tuan Meneer beranjak dari duduk lalu masuk ke ruangan utama loji, agak lama. Ayah dan teman-temannya saling menoleh. Mereka tersenyum dalam diam. Sepertinya angan-angan mereka sama, Tuan Meneer akan keluar lagi membawa roti.
Benar saja, Tuan Meneer keluar. Tak terkira rasa gembira ayah dan teman-teman mendapati Tuan Meneer keluar dan berjalan mendekat ke arah mereka.
Harapan mereka untuk makan roti semakin pasti. Tetapi wajah ceria mereka tiba-tiba menjadi pucat pasi dan mulut mereka bagai terkunci. Setelah dekat, Tuan Meneer mengeluarkan senjata api sejenis senapan dan menodongkan kepada mereka.
Dia berteriak, “Godverdomme!” Kontan anak-anak berbalik badan dan berlari tunggang langgang meninggalkan Tuan Meneer yang kemudian tertawa melihat tingkah mereka.
Pupus sudah harapan mereka untuk mendapatkan roti dari Tuan Meneer. Setelah sangat jauh, mereka melambatkan larinya dan behenti untuk beristirahat. Alih-alih kenyang, mereka kecapekan berlari dan napasnya ngos-ngosan.
Baca juga: Solar Sopir
Betapa merananya anak-anak itu. Tetapi, mereka tetap saja bocah yang selalu memiliki sifat ceria. Setelah melepas lelah mereka melanjutkan perjalanan pulang sambil menceritakan perasaan mereka masing-masing saat ditodong senapan. Mereka tampak riang dan penuh tawa karena menganggap peristiwa yang mereka alami bagaikan sebuah lelucon saja.
Di perjalanan, pandangan liar ayah dari kejauhan tertuju ke sebuah benda yang tergeletak di pinggir jalan, di bawah sebuah pohon. Sebetulnya benda itu ada di antara rimbunya semak-semak. Namun, karena ada sedikit bagian yang nongol, ayah dapat melihatnya.
Diliputi rasa penasaran, ayan mengambil benda itu. Benda itu bulat seperti buah delima, terbuat dari besi dan agak berat. Ayah berteriak gembira dan menunjukkan kepada teman-temannya.
“Cen Fak, apa yang kamu temukan?” tanya seorang teman.
“Hore, saya menemukan wadah minuman,” jawab ayah.
Teman-teman ayah akhirnya mengerubungi ayah dan takjub dengan wadah minuman yang mewah itu. Rupanya wadah minuman yang terbuat dari besi itu milik tentara yang jatuh.
Tetapi sayang, ayah masih bingung cara membuka tutup benda yang bentuknya bulat seperti delima itu. Teman-temannya pun kesulitan membukanya. Mereka memutuskan untuk membawanya pulang.
Sesampainya di rumah, ayah tidak sabar untuk membukanya. Ayah ke gudang tempat menyimpan perkakas dan keluar lagi sambil membawa tang lalu berkumpul lagi bersama teman-temannya.
Baca juga: Lubang Kenikmatan dan Kesengsaraan
Ada bagian menyumpal wadah air itu yang sulit untuk ditarik bahkan dengan alat sekalipun. Kali ini, ayah dibantu temannya. Ayah memegang erat bagian wadahnya, dengan bantuan tang temannya, menjepit benda kecil menyumbat wadah air itu kuat-kuat dan siap menariknya.
Tapi lagi-lagi, dia gagal karena sumbat itu terlalu kuat untuk dibuka anak-anak. Ketika mereka hampir menyerah, tiba-tiba ada sesorang datang.
Dia adalah teman engkong, seorang pegawai yang bekerja di kantor Belanda. Tahu mereka ribut-ribut, dia datang menghampiri dan melihat wadah air yang sedang dikerubungi oleh anak-anak.
Baca juga: Pintu Berkabut
Serta merta, teman engkong merebut wadah air itu dan bergerak cepat ke arah kebun belakang. Anak-anak keheranan melihat wadah airnya direbut orang itu. Dengan penuh keheranan kakek mengejar temannya.
Sementara, ayah dan teman-temannya berubah menjadi ketakutan melihat peristiwa itu. Sesampainya di kebun, kakek bertanya, “Benda apa itu?”
Sambil meninggalkan benda itu di kejauhan temannya menjawab, “Granat!!!”
Penyunting Ichwan Arif