Ahli Kitab, siapakah? Bagaimana sikap Ahli Kitab, khususnya terhadap kaum Muslimin? Bagaimana seharusnya sikap kaum Muslimin terhadap Ahli Kitab?
Oleh Ustaz Ahmad Hariyadi, M.Si, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam An-Najah Indonesia Mandiri (STAINIM).
Tagar.co – Ahlul Kitab berati kaum yang memiliki kitab (kitab suci agama). Namun sebutan ini tidak berlaku terhadap umat Islam. Karena secara tegas Al-Qur’an menunjuk kepada kaum Yahudi dan Nasrani (Nurcholish Majid, Islam Agama Peradaban, Paramadina, 1995).
Kata Ahli Kitab digunakan sebanyak 31 kali dalam Al-Qur’an, beberapa di antaranya: Al-Baqarah/2:105; Ali Imran/3:64; An-Nisa’/4: 123.
Perilaku kalangan sesama Ahli Kitab tidaklah sama terhadap kebenaran. Ada di antara mereka yang berlaku lurus, membaca ayat-ayat Allah di malam hari, bersujud, beriman kepada Allah dan hari penghabisan, menyuruh berbuat baik dan mencegah dari yang munkar, dan bersegera kepada kebajikan (Ali Imran/3:113-114).
Baca juga: Jihad yang Relevan setelah Perang Melawan Penjajah
Pada ayat yang lain (Ali Imran/3:199) disebutkan juga bahwa ada di antara Ahli Kitab itu yang beriman terhadap apa yang diturunkan kepada kaum Muslimin. Dan apa yang diturunkan kepada mereka. Mereka khusuk kepada Allah dan tidak menjual ayat-ayat-Nya dengan harga yang sedikit.
Di kalangan Ahli Kitab Nasrani ada yang sangat bersahabat dengan kaum Muslimin—pendeta dan para rahib, tidak sombong, dan berdoa. “Ya Tuhan kami, kami beriman dan tuliskanlah kami dalam golongan orang-orang yang menyaksikan kebenaran (Al-Maidah/5:82-83).
Berbeda dengan perilaku di atas, Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sehingga kamu mengikuti agama mereka (Al-Baqarah/2:120).
Orang Yahudi berkata kepada kaum kafir Makkah bahwa kaum kafir Makkah lebih baik dari pada kaum Muslimin (An-Nisa’/4:51). Kebanyakan Ahlul Kitab menghendaki agar kaum Muslimin murtad (Al-Baqarah/2:105).
Yahudi Tak Mengharapkan
Awal mula Rasulullah Saw menyampaikan Islam di Makkah, kaum Yahudi di Madinah terbagi dalam tiga suku, yaitu Qainuqa’, Bani An-Nadhir, dan Bani Quraidah. Penduduk asli Madinah terdiri dari dua suku, yaitu Aus dan Khazraj. Kedua suku ini sering melakukan perang saudara.
Suku Aus dibantu Yahudi dari Bani Quraidah dan suku Khazraj dibantu oleh Yahudi dari Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir (Tafsir Ibnu Katsir). Kepada suku Aus dan Khazraj itu orang Yahudi sering mengatakan bahwa akan datang Rasul (dari kalangan mereka) yang bersamanya kaum Yahudi akan mengalahkan musuh-musuhnya.
Baca juga: Umat, Bukan Hanya untuk Menyebut Manusia dan Kaum Beriman
Ketika berita kedatangan Rasul baru dari Quraisy (Makkah), kedua suku penduduk asli Madinah ini mengharap-harap kedatangannya. Sementara kalangan Yahudi mengingkarinya (Al-Baqarah/2:89).
Setelah Rasul hijrah ke Madinah dan menjadi pemimpin negara Madinah tersusunlah kesepakatan-kesepakatan (Piagam Madinah). Salah satu isinya: kaum Yahudi Bani Aus bersatu dengan kaum Muslimin. Namun sendiri-sendiri dalam urusan agamanya. Baca Syaikh Munir M. Ghadban, Manhaj Haraki, Pustaka Mantiq, 1994.
Perasaan iri terhadap orang Arab tetap ada di antara orang Yahudi, karena Allah dianggap menganakemaskan orang Arab dengan cara membangkitkan Rasul dari kalangan Arab. Karena seringnya terjadi pengkhianatan terhadap kaum Muslimin, akhirnya Rasulullah Saw mengusir orang Yahudi dari Madinah sekitar tahun 627 Masehi atau 5 Hijriah.
Sebagaimana sikap kaum Muslimin pada umumnya yang diharuskan berperilaku adil, begitu juga dalam menghadapi Ahli Kitab. Terakhir, renungkan dan amalkanlah ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebagian mereka adalah pemimpin sebagian yang lain …” (Al-Maidah/5:51). (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni