Telaah

Asyura: Hari para Nabi Diselamatkan, Hari Kita Diuji

230
×

Asyura: Hari para Nabi Diselamatkan, Hari Kita Diuji

Sebarkan artikel ini
Ulul Albab

10 Muharam bukan sekadar angka di kalender. Ia adalah hari ketika laut terbelah, api menjadi dingin, perut ikan berubah jadi mihrab, dan darah suci tumpah di Karbala. Hari diselamatkannya para nabi—dan hari kesadaran kita diuji: apakah kita masih punya iman seperti mereka?

Oleh: Ulul Albab; Ketua ICMI Jawa Timur Ketua Litbang DPP Amphuri, Akademisi

Tagar.co – Hari ini adalah 10 Muharam. Di kalender, mungkin ini hanya angka. Tapi dalam sejarah para nabi, hari ini adalah titik balik: saat gelap berubah menjadi terang, saat terperosok diangkat, saat terhina dimuliakan. Bukan oleh kekuatan mereka, tetapi oleh pertolongan Allah.

Saya ingin kita merenung bersama. Karena sejarah itu bukan untuk disimpan di museum, melainkan untuk dijadikan cermin zaman.

Baca juga: Karbala dalam Pandangan Ahlusunah: Sebuah Refleksi

Mari, izinkan saya mengajak sahabat sekalian berjalan pelan-pelan, mengikuti jejak para utusan Allah yang diuji di jalan iman. Kita urutkan kisah mereka—bukan hanya untuk dikagumi, tetapi untuk diteladani.

1. Nabi Adam: Tobat yang Diterima

Dialah manusia pertama. Pernah salah. Pernah tergelincir. Tapi tidak membangkang. Nabi Adam As. bertobat, dan pada 10 Muharam, Allah menerima tobatnya.

Saya jadi berpikir: kita yang bukan nabi, yang justru sering lebih banyak salahnya, apakah masih merasa terlalu mulia untuk mengakui kesalahan? Di zaman ini, maaf dan tobat sering kalah oleh ego dan gengsi. Padahal, Allah masih membuka pintu-Nya—sebagaimana Dia membukanya untuk Adam.

Baca Juga:  Suara Indah dari WhatsApp: Antara Harapan, Panik, dan Ilusi Visa Furoda 2025

2. Nabi Idris: Diangkat ke Langit

Dalam sebuah riwayat, pada hari ini pula Allah mengangkat Nabi Idris As. ke langit. Seorang nabi yang dikenal ahli ilmu, penuh ketekunan, dan disiplin.

Hari ini, banyak orang ingin naik jabatan, naik pangkat, naik posisi. Tapi lupa, bahwa kenaikan tertinggi adalah ketika Allah yang mengangkat kita—karena kualitas, bukan sekadar popularitas.

3. Nabi Nuh: Bahtera Mendarat di Bukit

Setelah ratusan tahun berdakwah, menghadapi penolakan demi penolakan, banjir besar pun datang. Pada 10 Muharam, kapal Nabi Nuh As. mendarat di bukit. Hari itu menjadi hari keselamatan—bagi yang sabar, tekun, dan setia dalam kebenaran.

Saya teringat para pendakwah, pendidik, dan pejuang sosial yang hari ini bekerja dalam sunyi. Jangan putus asa. Bahtera mereka mungkin belum mendarat. Tapi siapa tahu, besok adalah 10 Muharam mereka?

4. Nabi Ibrahim: Api Menjadi Dingin

Pada hari ini juga, api yang disiapkan Namrud untuk membakar Nabi Ibrahim As. berubah menjadi dingin dan menyelamatkan. Api kekuasaan, kebencian, fitnah—semua tak berkutik di hadapan iman yang teguh.

Di tengah dunia yang panas oleh fitnah, adu domba, dan polarisasi, kita rindu sosok seperti Nabi Ibrahim As.: berani bersaksi di hadapan penguasa, namun tetap santun dan penuh tauhid.

5. Nabi Yunus: Keluar dari Perut Ikan

Di tengah kegelapan laut, di dalam perut ikan, Nabi Yunus As. berdoa penuh penyesalan. Dan Allah pun menyelamatkannya pada 10 Muharam.

Baca Juga:  Menjaga Relevansi Jurusan Administrasi Publik di Tengah Revolusi AI

Saya membayangkan betapa sempitnya perasaan Nabi Yunus saat itu. Terasing. Tertelan. Tak bisa bergerak. Tapi justru dari tempat sempit itulah, doa paling tulus naik ke langit.

Hari ini, banyak dari kita juga merasa “tertelan” oleh utang, tekanan hidup, dan beban sosial. Tapi siapa tahu, dari kesempitan itulah justru datang keluasan ampunan dan pertolongan.

6. Nabi Musa: Laut Terbelah, Firaun Tenggelam

Inilah kisah puncak hari ‘Asyura. Nabi Musa As. dan Bani Israil diselamatkan, sedangkan Firaun dan pasukannya ditenggelamkan. Ini bukan dongeng. Ini pesan dari sejarah kenabian: bahwa tirani tidak akan menang selamanya.

“Maka ketika kedua golongan itu saling melihat, berkatalah para pengikut Musa: ‘Kita benar-benar akan tersusul.’” (Asy-Syu‘arā’: 61)

Tertekan. Tersudut. Tidak ada jalan lagi. Tapi lihatlah bagaimana seorang nabi menenangkan umatnya—bukan dengan senjata, tapi dengan keyakinan:

“Musa menjawab: ‘Sekali-kali tidak akan tersusul! Sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia pasti akan memberi petunjuk kepadaku.’” (Asy-Syu‘arā’: 62)

Lalu apa yang terjadi?

“Maka Kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah laut itu dengan tongkatmu.’ Lalu terbelahlah laut itu, dan tiap-tiap belahan seperti gunung yang besar.” (Asy-Syu‘arā’: 63)

“Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain (Firaun dan pasukannya).” (Asy-Syu‘arā’: 64)

“Dan Kami selamatkan Musa dan semua orang yang bersamanya.” (Asy-Syu‘arā’: 65)

Baca Juga:  Ilmu, Tafsir, dan Mikrofon: Syaiful Karim dan Tafsir yang Terlalu Jauh

Inilah pesan 10 Muharam: ketika tak ada jalan, Allah menciptakan jalan; ketika tak ada harapan, Allah menurunkan keselamatan. Keyakinan yang membuat laut bisa terbelah.

Hari ini kita mungkin tidak berdiri di Laut Merah. Tapi kita berhadapan dengan ketimpangan, kemiskinan, dan ketakutan. Maka pertanyaannya: apakah kita masih membawa keyakinan yang sama seperti Nabi Musa?

7. Husain bin Ali: Gugur di Karbala

10 Muharam juga adalah hari darah: hari gugurnya cucu Rasulullah, Sayidina Husain bin Ali Ra., di Karbala. Beliau wafat karena menolak tunduk pada kekuasaan yang tidak adil.

Husain bukan sekadar simbol syahid. Ia adalah cermin keberanian moral. Keberanian yang tidak mencari menang, tapi membela kebenaran—meski tahu akan kalah secara duniawi.

Lalu Kita, Umat Hari Ini?

10 Muharam bukan hanya milik para nabi. Tapi milik kita—umat yang ingin selamat.

Hari ini kita tidak sedang dikejar Firaun, tidak berada dalam perut ikan, tidak dibakar api. Tapi kita sedang diuji:

  • Apakah kita masih mau bertobat seperti Nabi Adam?

  • Masih yakin seperti Nabi Musa?

  • Masih berani seperti Nabi Ibrahim dan Husain?

Saya menulis ini bukan sebagai penceramah, tapi sebagai cendekiawan yang gelisah. Karena sering kali saya melihat, umat lebih sibuk dengan “puasa Asyura” tapi lupa makna Asyura itu sendiri. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni