SejarahUtama

Anggota Petisi 50 A.M. Fatwa, Dipersekusi dan Dituduh Subversif

×

Anggota Petisi 50 A.M. Fatwa, Dipersekusi dan Dituduh Subversif

Sebarkan artikel ini
A.M. Fatwa alias Andi Mappetahang Fatwa dikenal sebagai mubalig yang kritis pada Orde Baru. Lantara itu dia sering dipersekusi oleh aparat dan pernah dituduh subversif. Dia termasuk anggota penandatangan Petisi 50.
Anggota Petisi 50 A.M. Fatwa alias Andi Mappetahang Fatwa (Kompas.com/Agus Susanto)

Anggota Petisi 50 A.M. Fatwa alias Andi Mappetahang Fatwa dikenal sebagai mubalig yang kritis pada Orde Baru. Lantara itu dia sering dipersekusi oleh aparat dan pernah dituduh subversif oleh rezim di bawah Presiden Soeharto.

PWMU.CO – A.M. Fatwa dikenal sebagai seorang mubaligh. Dia antara lain aktif dalam Korps Mubalig Indonesia (KMI) yang dipimpin oleh bekas Wakil Perdana Menteri Mr Sjafruddin Prawiranegara.

Sebagai mubalig, dia dikenal lantang mengkritik kebijakan Orde Baru. Lantaran itu, ceramah-ceramahnya cukup disenangi umat yang diam-diam tidak suka kepada rezim Orde Baru. Tetapi, lantaran itu pula A.M. Fatwa makin dimusuhi oleh penguasa. Beberapa kali khotbah dan ceramahnya dibatalkan oleh aparat keamanan.

Suatu ketika, A.M. Fatwa diminta menjadi imam dan khatib pada salat Idulfitri di Lapangan Oerip Soemohardjo, Jatinegara, Jakarta Timur. Pada detik-detik terakhir, Pelaksana Khusus Daerah Jakarta Raya (Laksusda Jaya) melarang dia tampil. Posisinya digantikan oleh K.H. Kosim Nurzeha, sahabat karib A.M. Fatwa di Pelajar Islam Indonesia (PII).

Baca juga: Sejarah Petisi 50, Kelompok Kritis yang Dibungkam Orde Baru

Selesai Kosim Nurzeha mengimami salat Idulfitri, tiba-tiba dari arah belakang terdengar lantang suara seseorang memulai khotbah. Spontan jamaah membalik, dan di atas sebuah truk sampah—yang diparkir tidak jauh dari tempat salat—Fatwa berdiri dengan penuh percaya diri menyampaikan khotbah.

Rekayasa aparat keamanan, gagal. Agaknya lantaran itu. aparat keamanan mulai tidak sabar dan melakukan kekerasan fisik terhadap A.M. Fatwa.

Dipersekusi Aparat

Bendahara Umum Pengurus Besar HMI (1983-1986), Hardi Kusnan, salah seorang saksi hidup kebrutalan tentara terhadap A.M. Fatwa memberikan kesaksian.

Suatu saat, A.M. Fatwa diminta menjadi imam dan khatib di Masjid Al-Bayyinah, Setiabudi. Lagi-lagi Laksusda Jaya melarang Fatwa tampil. Kali ini A.M. Fatwa mengalah. Bersama panitia yang dipimpin oleh H Mawin, disepakati Ustaz Syuhada Bahri dari Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menggantikan posisi Fatwa sebagai imam dan khatib. Fatwa sendiri kemudian salat Iduladha di Masjid Cut Mutiah.

Baca Juga:  Pengepungan Rumah Nabi Menjelang Hijrah

Selesai salat—ditemani Sekretaris Pribadi Jenderal TNI (Purn) AH Nasution, Bakri A.G. Tianlean—A.M. Fatwa datang ke Masjid Al-Bayyinah untuk bersilaturahmi dan meminta maaf kepada jamaah karena tidak bisa memenuhi permintaan panitia untuk berkhotbah di masjid tersebut.

Selesai silaturahmi dengan jemaah, bersama H. Mawin dan Hardi Kusna, A.M. Fatwa berjalan menuju rumah ketua panitia. Di tengah jalan ketiga orang itu dicegat tentara. A.M. Fatwa ditarik-tarik dan dipukuli. 

Spontan Hardi dan Mawin bertindak melindungi A.M. Fatwa yang juga melakukan perlawanan. Perlawanan ketiganya terhenti ketika tentara-tentara yang melakukan pencegatan itu mengeluarkan pistol dan menodongkannya kepada mereka.

Baca juga: Karena Petisi 50 Natsir Gagal Dapat Gelar Dr HC dari Malaysia

Akhirnya A.M. Fatwa dan Mawin oleh para pencegat itu dimasukkan mobil, dan dibawa entah ke mana. Hardi kembali ke masjid untuk mengabarkan peristiwa pencegatan dan penculikan itu. 

Bakri Tianlean melaporkan peristiwa itu kepada Jenderal Nasution. Sesudah Magrib, Hardi diminta datang ke rumah H. Mawin. Hardi terkejut bukan alang kepalang melihat wajah dan sekujur tubuh Mawin lebam membiru.

Kepada Hardi, Mawin bercerita, dia dan A.M. Fatwa dibawa ke markas Komando Rayon Militer (Koramil) Setiabudi. Di sana, Mawin dan A.M. Fatwa disiksa: dipukul dan ditendang dengan sepatu laras. 

“Kami berdua seperti bola, ditendang sana ditendang sini,” cerita Mawin. Ketika ditanya keberadaan A.M. Fatwa, Mawin cuma mengangkat bahu, “Ane kagak tau.”

Keesokan harinya, dari Bakri Tianlean, Hardi mendapat kabar, A.M. Fatwa dirawat di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih. Bergegas Hardi ke rumah sakit, dan melihat kondisi A.M. Fatwa yang jauh lebih parah dibanding H. Mawin.

Baca Juga:  Belajar pada Tiga Sahabat Perempuan Terpelajar yang Tangguh
Upacara penghormatan terakhir Senator DKI Jakarta, A.M. Fatwa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/12/2017).(Kompas.com/Nabilla Tashandra)

Sosok dan Kiprahnya

A.M. Fatwa. Begitu sapaan aktivis yang punya nama lengkap Andi Mappetahang Fatwa. Fatwa lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 12 Februari 1939. Gelar Andi menandakan dia berasal dari keluarga bangsawan. 

A.M. Fatwa sejak muda telah menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Muhammadiyah. Dia pernah kuliah IAIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Ibnu Khaldun Jakarta. Di samping Akademi Angkatan Laut tahun 1960.

Di masa Orde Baru, nama AM Fatwa sangat populer karena berbagai aktivitas ‘politik’-nya. Beberapa kali dia masuk penjara. Pemerintah Orde Baru kali pertama menjebloskan dia ke tahanan selama enam bulan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1963. Rezim menudingnya terlibat insiden di IAIN.

Pada tahun 1970 A.M. Fatwa menandatangani Petisi 50 sebagai bentuk protes terhadap Presiden Soeharto bersama Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso, Burhanuddin Harahap, Mohammad Natsir, dan lain-lain. Oleh rezim tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya mendapat tekanan dan pembatasan. Termasuk dicekal ke luar negeri.

Pada tahun 1977, dia masuk penjara lagi selama 9 bulan karena dianggap meresahkan. Pada tahun 1984 dia divonis 18 tahun penjara. Rezim Orde Baru menuding A.M. Fatwa melakukan tindakan subversif terkait Lembaran Putih Tanjung Priok dan ceramah-ceramah politiknya.

Baca jugaHidup Nomaden karena Tak Punya Rumah, Kesederhanaan Haji Agus Salim

Tahun 1993, AM Fatwa dibebaskan secara bersyarat dari penjara. Setelah bebas, ia justru diangkat sebagai Staf Khusus Menteri Agama RI pada era Tarmizi Taher dan Quraish Shihab atas izin Presiden Soeharto.

A.M. Fatwa sebenarnya pernah menjadi pegawai pemerintah. Pada tahun 1970 dia diangkat sebagai Staf Khusus Agama dan Politik Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. 

Baca Juga:  Ka'bah dan Sejarah Haji

Tapi tahun 1979 dia dipecat secara tidak hormat dari statusnya sebagai pegawai pemerintah DKI Jakarta. Penguasa menuduh AM Fatwa melanggar sumpah jabatan dan menghasut masyarakat untuk membenci pemerintah. 

AM Fatwa juga pernah dinas di KKO TNI Angkatan Laut tahun 1960-1970 dengan pangkatnya Kapten.

Politikus Partai Amanat Nasional

Setelah Era Reformasi, A.M. Fatwa terjun di dunia politik. Dia ikut mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Dari partai ini, Fatwa berhasil melenggang ke Senayan menjadi Anggota DPR/MPR RI masa jabatan 1 Oktober 1999–30 September 2004. Bahkan dia sempat menjabat sebagai Wakil Ketua DPR. Saat itu Ketua DPR adalah Akbar Tanjung.

Pada Pemilu 2004, AM Fatwa terpilih sebagai Wakil Ketua MPR masa jabatan 1 Oktober 2004–30 September 2009. Saat itu Ketua MPR-nya Hidayat Nur Wahid. 

Baca jugaPergulatan di Balik Lahirnya Kementerian Agama

Pada tahun 2009, A.M. Fatwa terpilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI masa jabatan 1 Oktober 2009–30 September 2014. Dia maju sebagai calon perorangan dari Dapil DKI Jakarta.

Pada tahun 9 Oktober 2014–11 Oktober 2016 A.M. Fatwa menjadi Ketua Badan Kehormatan DPD. Saat itu Ketua DPD adalah Irman Gusman.

A.M. Fatwa wafat tanggal 14 Desember 2017 di Rumah Sakit MMC Jakarta Selatan, karena penyakit kanker hati. Ia wafat dalam usia 78. Istrinya adalah Noenoeng Noerdjanah. Anak-anaknya: Dian Islamiatim, Diah Sakinah, Ikar Fatahillah, Rijalulhaq, dan M. Averus. (*)

Penulis Mohammad Nurfatoni

Kisah ini bersumber utama dari buku Dari Panggung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan Peristiwa karya Lukman Hakiem, yang ditebitkan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.