Agama harus jadi solusi peradaban dunia. Agama jangan lagi tampil sebagai bagian dari masalah dengan berbagai permasalahan yang melilit pemeluknya seperti kemiskinan, korupsi, kebodohan, dan berbagai bentuk kekerasan.
Tagar.co – Mengenakan setelah jas warna hitam, dikombinasi dengan dasi warna merah dan peci hitam, Din Syamsuddin berceramah dalam konferensi tahunan Community of Sant’ Egidio di Paris, Prancis, 24 September 2024.
Konferensi yang bertema Imagine Peace (Prancis: Imaginer La Paix) dihadiri seribu lebih peserta dari mancanegara. Terdiri dari tokoh agama, cendekiawan, dan mahasiswa.
Pada pembukaan hadir memberi sambutan Presiden Prancis Marcon dan pendiri Komunitas Sant’ Egidio Prof. Se. Andre Riccardi.
Dari Indonesia, selain Din Syamsuddin, hadir K.H. Marsudi Syuhud (Wakil Ketua Umum MUI), Prof. Dr. Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah); dan Anik Khamim Thohari, (Sekjen Indonesian Conference on Religion for Peace [ACRP]).
Menurut pengamatan Din Syamsuddin yang Guru Besar Politik Islam Global FISIP UIN Jakarta itu, agama-agama selama ini lebih banyak tampil sebagai bagian dari masalah (part of the problem). Yakni dengan aneka masalah yang melilit sebagian pemeluk agama-agama seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan berbagai bentuk kekerasan.
Baca juga: Din Syamsuddin: Muhammadiyah Jangan Gamang Koreksi Pemerintah jika Menyimpang
Hal ini, menurut Mantan Ketua Umum MUI ini, disebabkan karena keberagamaan lebih berorientasi formal-ritualistik, belum etikal-operasional. Keberagamaan lebih untuk meraih kesalehan individual dan belum untuk kesalehan sosial.
“Agama-agama belum menampilkan paradigma etiknya untuk perdamaian dan peradaban. Umat beragama masih ada yang berdiam diri terhadap krisis lingkungan hidup, genosida, dan fobia terhadap pemeluk sesuatu agama,” kata Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) itu.
Perlunya Dialog
Pada bagian lain presentasinya, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menilai dialog antarumat beragama yang marak selama ini terhenti pada kata-kata, kurang berlanjut pada aksi nyata.
Menurutnya, dialog selama ini sesungguhnya masih bersifat dua-tiga monolog. Dialog antar umat beragama perlu bersifat dialogikal, yakni dialog yang berpangkal pada ketulusan, keterbukaan, keterusterangan, untuk penyelesaian masalah.
“Harus diakui ada masalah di antara umat berbagai agama berupa persaingan utk dominasi dan supremasi, akibatnya sesungguhnya ada ketegangan tersembunyi,” ujarnya.
Ketegangan ini, menurut Ketua Poros Dunia Wasatiat Islam, kalau tidak diselesaikan, seperti kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan politik, akan menjadi bom waktu bagi konflik antarumat berbagai agama.
Konferensi tahunan komunitas orang awam Katolik dunia ini berperan penting dalam merajut persahabatan antara para tokoh berbagai agama dunia. Konferensi yang sudah dimulai pada awal 1990-an ini diadakan sekali di Italia, dan kali berikutnya di luar Italia. Pada 2025 konferensi akan diadakan di Roma, Italia. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni