Budaya

A.A. Navis, sang ‘Pencemooh Nomor Wahid’

×

A.A. Navis, sang ‘Pencemooh Nomor Wahid’

Sebarkan artikel ini
AA Navis

A.A. Navis

Masalah kemanusiaan, seperti penderitaan, kebahagiaan, kegetiran, dan harapan banyak dijadikan menu dalam karyanya. Dia mampu menyerap dan mengolah tradisi menjadi penutur cerita yang memikat. 

Tagar.co – Kontribusi karya AA Navis telah mendapatkan penghargaan dunia. Sampai-sampai hari lahirnya pada setiap 17 November ditetapkan sebagai perayaan internasional.

Namun, penghargaan itu masih terasa sunyi di negerinya sendiri. Banyak anak muda justru tak mengenal sosok dan warisan karya-karyanya.

Ali Akbar Navis atau publik lebih mengenalnya dengan AA Navis adalah seorang budayawan besar asal Padang Panjang Provinsi Sumatera Barat, yang hari kelahirannya ditetapkan oleh Unesco menjadi Hari Perayaan Internasional, bersama tokoh asal Sumatera lainnya, yakni pejuang perempuan asal Aceh, Keumalahayati.

Penetapan Hari Perayaan Internasional untuk AA Navis yang lahir 17 November 1924 dan meninggal pada 22 Maret 2003 di Padang setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, diumumkan oleh Direktur Jenderal UNESCO pada sesi sidang Plenary Report dari rangkaian Sidang Umum UNESCO ke-42 di Paris, Perancis, pada 22 November 2023.

Baca juga: 100 Tahun A.A. Navis: Visualisasi Sosok dan Karya Inspiratif Tokoh Sastra Indonesia

Pencemooh Nomor Wahid

Julukan yang diberikan pada Navis adalah ‘pencemooh nomor wahid’ dan ‘sastrawan satiris ulung’. Julukan itu muncul dalam berbagai tulisan tentang Navis, antara lain sebagaimana yang muncul dalam majalah Sastra, Volume I, Edisi 3 Juli 2002.

Baca Juga:  Puisi Bertema Kemerdekaan

Gelar sebagai ‘pencemooh nomor wahid’ atau ‘satiris ulung’ itu tentu saja berkorelasi dengan gaya penulisan dan penggambaran karakter tokoh-tokoh yang kritis terhadap berbagai persoalan kehidupan dalam karya-karyanya.

Sejak cerpen pertamanya Robohnya Surau Kami terbit dalam majalah Kisah tahun 1955, Navis mengejutkan pembaca sastra Indonesia dengan sindiran yang amat tajam terhadap pelaksanaan kehidupan beragama, disusul dengan novelnya yang berjudul Kemarau (1967).

Novel ini menggambarkan bagaimana konyolnya manusia-manusia dalam menghadapi cobaan dari Tuhan, yaitu kemarau yang panjang. Penggambaran seperti itu muncul lagi dalam cerpennya yang berjudul Jodoh.

Berbagai cemoohan terhadap tradisi, takhyul, rendahnya kedudukan perempuan, serta gaya hidup hedonis dengan menghamburkan uang untuk perhelatan sebagai ‘keharusan sosial’ juga mewarnai karya-karyanya.

Baca juga: 100 Tahun Sastrawan Indonesia A.A. Navis Diperingati di Prancis

Setelah menamatkan pendidikan terakhir di Perguruan Indonesche Nederlandsche School (INS) Kayutanam tahun 1946, berbagai pengalaman dalam hal pekerjaan mengisi perjalanan hidupnya. Tahun 1944—1947, Navis menjadi pegawai pabrik porselen di Padang Panjang.

Tahun 1955—1957, dia menjadi Kepala Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan Sumatra Barat di Bukittinggi. Tahun 1969 Navis diangkat sebagai Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam. Tahun 1971—1972 cerpenis ini menjabat Pemimpin Redaksi Harian Umum Semangat.

Selanjutnya, pekerjaan yang ditekuninya adalah sebagai anggota DPRD Sumatra Barat periode 1971—1982. Sejak habis masa jabatannya sebagai anggota DPRD dan mengundurkan diri sebagai dosen luar biasa di Fakultas Sastra, Universitas Andalas, dia mencurahkan pikirannya untuk menulis.

Baca Juga:  Puisi Hujan Bulan Juni, Romantisme ala Sapardi Djoko Damono

Karya AA Navis berkisar pada masalah kemanusiaan, seperti penderitaan, kebahagiaan, kegetiran, dan harapan. Karya-karyanya menampilkan dialog yang menarik dan latar sosial yang meyakinkan. Dia mampu menyerap dan mengolah tradisi menjadi penutur cerita yang memikat. (#)

Jurnalis Ichwan Arif. Penyunting Mohammad Nurfatoni.