OpiniUtama

Allah Mahabesar, Manusia Superkecil: Renungan Idulfitri

300
×

Allah Mahabesar, Manusia Superkecil: Renungan Idulfitri

Sebarkan artikel ini
Allah Mahabesar (Ilustrasi freepik.com premium)

Idulfitri menyadarkan kita: Allah Mahabesar, manusia superkecil. Takbir adalah pengakuan akan keagungan-Nya dan pengingat bahwa kita lemah, rapuh, dan tak punya daya tanpa-Nya.

Oleh Mohammad Nurfatoni

Tagar.co – Gemuruh takbir, tahlil, dan tahmid yang dikumandangkan umat Islam pada hari Idulfitri menggema ke seluruh penjuru semesta raya. Seruan kalimat-kalimat agung itu bersenyawa dengan tasbih seluruh unsur ciptaan Allah—dari malaikat, gunung, petir, burung, pohon, hingga makhluk-makhluk kecil tak kasatmata seperti bakteri, virus, dan jamur. Mereka semua bertasbih kepada-Nya dalam harmoni kosmik yang tak pernah henti.

Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Jumuah ayat pertama: “Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahaperkasa, lagi Mahabijaksana.”

Baca juga: Hukum Alam dan Kuasa Tuhan 

Takbir, tahlil, dan tahmid yang kita lantunkan tak sekadar ritual. Ia adalah pengakuan akan keagungan, ketinggian, kesucian, kebesaran, kekuasaan, dan keesaan Allah. Pada saat yang sama, lantunan itu adalah penegasan atas kelemahan dan kerentanan manusia. Kita hanyalah bagian kecil dari semesta kebesaran Allah. Allahuakbar. Allah Mahabesar. Bahkan bumi tempat kita berpijak hanyalah sebutir titik di tengah semesta raya yang, menurut para ilmuwan, dihuni tak kurang dari 250 miliar gugusan Bima Sakti.

Baca Juga:  PDM Nganjuk Fasilitasi 39 Lokasi Salat Idulfitri 1446

Manusia yang Ringkih

Kenyataan ini menempatkan manusia pada posisi yang sangat kecil dan rapuh di hadapan Sang Pencipta. Tubuh kekar yang dibanggakan pun bisa ditaklukkan oleh gigitan seekor nyamuk pembawa virus dengue.

Bahkan, virus SARS-CoV-2 yang berukuran mikro itu pernah menghentikan nafas dunia lewat pandemi Covid-19. Jantung peradaban modern seolah berhenti berdetak. Segala tatanan kehidupan—agama, sosial, ekonomi, budaya—porak poranda karenanya.

Kecanggihan teknologi dan pencapaian sains pun tak membuat manusia bebas dari potensi kegagalan. Pesawat terbang yang menjadi simbol kemajuan sering kali jatuh tersungkur. Kapal karam, kereta bertabrakan.

Kita yang tampak gagah rupanya bisa dirobohkan oleh debu di mata, batu di ginjal, atau paku berkarat di telapak kaki. Di balik tubuh yang gagah dan paras yang rupawan, tersembunyi bau busuk kotoran dan potensi kehancuran.

Kesadaran akan keringkihan ini semestinya menjauhkan kita dari rasa angkuh. Tiada daya dan upaya kecuali dari Allah. Di tengah keterbatasan itulah manusia butuh pegangan, tempat bergantung dan berlindung. Tidak lain kepada Allah Swt., Tuhan yang Mahakuasa dan tempat bergantung yang sejati. Hanya kepada-Nya kita menyerahkan hidup.

Baca Juga:  Kisah Nabi Muhammad Bertemu Anak Yatim saat Idulfitri

Anehlah jika ada manusia yang justru bergantung kepada sesamanya. Lebih ganjil lagi jika bersandar kepada harta, ilmu, teknologi, atau bahkan pada pohon tua atau jin yang tak kasatmata. Mereka semua sama-sama lemah di hadapan Allah. Mengharap pertolongan dari yang lemah adalah kesia-siaan.

Idulfitri, Kembali ke Jati Diri

Idulfitri mengajak kita untuk kembali kepada kesadaran fitri, mengingat Allah, dan dengan itu pula mengingat hakikat kemanusiaan kita. Dalam Surah At-Taubah 67, Allah menyindir orang-orang munafik yang melupakan Allah sehingga Allah pun membiarkan mereka lupa terhadap dirinya sendiri.

Melupakan Allah adalah awal dari kehancuran spiritual dan sosial. Kita bisa berubah menjadi makhluk buas yang memangsa sesama. Ketika jadi penguasa, kita menindas rakyat. Ketika jadi pengusaha, kita memonopoli. Ketika jadi pejabat, kita mencuri. Ketika jadi buzzer, kita membunuh karakter. Itulah bentuk kehilangan jati diri sebagai manusia.

Idulfitri hadir untuk membebaskan manusia dari belenggu ego, keserakahan, dan ketamakan kekuasaan. Hari kemenangan ini menyadarkan kita bahwa segala bentuk kekuasaan, jabatan, dan harta bukanlah segalanya. Hanya Allah yang Mahakuasa. Relasi antarmanusia seharusnya dibangun atas dasar keadilan, bukan dominasi. Dalam konteks ini, Idulfitri menjadi titik balik dari relasi kuasa menuju relasi kemanusiaan.

Baca Juga:  Idulfitri Tahun Ini Insyaallah Sama 31 Maret 2025

Dalam perjanjian primordial, seluruh anak Adam telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan mereka (Al-A’raf: 172). Inilah akar dari segala kebenaran, dan karena itu pula manusia lahir dalam keadaan fitrah. Kebenaran adalah milik Allah, dan setiap manusia dibekali kecenderungan kepada kebenaran itu. Maka kembali kepada fitrah berarti kembali kepada agama yang benar dan meninggalkan kejahilan.

Idulfitri menuntut keberanian untuk keluar dari sistem gelap—sistem yang dibangun di atas kebatilan, kesewenang-wenangan, dan kebodohan. Allah berjanji dalam Al-Baqarah 257 bahwa Dia akan mengeluarkan orang-orang beriman dari gelap menuju terang. Maka mari kita bebaskan diri dari sistem yang bobrok dan bangun tatanan baru yang adil, jujur, dan berpihak kepada kebenaran.

Selamat Idulfitri. Mari suarakan selalu kebenaran dan bebaskan diri dari segala belenggu anti-kemanusiaan. Semoga Allah menerima amal ibadah kita. Taqabalallahuminawaminkum. (#)