Feature

Rajin Ibadah tapi Hati Gelisah, Ini Sebabnya

×

Rajin Ibadah tapi Hati Gelisah, Ini Sebabnya

Sebarkan artikel ini
Jamaah GPM bertanya dengan moderator ketua PCA Wringinanom. (Tagar.co/Alfa)

Rajin ibadah tak menjamin hati langsung tenang. Ada yang hatinya masih merasa gelisah atau khawatir. Jawabannya terungkap di Gerakan Perempuan Mengaji.

Tagar.co – Antusias jamaah Gerakan Perempuan Mengaji (GPM) Pimpinan Cabang Aisyiyah  (PCA) Wringinanom terpancar. Mereka khusyuk menyimak tausiah Khoiri, S.TH.I., M.Pd.I di Masjid Al Mukminun, Panggang, Wringinanom, Gresik, Jawa Timur.

Setelah kajian berlangsung selama 45 menit, Khoiri mengakhiri tausiahnya dengan berkata, “Pembicara yang baik menyampaikan dimengerti dan dipahami. Pembicara yang bijak berhenti pada waktu yang ditentukan.”

Owner Terapi Tombo Al-Khoir ini memberi kesempatan 15 menit kepada jamaah yang ingin bertanya seputar rumus langit. Terbukalah sesi tanya jawab, Ahad (17/11/24).

Sebab Hati Galau

Pertanyaan pertama diajukan Minarti.
“Saya punya teman yang mengeluhkan bahwa hatinya sering merasa cemas tanpa sebab. Ditandai sering melamun. Padahal saya lihat dia juga rajin mengaji dan salat malam,” ujarnya.

Ia lantas bertanya, “Apa penyebab hati yang merasa khawatir tersebut Ustaz?”

Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) ini lantas menjawab mengapa ada orang hatinya resah. Padahal sudah salat. Katanya, karena amalan dosanya.

Pertama, riba. Ia menyitir Al-Baqarah ayat 275: “Orang-orang yang memakan harta riba tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.”

Khoiri mengungkap, “adiknya” gila itu depresi. Adiknya lagi stres. Itu tahapannya. Jika ada orang galau padahal ahli ibadah, ia menyeru untuk bertanya, apa punya cicilan? Kalau menjawab iya, maka cocok. Kebanyakan jawabannya iya. Kalau tidak berurusan dengan riba, ada rumus kedua.

Baca Juga:  Kubah Masjid Jamik Jember Mirip Atap Gedung DPR/MPR

Kedua, bangun kesiangan. “Barangsiapa yang bangunnya melewati subuh diikatlah lehernya oleh setan dengan tiga ikatan,” jelasnya.

Ikatan itu, lanjutnya, bisa dibuka dengan tiga cara. Pertama, bangun dan berdoa sesudah bangun tidur. Kedua, ikatan terpotong dengan wudu. Ketiga, ikatan terputus dengan salat dua rakaat.

“Jadi kalau ada orang kok ah eh ah eh, pyak pyek pyak pyek, uripe dianter klopa klopo yeopo yeopo. Pertanyaannya, tangimu jam piro? Orang baper tersinggungan, coba tanya, tangimu jam piro!” jelasnya diiringi tawa.

Rezeki Tidak Berkah

Pertanyaan kedua datang dari salah seorang kader Pimpinan Ranting Aisyiyah (PRA) Sumengko. Ia mengajukan pertanyaan dengan membawa secarik kertas bertuliskan, “Mengapa gajian setiap bulan sering tidak cukup? Walaupun sering bersyukur tetapi tetap tidak cukup.”

Wakil ketua PDM Mojokerto itu menjawab, jika rezeki belum cukup maka perlu berupaya mencari pendapat lain. Ia membaca Quran surat 71 ayat 10-20. Di situ disebutkan, ada sembilan amalan. “Saya beberkan satu, yang delapan kalau diundang lagi,” jelasnya mengundang tawa jemaah.

Pertama, mohon ampunan dengan jalan banyak membaca istigfar. Yang paling baik sayyidul istigfar. “Maka Allah mendatangkan rahmat dan memperbanyak harta. Bisa berupa perhiasan dan uang,” urainya.

Kedua, merujuk Quran surat Al-Imran ayat 17, ia mengungkap, “Nek mboten konco plek mboten kulo kandani. Yaitu orang yang memohon ampunan waktu sahur, sebelum subuh atau sebelum fajar,” ujarnya.

Baca Juga:  Di Pulau Bawean, Kami Dianggap Keluarga Sendiri

“Sebenarnya ini ada 10 amalan. Insya Allah yang delapan akan saya jelaskan pada pertemuan selanjutnya kalau diundang,”  imbuhnya kembali mengundang gerrr.

Ustaz Khoiri di Gerakan Perempuan Mengaji PCA Wringinanom. (Tagar.co/Alfa)

Tidak Baper

Pertanyaan ketiga dari Indah Yudafiul yang juga berasal dari PRA Sumengko. Ia menanyakan bagaimana bersikap kepada orang yang mempunyai sikap iri hati.

“Ustaz, maaf saya mau tanya, bagaimana  kita bersikap kepada orang yang punya iri pada kita? Kita tahu dia iri pada kita dengan penampilan dia ketika bertemu. Selalu sinis dan jika kita sapa tidak respon,” tanya ibu yang membawa putrinya berumur 3 tahun.

Penulis buku Rumus Langit ini membeberkan dua tips. Pertama, harus berdoa: Masya Allah, laa haula walaa quwwata illah billah.

“Karena orang iri bisa mencelakakan kita dengan memasukkan ain. Bisa sakit dan celaka dengan pandangan orang yang iri. Kalau pandangan takjub mengucapkan Masya Allah Tabarakallah,” tandasnya.

Kedua, harus punya doa. “Allahumma Baba, raurus, koncone dinosaurus itu raurus. Lebih baik diiri daripada dipaido (disalahkan), itu bukan doa sebenarnya ya,” candanya.

Ujian dan Musibah

Pertanyaan keempat dari Asti dan Nur Hasanah. Kader Pimpinan Cabang Nasyiatul Aisyiyah (PCNA) Wringinanom ini bertanya, “Ustaz, jika seseorang hidupnya masih ada kesulitan, padahal sudah bebas dari jebakan langit, apakah itu murni ujian dari Allah? Apa perbedaan ujian dari Allah dan terkena jebakan langit?”

Baca Juga:  PCM Ujungpangkah Semarakkan Milad dengan Lomba Cerdas Cermat

Khoiri menjelaskan, “Kalau grafiknya ujian, turun sedikit dan naiknya tinggi. Karena langsung datang berita gembira setelah diuji. Seperti beratnya satu kuintal, maka pertolongannya satu setengah kuintal. Jadi kita merasa gagah menghadapinya,” katanya.

Sebaliknya, jika karena dosa kita, naiknya sedikit dan turunnya lama. Hati juga terasa berat serta merasa kesakitan.

“Musibah sebuah ruang yang ditempati ujian dan peringatan. Jika diterima orang baik, bernama ujian dan jika diterima orang yang banyak dosa, dinamakan peringatan,” imbuhnya.

Patuh pada Orangtua

Terakhir, Ida Rodiah bertanya bagaimana sikap seorang anak terhadap orangtua yang cerewet dan merasa benar sendiri.

Penulis buku Arah langit ini menjawab harus bangga mempunyai orangtua cerewet karena itu termasuk pilihan Allah. “Sebagai anak tidak perlu menasehati orangtua, karena kebanyakan orangtua tidak mau disalahkan dan akan memuat salah paham,” ujarnya,

Yang benar, diajak datang ke kajian supaya ustaz atau kiai yang menasihati. “Mending menghindari bahaya daripada mengambil manfaat. Bahaya berdampak durhaka  makanya lebih baik diam. Orangtua mudah berubah karena perilaku dan mudah tersinggung karena kata-kata,” lanjutnya.

“Kita nikmati saja kecerewetannya. Karena apapun pengabdian kita tetap lebih tinggi pengorbanan orangtua,” tutupnya. (*)

Jurnalis Kusmiani Penyunting Sayyidah Nuriyah