Telaah

Allah, Nama yang Sudah Dikenal Masyarakat Arab Praislam

×

Allah, Nama yang Sudah Dikenal Masyarakat Arab Praislam

Sebarkan artikel ini

Siapakah Allah? Benarkah Allah sudah dikenal oleh masyarakat Arab praislam? Bagaimanakah sifat-sifat Allah? Bagaimana seharusnya sikap manusia yang menjadikan Allah sebagai Tuhan?

Oleh Ustaz Ahmad Hariyadi, M.Si, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam An-Najah Indonesia Mandiri (STAINIM).

Tagar.co – Allah adalah Tuhan yang menciptakan alam semesta. Kata Allah disebut sebanyak 2.399 kali dalarn Al-Qur’an, beberapa di antaranya: Al-Baqarah/2:9, Ali Imran/3:19, An-Nisa’/4:5, dan lain-lain.

Ada yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ berasal dari bentuk makrifah (tertentu) dari kata ilah menjadi al-ilah (Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1995). Sebagian yang lain mengatakan bahwa Allah adalah nama asli dan bukan merupakan kata jadian.

N,..,.,…..,.

ama Allah sudah dikenal oleh orang-orang Arab praislam, hal ini diperlihatkan oleh data-data berikut ini:

Pertama, adanya nama yang disandarkan kepada Allah, seperti: ‘Abdullah—ayah Nabi Muhammad saw—yang artinya hamba Allah.

Kedua diakuinya Allah sebagai Pencipta, Pengatur, dan Pemberi Rezeki. “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan Matahari dan Bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)” (Al-Ankabut/29:61, baca juga ayat 63 dan 65, Lukman/31:25, Az-Zumar/39:38, Az-Zukhruf/43:9,87, Ar-Ra’du/13:16, dan An-Nahl/16:53).

Ketiga, digunakan untuk bersumpah “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: “Allah tidak akan membangkitkan orang mati. ” (Tidak demikian) bahka (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (An-Nahl/16:38, baca juga Al-An’am/6:109, Faathir/35:42).

Baca Juga:  Tahapan Menjalin Ukhuwah Islamiah

Dalam Al-Qur’an tidak pernah dikisahkan adanya umat-umat terdahulu yang memasalahkan keberadaan Allah. Mereka memahami Allah sebagai zat yang terlalu suci untuk bisa digapai oleh manusia. Sehingga mereka menjadikan orang-orang saleh atau patung-patung sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Tidak satu pun patung-patung yang dibuat oleh kaum kafir Quraisy sebagai pengganti (mewakili) Allah, patung-patung itu sebatas sebagai perantara. Namun keberadaan Allah yang tidak bisa diindera manusia, memunculkan keingintahuan tentang keberadaan Allah. Keingintahuan ini merupakan sesuatu yang wajar, sebab dari sini akan muncul ketenangan/kepuasan dalam hatinya.

Nabi Musa pernah mengungkapkan keinginannya untuk melihat Allah, walaupun akhirnya tidak bisa melihat Allah. Namun dari kejadian-kejadian berikutnya sudah cukup memberi ketenangan dalam hatinya (Al-A’raf/7:143).

Allah juga menampilkan kisah Nabi Ibrahim, yang dengan pengamatannya terhadap alam semesta (Bintang, Bulan, dan Matahari), kemudian dia berkesimpulan bahwa ketundukan hanya pantas diberikan kepada Allah SWT (Al-An’am/6:76-79).

Sebagian orang bisa memenuhi kepuasan hatinya di seputar pertanyaan tentang keberadaan Allah dengan menuruti gerak hati nuraninya dan informasi ilahiah (wahyu/ayat kauliah).

Sebagian yang lain memenuhinya dengan melihat hal-hal yang terjadi di alam semesta (ayat kauniah). Adanya alam semesta menunjukkan adanya Sang Pencipta, terjadinya gerak dan keteraturan menunjukkan adanya Sang Penggerak, Pengatur, dan Penguasa.

Sang Pencipta, Penggerak, dan Penguasa ini pastilah berkuasa di atas segala-galanya. Dia berbeda dari semua yang ada. Dia unik dan hanya satu-satunya. Keberadaan-Nya tidak tergantung pada sesuatu pun, tidak tergantung pada ruang dan waktu. Sebaliknya segala sesuatu tergantung pada Dia.

Baca Juga:  Syura, Samakah dengan Demokrasi?

Tidak ada satu kejadian pun yang terjadi diluar pengetahuanNya dan tanpa izin-Nya.
Informasi Ilahiah menjelaskan bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu (Ali Imran/3:29), Dia berbeda dari yang lain (Asy-Syura/42:11), dan Dia unik; satu-satunya (Al-Ikhlash/114:1).

Seharusnya informasi ilahiah dan adanya alam sernesta sudah cukup sebagai jawaban tuntas terhadap pertanyaan diseputar keberadaan Allah dan mampu sebagai penenang hati manusia.

Kesalahan yang pernah dilakukan umat terdahulu bukan karena mengingkari keberadaan Allah, melainkan karena keengganan (penolakan) terhadap syariah yang diturunkan Allah. Haruskah kesalahan serupa terulang pada saat ini?

Penyunting Mohammad Nurfatoni