Apa yang dimaksud dengan ikhtiar? Apakah manusia itu punya kemampuan untuk memilih? Bukankah semuanya telah ditakdirkan Allah?
Oleh Ustaz Ahmad Hariyadi, M.Si, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam An-Najah Indonesia Mandiri (STAINIM).
Tagar.co – Ikhtiar berarti yang di antara yang ada. Kata ikhtiar tidak ditemukan dalam Al-Qur’an; yang ditemukan adalah akar katanya ikhtara, yang berarti memilih. Ikhtara hanya disebut sekali yaitu dalam surat Al-A’raf/7:155: “Dan Musa memilih tujuh puluh orang dan kaumnya (memohonkan tobat) pada waktu yang telah kami tentukan …”
Secara istilah (ilmu kalam) ikhtiar adalah kebebasan manusia dalam memilih dan menentukan perbuatannya.
Ayat-ayat berikut, merupakan informasi ilahiah yang mengategorikan manusia sebagai makhluk berikhtiar:
a. Kebebasan Beriman
“Dan katakanlah: ‘Kebenaran ilu datangnya dari Tuhanmu, barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarkanlah ia kafir’” (Al-Kahifi/18:29)
b. Kebebasan Bersyukur
“Sesungguhnya Kami telah menunjuki jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Al-Insan/76:3).
Baca juga: Kibir, yang Sombong Tak Akan Mencium Bau Surga
c. Mengadakan Perubahan
“… Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri …” (Ar-Ra’du/13:11; baca juga Al-Anfal/8:53).
d. Membuat Kerusakan.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia …” (Ar-Rum/30:41).
e. Melakukan Kebaikan
“Bagi mereka disediakan darussalam pada Tuhan mereka, dan Dialah pelindung mereka disebabkan amal-amal shaleh yang selalu mereka kerjakan.” (Al-An’arn/6:127).
Baca juga: Jahil, Bermacam-macam Kebodohan Menurut Al-Qur’an
Kuasa atas Diri
Dari serangkaian ayat di atas, terlihat bahwa manusia berkuasa untuk mengarahkan dirinya pada kebaikan atau pada kesesatan. Tetapi tidak setiap peristiwa yang terjadi pada manusia (seseorang) berada dalam kekuasaan manusia itu sendiri.
Secara umum “peristiwa” yang terjadi pada seseorang bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu: peristiwa yang berada dalam “ikhtiarnya” dan peristiwa yang berada di luar ikhtiarnya. Berlakunya sistem alam pada manusia atau perbuatan yang tidak sengaja, merupakan peristiwa yang berada di luar ikhtiar manusia, sementara makan, mencuri, beribadah merupakan contoh peristiwa yang berada dalam wilayah ikhtiar manusia.
Adanya “ikhtiar” ini menjadi salah satu syarat-syarat–selain balik dan berakal sehat—yang menyebabkan manusia dimintai pertanggungjawaban terhadap setiap aktivitasnya. Manusia tidak akan dimintai pertangungjawaban tentang: mengapa dia dilahirkan, mengapa bumi berputar, dan sejenisnya, yang berada di luar ikhtiarnya.
Baca juga: Istikzan, Syariat Meminta Izin
Allah mewajibkan manusia bekerja (berikhtiar), sebagaimana firman-Nya: “Dan katakanlah “bekerjalah kamu, Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu …” (At-Taubah/9:105, baca juga Al-Jumu’ah/62:9-10). Manusia tidak akan mendapat balasan, kecuali akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya (An-Najm/53:39; baca juga Ash-Shafat/37:17).
Namun sebagian manusia ada yang menjadikan alasan takdir Allah untuk tidak berikhtiar, bahkan—dijadikan alasan—untuk menyerikatkan Allah, sebagaimana diberitakan Allah dalam surat Al-An’am/6:148: “Orang-orang yang mempersekutukan Allah mengatakan: “Jika Allah menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatupun …” (baca juga An-Nah1/16:35). Alasan yang demikian tidaklah menyelamatkan mereka dari siksanya.
Allah telah menakdirkan manusia makhluk yang berikhtiar. Oleh sebab itu raihlah takdir Allah yang menyelamatkan dan membahagiakan di dunia dan akhierat. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni