Kurikulum Merdeka telah menyebabkan terjadinya shallow learning. Mendikdasmen baru menawarkan deep learning. Apakah semakin membuat pendidikan kita lebih baik?
Oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
Tagar.co – Mendikdasmen Abdul Mu’ti meluncurkan kebijakan deep learning yang terdiri paling tidak dari mindful, meaningful , dan joyful learning.
Mungkin ada penilaian bahwa kebijakan Merdeka Belajar telah menyebabkan terjadinya shallow learning (pembelajaran dangkal) sehingga kinerja PISA kita anjlok makin mengkhawatirkan.
Saya setuju dengan kebijakan baru ini, namun itu mensyaratkan perubahan tata kelola pendidikan yang sudah lama dimonopoli hampir secara radikal oleh persekolahan. Apalagi jika UN (Ujian Nasional) diberlakukan kembali sebagai penentu kelulusan, saya bisa pastikan deep learning will only be easier said than done. Pembelajaran mendalam hanya akan lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
Sekalipun ada narasi bahwa Kementerian Dikdasmen meninggalkan paradigma schooling berpindah ke paradigma learning, ini tidak diterjemahkan secara eksplisit sebagai perubahan tata kelola atau governance untuk education as public goods.
Persekolahan telah menggeser pendidikan sebagai barang privat yang makin langka dan mahal. Apalagi internet telah memaksakan perubahan tata kelola dengan melubangi tembok-tembok sekolah yang tinggi dan tebal.
Baca Juga Transformasi Turki dan Harapan Pemerintahan Prabowo
Ki Hadjar Dewantara jauh hari sudah mengingatkan tiga pilar pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat dan perguruan. Ki Hajar menggunakan diksi perguruan, bukan persekolahan karena baginya guru lebih penting daripada sekolah.
Makin terbukti bahwa sekolah sering berusaha terlalu keras untuk memberi pesan dan kesan bahwa sekolah adalah tempat belajar terbaik, meremehkan peran keluarga dan masyarakat. Lalu muncul persepsi dan keyakinan bahwa tidak bersekolah berarti kampungan atau tidak terdidik.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja belajar lebih banyak ditentukan oleh muridnya sendiri, dan guru, bukan kurikulum. Kurikulum tidak pernah menjadi determinan kinerja belajar murid yang penting.
Sugata Mitra sudah menunjukkan bahwa kurikulum yang ketat tidak dibutuhkan oleh murid dengan kecerdasan rata-rata.
Sugata Mitra mengajukan konsep Self Organized Learning Environment (SOLE) sebagai cara menata kelola pendidikan sebagai upaya perluasan kesempatan belajar, bukan kesempatan bersekolah.
Murid yang sehat yang dibesarkan oleh keluarga yang membaca, tidak akan terlalu terpengaruh oleh sekolah yang miskin sarana dan guru yang tidak kompeten.
Baca Juga Guru Hebat Rahim para Pahlawan
Sementara itu Ivan Illich justru lebih radikal untuk membebaskan pendidikan dari hegemoni persekolahan dengan mengusulkan deschooling society pada awal 1970-an.
Illich pernah pergi ke Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah dan menunjuk pesantren sebagai model institusi belajar yang lebih baik daripada sekolah.
Lagi pula Illich tahu bahwa sekolah massal hanya instrumen teknokratik untuk menyiapkan tenaga kerja yang cukup terampil untuk menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi para pemilik modal.
Deep learning mengandaikan pembelajaran yang pupil centered, sedangkan persekolahan massal justru top down, outside-in and supply-driven.
Kelemahan terbesar persekolahan sebagai built environment adalah keteraturan dan kenyamanannya. Padahal untuk mindful, meaningful, and joyful learning belajar perlu lebih berisiko, tidak teratur, dan tidak nyaman.
Mengapa? Belajar adalah proses memaknai pengalaman 3D. Pengalaman yang kaya hanya dapat diperoleh di luar sekolah dengan risiko yang lebih nyata. (#)
Penyunting Sugeng Purwanto