Opini

Akal Sehat

×

Akal Sehat

Sebarkan artikel ini
Akal sehat penting dalam menghadapi carut-marut kehidupan saat ini, terutama dalam dunia perpolitikan yang serba absurd dan penuh rekayasa.
Ilustrasi AI

Akal sehat penting dalam menghadapi carut-marut kehidupan saat ini, terutama dalam dunia perpolitikan yang serba absurd dan penuh rekayasa.

Opini oleh Mohammad Nurfatoni, Direktur Penerbit Kanzun Book.

Tagar.co – Dulu pernah ada sebuah iklan—yang kemudian direvisi—memberi petunjuk dalam memilih minyak goreng. “Gunakan akal sehat!” ajaknya.

Mungkin kita bertanya, apa kaitan antara minyak goreng dengan akal sehat? Perlukah menggunakan akal sehat sekadar untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang sepele dan rutin itu?

Baca juga: Manajemen Risiko

Iklan memang kadang absurd dan bombastis. Penggunaan akal sehat dalam iklan tersebut, mungkin, hanyalah dimaksudkan untuk menggambarkan betapa minyak goreng yang ditawarkan itu begitu jernih. Bukankah akal sehat adalah berpikir di kedalaman samudra kejernihan.

Meskipun begitu, tak urung iklan itu mendapat protes karena membangun logika negatif bahwa memilih minyak goreng merek lain berarti tidak memakai akal sehat.

Saya sebenarnya setuju dengan substansi iklan tersebut. Bahwa kita dituntut untuk selalu menggunakan akal sehat, sekalipun ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan sepele. Dengan akal sehat kita akan mampu mengambil keputusan yang terbaik, sebab akal sehat berbasis pada kedalaman dan kejernihan pikir.

Carut-Marut Kehidupan

Dalam carut-marut kehidupan keseharian ini, terutama dalam dunia perpolitikan, kita, sungguh, dituntut untuk menggunakan akal sehat. Sebab pusaran arus kepentingan, dengan mudah menyeret dan mengaduk-aduk emosi kita. Dan emosi itu akan menghilangkan akal sehat, setidaknya akan memengaruhi pengambilan keputusan yang sehat.

Tengoklah sejumlah tragedi sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan politik, yang silih berganti menimpa masyarakat kita.

Pikiran apa yang dipakai oleh sejumlah oknum untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan politik.

Baca jugaProfesionalisme

Letusan-letusan sosial yang kini terjadi silih berganti adalah produk penggunaan pikiran yang keruh dan serbadangkal.

Ya, memang, tidak banyak orang yang mampu menggunakan akal sehatnya. Demi mendapat kuasa dan suara, orang tak peduli untuk mengumbar janji, memanipulasi, dan bermain curang. Bahkan mengakali konstitusi untuk melanggengkan politik dinasti.

Dan, orang-orang tak peduli, mungkin tidak tahu, atau lebih tepatnya, tak cukup berpikir jernih, untuk apa sebenarnya gegap gempita perebutan kekuasaan? Siapa sebenarnya yang menuai untung?

Dominasi Nafsu

Kita, semua, punya akal sehat. Namun akal sehat itu seringkali terkalahkan oleh dominasi nafsu atau ditenggelamkan oleh emosi-emosi dan hasrat-hasrat—yang datangnya bisa tiba-tiba, atau secara sistemik karena sudah ada dalam alam bawah sadar kita.

Oleh karena itu menjaga akal agar tetap sehat adalah sebuah keharusan. Bagaimana melakukannya?

Pertama, bahwa akal sehat membutuhkan kejernihan, memerlukan ruang-ruang hening. Dua hal yang sangat diperlukan dalam melakukan perenungan-perenungan. Dan perenungan akan modal untuk mengontrol diri.

Baca jugaTim, Bukan Kelompok

Kedua, sabar dalam arti yang sesungguhnya, mendesak untuk kita program menjadi perilaku bawah sadar. Membiasakan diri untuk sabar. Sebab kesabaran memberikan ruang-ruang jeda dalam merencanakan langkah.

Kesabaran bisa mengendalikan nafsu, mengerem emosi dan hasrat. Kesabaran adalah benteng keserakahan; benteng keberingasan.

Ketiga, kesabaran juga menuntut kesadaran. Dalam kesadaran, orang bisa berpikir jernih, bisa berpikir jujur, bahkan berpikir jenaka pun bisa. Dengan kesadaran orang bisa mengontrol perilaku.

Dan, jauh-jauh hari Allah telah memberikan dua kiat ini dalam Kitab Suci “Jadikanlah salat dan sabar sebagai penolongmu!…” (Al-Baqarah/2:153). (#)

Baca Juga:  Hiperealitas Cantik, Fenomena Antisyukur?