Opini

Basa-basi Politik

×

Basa-basi Politik

Sebarkan artikel ini
Basa-basi politik (Ilustrasi AI)

Basa-basi politik tidak hanya dilakukan melalui bahasa verbal (lewat kata-kata). Bisa juga, dan malah ini yang banyak, dilakukan melalui bahasa nonverbal (gerak tubuh atau perilaku).

Opini oleh Mohammad Nurfatoni, Direktur Penerbit Kanzun Book.

Tagar.co – Hanan, sebut saja begitu, seorang calon yang kandas dalam sebuah pemilihan kepada daerah periode lalu, berkomentar singkat atas kekalahannya, “Meski tidak terpilih, saya legowo. Saya kalah demi dan atas nama demokrasi.”

Warga kota merasa bahwa pernyataan singkat Hanan adalah cermin sikap kesatria. Dalam posisi kalah, Hanan tetap bersikap jantan untuk mengakui kekalahannya, bahkan secara ikhlas.

Berbeda dengan kebanyakan warga, orang-orang yang dekat dengan Hanan, termasuk tim suksesnya, tahu betul apa yang sebenarnya terjadi pada Hanan. Komentar Hanan, bagi mereka bukanlah suara hatinya. Sebab meskipun komentar itu diucapkan dengan senyuman, tapi mereka melihatnya sebagai senyum kecut.

Tampak jelas kelesuan ekspresi. Matanya pun berkaca-kaca. Lebih dari itu, mereka juga sangat paham bagaimana sejarah “perjuangan” dan “pengorbanan” yang telah dilalui Hanan untuk merebut kursi kepemimpinan daerah.

Segala daya upaya telah dikeluarkannya, termasuk jutaan uang “insentif” yang dikeluarkan bagi para calon pemilihnya. Dan yang paling runyam, Hanan terlanjur optimis akan terpilih. Jadi, orang-orang dekat Hanan tahu, bahwa ucapan Hanan adalah basa-basi.

Makna Basa-basi

Basa-basi, dalam pengertian yang paling sederhana adalah olah dan ragam kalimat sebagai pengantar untuk memasuki pembicaraan inti. Orang Lamongan menyebutnya sebagai pembicaraan ngalor-ngidul.

Dalam kategori seperti ini, basa-basi masih bisa diterima sebagai model komunikasi (jujur). Meski begitu, basa-basi seperti ini tetap mengandung unsur-unsur antiproduktif karena menyediakan ruang pemborosan waktu.

Baca Juga:  Materi Bahasa Indonesia Kelas IX: Pengertian Teks Prosedur, Jenis, Struktur, dan Ciri

Meningkat dari sekadar sebagai keragaman pembicaraan adalah basa-basi yang bermakna sebagai pemanis bibir. Orang bilang kembange lambe. Orang merasa tidak enak jika tidak mengucapkan kalimat itu, meskipun sesungguhnya kalimat itu sama sekali tidak aktual dan relevan dengan perilaku.

Misalnya, Anda hanya menghadapi sepiring nasi goreng, tapi Anda menawari kawan di sebelah Anda. Kalimat itu tidak aktual dan relevan dengan perbuatan Anda karena sesungguhnya Anda tidak berniat memberikan nasi goreng atau mengajak makan sepiring dengan kawan Anda tersebut.

Kalimat ajakan Anda hanyalah basa basi. Meskipun tidak dimaksudkan untuk berbohong, basa-basi kategori kedua ini termasuk model komunikasi yang mengandung unsur kebohongan.

Termasuk kategori manakah basa-basi Hanan di atas? Mungkin tidak termasuk sebagai kategori pertama atau kedua sebab ada unsur kontradiksi antara yang diucapkan dengan apa yang sesungguhnya terpendam dalam hati dan perasaannya.

Bahkan, model basa basi seperti ini sudah identik dengan kebohongan. Dalam basa-basi seperti itu, kata-kata dilahirkan bukan untuk mengungkap sesuatu yang sebenarnya terjadi; kalimat dirangkai bukan untuk mengungkapkan kebenaran; sebaliknya demi menutupi atau mengelabuhi fakta yang sesungguhnya.

Pertanyaannya, untuk apa orang bersusah-susah dengan berbasa-basi seperti itu? Pertama, mungkin untuk menutup segala kebohongan yang berkecamuk dalam dirinya. Misalnya, Anda sangat dendam dengan kekalahan Anda. Untuk menutupi segala niat dendam itu, Anda menutupinya dengan reaksi, seolah-olah Anda tidak dendam. Anda legowo.

Baca Juga:  Tafsir Surat Al-Asr: Islamisasi Tak Boleh Merusak

Kedua, untuk menampilkan kesan tertentu. Misalnya, Anda sebenarnya sangat yakin tidak mungkin lagi terpilih menjadi kepala daerah—karena Anda ada calon lain yang baru muncul dan sangat dijagokan.

Sebelum Anda babak belur saat pemilihan, Anda buru-buru mengadakan jumpa pens bahwa Anda tidak bersedia meneruskan pencalonan, demi meneruskan tradisi bahwa selalu terjadi regenerasi dalam pemilihan desa. Orang mengesankan Anda sebagai orang yang bijak.

Basa-basi, dengan demikian, tidak mencerminkan kejujuran. Basa-basi adalah kepalsuan. Basa-basi adalah topeng. Basa-basi mengerdilkan kejantanan. Basa-basi bukan lambang kesatria. Basa-basi adalah cermin buruk ketakutan.

Basa-basi Nonverbal

Basa-basi, tentu saja, tidak hanya bisa dilakukan melalui bahasa verbal (lewat kata-kata). Bisa juga, dan malah ini yang banyak, dilakukan melalui bahasa nonverbal (gerak tubuh atau perilaku).

Misalnya, Anda menyumbang sekian hektar tanah untuk program perumahan rakyat, tetapi di proyek lain, Anda mendapat lahan ribuan hektar tanah rakyat dengan harga tak wajar. Lalu apa artinya 2 atau 3 hektar tanah sumbangan Anda?

Jadi Anda sekedar berbasa-basi, agar terkesan sebagai seorang yang peduli dan prihatin dengan nasib rakyat; dikesankan cinta tanah air?

Anda sumbangkan beras, mi instan, dan minyak goreng pada rakyat miskin. Anda merasa terpanggil untuk peduli pada mereka. Tapi orang-orang tidak tahu bahwa Anda adalah salah satu penimbun bahan-bahan pokok.

Sumbangan Anda adalah basa basi agar Anda disebut sebagai pengusaha yang cinta rakyat. Padahal, Anda juga adalah pebisnis yang mendapat “hak” untuk melakukan praktik monopoli produksi dan distribusi barang-barang tersebut. Sementara kita tahu monopoli itulah salah satu penyebab kesengsaraan rakyat.

Baca Juga:  Dampak TikTok pada Budaya Digital

Anda berkoar-koar akan memberantas judi online alias judol. Lalu menangkap para operatornya. Tapi Anda biarkan para pesohor yang mempromosikan judol.

Anda biarkan juga pejabat tinggi yang melindungi, dan mendapat keuntungan, dari judol. Maka Anda sedang berbasa-basi dengan barang basi! (#)