Pasar Truncum mendadak runyam. Tarno dan Lapo kembali bertemu. Mantan anak buah dan komandan terlihat perseteruan. Dua gagang pistol mereka saling hadapan. Dor!
Cerpen oleh Muslih Marju penulis asal Tulungagung dan pendiri Komunitas Malam Sastra Tulungagung.
Tagar.co – Pasar Truncum tempat berkumpul pedagang, copet, preman, tukang parkir dan jika beruntung sales rokok dengan rok setengah paha.
Copet dan preman tidak berkoalisi. Pedagang dan tukang parkir juga tidak bersekutu. Mereka jadi satu di pasar itu untuk memastikan saku ada rupiah.
Mereka akan tabrakan atau bergandengan jika kepentingan beda atau sama. Preman penjaga pasar marah jika dianggap pasar tidak aman. Dengan penyebab beragam salah satunya copet.
Pedagang marah jika ada calon pembeli kecopetan. Mereka merasa malas mau bayar setoran keamanan. Beda lagi jika mereka sudah beli dan setelah itu kecopetan mereka tidak perlu marah-marah.
Bagi beberapa preman, urusan mereka selesai dengan pedagang jika ada pembeli kecopetan setelah transaksi. Meski Tarno sebagai ketua preman ingin aman sebelum dan sesudah. Cuman perjanjian meringankan dia.
“Lihat bapak baju merah itu?” Taring, bos copet memberi isyarat kepada Tarong untuk beraksi.
“Enggak perhatikan mobilnya? Ada plat dengan logo institusi loreng hitam.”
“Orang sipil, dia sudah pensiun. Cuman belum sadar saja kalau dirinya jadi sipil lagi. Belum tentu anak buahnya dulu segan sama dia.”
Asap rokoknya dia lepaskan perlahan sambil memicingkan mata yang mengundang Tarong bertanya lebih.
“Bos tahu dari mana?”
“Bodoh! Kenapa tanya begitu?”
Mata Taring melotot dengan menahan suara agar tidak memancing mata orang lain di pasar yang tidak kenal basa-basi.
Baca juga: Tarko
Tarong mengikuti bapak berbaju merah. Matanya tidak mau lepas dengan target yang telah memutih rambutnya.
Dompet berpindah tanpa ada mata yang tahu kecuali mata yang menempel di kepala Tarong. Dan tentu tak terasa bagi pemilik dompet. Baru jalan santai menjauh untuk menghindari preman pasar datang. Korban apalagi perempuan akan teriak histeris.
Tangan Lapo, nama bapak berbaju merah itu sesekali memegang dompet. Memastikan masih utuh di sakunya. Tarong melihat itu semakin hati-hati. Sehalus mungkin. Kalau bisa lebih halus dari gerakan setan. Dua jari Tarong sepersekian detik berada di dalam saku menggapit dompet coklat.
Sepersekian detik selanjutnya mengeluarkan dan memindahkan ke balik tas punggung yang sengaja ditaruh di depan badan. Gerakan sepersekian detik ternyata masih kurang cepat. Gerakan tangan itu masih diketahui oleh pemilik dompet.
Mata Lapo melotot seakan hampir jatuh bola matanya. Geraham bergeretak. Urat-urat di muka membesar dan darah berkumpul di wajah yang nampak guratan umur kepala enam.
Akibat dompet yang ada di saku belakang ada yang berusaha memindah dari dirinya. Sebelum diamankan dan berpindah ke tangan pencuri itu, tangan Lapo sigap menangkap tangan itu.
Meremas dan memelintir. Suara jerit Tarong memecah kebisingan pasar hingga pasar jadi senyap. Mata orang sedang transaksi tertuju kepada mereka. Ada yang bertanya, kenapa..kenapa..ada apa?
Mereka berhenti bertanya setelah tahu bapak berambut putih mengeluarkan pistol dari balik bajunya.
Pencopet itu gemetaran. Tangan berkeringat dan ujung jari bergemetar. Mata seperti minta ampun, namun mulut tak sanggup untuk bicara. Dia tidak menyangka korbannya membawa senjata penutup maut.
Baca juga: Orang Miskin dan Malaikat
Nyawa tinggal setipis kertas. Moncong pistol G2 buatan perusahaan plat merah tepat di jidat. Sekali tarik pelatuk, kepala pencopet bertato penuh di tangan itu bisa berlubang dan isinya berantakan.
“Kepalamu apa batu?! Berani mencuri dompetku!”
Suara tak kalah keras dengan jeritan Tarong. Orang-orang pasar tetap tertarik untuk menoleh sekadar membunuh penasaran. Meski rasa takut menyelimuti ketika melihat pistol yang dibawa oleh orang sedang marah.
Salah-salah bisa kena sasaran tembak. Sebab peluru tak kenal mana orang salah mana orang benar.
“Masih ingat muka saya, Pak?” Lapo melihat sesuatu dengan wajah itu. Seperti tidak asing. Namun siapa dan kapan serta di mana dia mencoba untuk mengingat.
“Ternyata sudah pensiun pikun juga yaa.”
Lapo mengendurkan pitingannya. Namun tangan di belakang dan todongan pistol masih tetap dilakukan.
“Jika memang lupa, pecahkan saja kepala saya.” Tantangan itu tidak menarik bagi Lapo. Dia masih penasaran dengan orang yang berani mengambil dompetnya ini.
Kalau sama-sama dari profesinya tentu tidak mungkin.
“Saya jenderal, mana ada yang berani.”
Baca juga: Sepeda Pertamaku
Kalau lainnya kenapa dia begitu berani.
“Mobil yang kuparkir di luar tentunya copet ini tahu.” Suara-suara di dada masih menyisakan tanda tanya.
“Nanti kupecahkan kepalamu kalau sudah kuingat siapa dirimu.” Satu pukulan gagang pistol mendarat di keningnya. Darah segar keluar.
“Siapa yang menyuruhmu mengikutiku?”
“Kalau tidak ngaku kupecah betulan kepalamu.”
Tarong diam. Bibir hitam bekas merokok gemetar. Nyawa punya satu tidak ada serep. Satu peluru masuk ke kepala, nama jadi lebih panjang.
“Almarhum Tarong,” mata copet yang tajam jadi sendu di ujung maut.
Dari jarak tiga puluh meter, Tarno ketua preman mengamati mereka berdua. Dia meraba-raba orang yang membawa pistol. Seakan tidak asing. Cuman belum bisa memastikan siapa. Perkara jelas ada copet dan ada yang dicopet.
Dari arah berlawanan Taring juga mengamati anak buahnya. Sampai sejauh apa akan dihajar. Kalau dihajar pakai tangan dan kaki itu sudah risiko. Sebelum dimassa polisi atau yang pura-pura jadi polisi segera datang.
Korban yang satu ini memakai pistol. Untung juga, gara-gara korbannya bawa pistol orang sekitar pasar yang mau hajar ramai-ramai jadi takut untuk mendekat.
“Bos tidak kau dekati orang yang bawa pistol itu?” tanya Paino kepada Tarno dekat wajah mendekat dan suara lirih.
“Saya tidak khawatir dengan pistolnya, cuma penasaran dengan wajah orang itu.”
“Apa pernah lihat atau kenal bos?”
“Iya, tapi kapan dan di mana susah diingat-ingat.”
“Dari tadi tidak ingat-ingat.”
“Siapa tahu bos dekati jadi ingat nanti.”
Saran dari anak buahnya dibenarkan. Tarno berjalan tenang ke arah mereka. Seperti sedang ketemu dengan orang berkelahi biasa. Tanpa senjata apalagi pistol.
“Bapak…bapak tenang.”
Baca juga: Ayah
Orang yang sedang memegang pistol menatap ke arah sumber suara. Dan Tarno langsung kenal siapa yang ada di depannya. Komandan ketika masih dinas di kesatuan.
Wajah Tarno yang semula santai jadi tegang seperti menyimpan amarah. Wajah merah dan tangan mengepal.
“Saya seperti kenal kamu.”
“Memang, kita pernah tugas bareng.”
“Tugas apa?”
“Daerah yang terbakar dan banyak anak-anak yang mati.”
“Tarno! Tidak salah ingat aku, kamu orang bermasalah itu.”
“Kenapa kamu di sini?”
“Pertanyaan seharusnya dibalik. Kenapa bapak ada di pasar ini?”
“Tak pantas orang terhormat ada di sini.”
“Apa maksudmu?” Satu tangannya masih memiting dan satu tangan yang lain menodong ke kepala Tarong. Tarong sendiri kesakitan akibat pukulan pistol dan pitingan yang tak kunjung dilepas.
Tarno bercerita tentang dirinya sampai ke pasar. Di pasar merasa hidupnya berharga. Jabatan ketua preman membuat rupiah mudah mengalir ke kantong. Ditambah memiliki anak buah yang menganggapnya sebagai pelindung.
Tidak seperti masih bersama Lapo. Harga diri sebagai anak buah saja tidak diberi sama sekali. Bayaran tidak pernah diberi. Untuk sekadar makan harus curi sana-sini. Uang gaji ida berikan kepada istri.
Baca juga: Pemilihan Ketua RT
Uang sampingan yang seharusnya dapat malah tidak dapat dari Lapo. Belum lagi umpatan tajam dari jenderal muka lonjong ke mukanya jika pekerjaan tidak beres.
“Terus mau kamu apa sekarang?” Pistol Lapo mengarah ke kepala Tarno. Dia masih bersikap yang sama. Tidak ada gemetar di tangan dan wajah. Tatapan juga lemah namun tetap awas.
“Tembak saja saya kalau berani. Orang sepasar akan memukulmu sampai mati.”
“Beda dengan dulu, jika kutembak kepalamu tentu sebarak akan membelamu.”
Lapo memang seorang jenderal. Disegani di markasnya. Namun akan berbeda jika berada di tempat sekarang. Orang pasar tidak takut. Apalagi jika pelindungnya tidak dihargai.
“Sekelas jenderal masuk ke pasar ini, tidak mungkin hanya belanja. Makanya kuamati kau sejak turun dari mobil.”
Orang-orang pasar semakin menjauh dari lokasi pertikaian. Pasar ini memang ada perkelahian dan itu adu jotos paling banter. Jika ada senjata tentu akan ada yang mati.
“Nanti ada yang mati, lihat saja.” Bokde, ibu tua penjual pracangan berbisik ke teman depannya sambil menutup pintu kiosnya. Takut terkena peluru nyasar.
Sepuluh tahun lalu dengan seragam loreng hitam, Tarno merupakan pengawal pribadi Lapo. Hingga hafal dengan karakter komandannya itu. Komandan sekaligus bos.
Selain urusan resmi ada urusan tak resmi yang Tarno kerjakan. Tempat hiburan, judi, dan pelacuran di Kota Tratasan. Jika sedang di kota itu, Tarno tidak ada di samping Lapo.
Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk mempelajari dan memahami karakter masing-masing. Cuman kelebihan sebagai bawahan Tarno yang butuh untuk tahu lebih. Tahu maksud dan yang disenangi bosnya itu.
“Ke pasar bawa pistol ingin belanja maut ya?” Tarno tersenyum kecil seperti nyengir.
“Orang yang kamu cari tidak ada di sini.”
“Informasi Tarsan seratus persen benar!” bentakan disertai acungan pistol yang dari tadi tidak turun-turun. Seperti tidak ada lelah.
“Kalau tidak percaya tidak ada masalah.”
“Cuman singa akan mati di kandang kucing.”
Baca juga: Jangan Biarkan Aku Kufur Nikmat
Taring bersiaga dengan pistol peredam suara. Menunggu aba-aba dari Tarno saja. Jika Lapo menembak dirinya dia akan membalas tembakan dari belakang. Bukan punggung tapi kepala.
“Saya yang mengatur supaya kamu sampai ke pasar ini. Tarsan sudah kubayar agar kau sampai ke sini.”
“Bedebah! Kenapa kau lakukan itu?”
“Tarya, masih ingat nama itu? Kau yang bunuh!” Kali ini suara tarno meninggi.
“Punya bukti apa?”
“Taring. Tentu masih ingat nama ini kan?”
“Bedebah!”
“Tentu tidak dari Taring saja kuperoleh bukti. Pisau dan sidik jari positif itu tanganmu.”
“Tidak mungkin kulaporkan, jelas hukuman tidak sebanding dan bisa saja kalah. Biarlah pengadilanmu di pasar ini disaksikan orang-orang pasar. Orang-orang yang tak pernah kamu anggap berada.”
“Mati kamu!” Tarikan dari pistol diikuti dengan bunyi.
Dor!
Kepala bagian belakang Lapo berlubang lebih dulu. Tarikan pelatuk dari Taring lebih cepat setangah detik dari Lapo. Arah dari pistol Lapo bergeser. Kena tangan kiri Tarno diikuti merobohkan diri ke kanan.
Tarong mendorong injakan kaki yang melemah hingga tubuh jenderal itu jatuh dengan suara keras. Darah mengucur dari kepala dan orang-orang pasar hanya menutup muka.
Tidak ada yang teriak histeris. Begitu juga bokde, senyum kecil jika apa yang dikatakan tepat. (#)
Penyunting Ichwan Arif