Buku

Pahlawan Itu Sepasang Kekasih

×

Pahlawan Itu Sepasang Kekasih

Sebarkan artikel ini
Buku Di Dalam Lembah Kehidupan (Foto tokopedia)

Pahlawan itu sepasang kekasih, adalah bagian cerita dalam buku kumpulan cerpen Buya Hamka: Di Dalam Lembah Kehidupan. Mereka syahid di medan juang di waktu yang nyaris bersamaan.

Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku ”Jejak Kisah Pengukir Sejarah” dan sebelas judul lainnya

Tagar.coDi Dalam Lembah Kehidupan adalah salah satu dari lebih seratus buku karya Hamka. Isinya, dua belas cerita pendek (cerpen) yang kata Hamka merupakan kumpulan air mata. Disebut demikian, karena semua berkisah tentang orang-orang yang malang.

Semua cerpen di buku Di Dalam Lembah Kehidupan mengesankan. Seperti kata Hamka di pengantarnya, jika yang membaca adalah orang-orang dengan nasib yang lebih baik dari yang diceritakan di cerpen-cerpen itu maka semoga mereka lebih bersyukur.

Jika yang membaca adalah orang-orang dengan nasib sama (apa lagi lebih baik buruk) dari dari yang diceritakan di cerpen-cerpen itu maka mudah-mudahan mereka sabar.

Hal yang pasti, buku ini seperti ditakdirkan ”abadi”. Kali pertama dicetak pada 1939. Hampir seabad kemudian, buku itu terus dicetak ulang. Cetak ulang terakhir pada 2023. Tentu, bisa disimpulkan bahwa buku disukai pembaca di segala zaman.

Usaha Positif

Mari buka Di Dalam Lembah Kehidupan. Dari kedua belas cerpen itu, ada yang beda. Itu, terlihat pada cerpen yang berjudul ”Cinta dan Darah”. Pada sebelas yang lain, sangat terasa jika itu cerpen sebagai bagian dari fiksi.

Sementara, pada ”Cinta dan Darah” mungkin bisa disebut sebagai cerpen sejarah sebab di antara tokohnya ada yang bernama Imam Bonjol. Juga, setting ceritanya, jelas.
Cerpen sejarah?

Munculnya istilah ini karena terinspirasi dari judul-judul dari setidaknya tiga novel berikut ini. 1. Tapak Mualim, Syekh Ahmad Surkati (1875-1943); Sebuah Novel Sejarah. Ini, karya Ady Amar. 2. Dahlan: Sebuah Novel. Ini, karya Haidar Musyafa. 3. Penakluk Badai: Novel Biografi KH Hasyim Asy’ari. Ini, karya Aguk Irawan.

Dari keduanya, yaitu cerpen dan cerpen sejarah, kita bisa mendapat banyak pelajaran. Oleh karena itu, keberadaan keduanya sangat kita perlukan. Keberadaannya harus terus kita perbanyak. Ini, bagian dari usaha yang bisa membangun akhlak umat.

Kisah Menggugah

Bacalah ”Cinta dan Darah” (Di Dalam Lembah Kehidupan, Hamka, 2023: 164-171). Di halaman-halaman itu ada semangat membela tanah air. Ada spirit jihad. Ada pula aroma cinta tulus sepasang anak manusia.

Kala itu, di Bonjol (bagian dari Sumatera) terjadi kemunduran dalam usaha warganya menghadapi serbuan dari penjajah. Di sebuah pertemuan, di sebuah surau sederhana, Sang Imam memberikan gambaran situasi terakhir yang tak menggembirakan.

Oleh yang hadir, dirasakan baru sekali itulah ada perkataan yang sedih dari lisan pemimpin mereka. Akibatnya, ada di antara mereka yang menangis. Mereka sedih.

Lalu, seorang di antara yang hadir menyampaikan pendapat. Bahwa, dia telah berada di dekat Sang Imam selama 20 tahun. Dia bilang, bahwa telah berada di dekat Sang Imam ketika mereka menang. Selama itu pula Sang Imam telah memimpin jamaah atau warga dengan teguh tiada kenal akan kematian. Negeri tidak menghadapi bahaya.

Selama 20 tahun, lanjut orang itu, kita telah bekerja bersama menyiarkan paham kita, memasukkan agama Islam hingga sampai ke tanah Mandailing dan Batak. Akhirnya habislah kekuatan kita. Persiapan pun musnah, negeri telah terbakar, yang pengecut sudahlah sama lari.

Sekarang, bagaimana saat datang situasi yang sangat sulit? Orang itu bertekad, baik dahulu maupun sekarang dia bertekad akan terus mengikuti Sang Imam. ”Putuskanlah keputusan Tuanku, saya mengikuti,” tegas orang itu.

Rupanya, di dalam pembicaraan orang itu tersirat untuk terus melanjutkan perjuangan. Hal itu disetujui sang Imam dan semua yang hadir. Itu terlihat dari respons mereka. Semua lalu berdiri termasuk sang Imam. Bahkan, Sang Imam kemudian mencium kening orang itu.
Selanjutnya, tampil anak muda. Ahmad, nama dia. Ahmad merendah, minta agar dia diingatkan jika ucap dan sikapnya salah.

Dengan sopan, dia mengajukan pendapat. Bahwa, menurut penglihatannya, belumlah selemah itu kekuatan kita. Benar, kerugian sudah banyak; kampung-kampung terbakar dan yang terbunuh sudah beratus orang.
Hanya saja, lanjut Ahmad, pengharapan kita masih besar. Kita belum boleh putus asa. Menyerah berarti tumbang. Tumbang itu berarti mati. Mati itu belum boleh sebelum kita berhasil.

”Bagaimana akalmu,” tanya sang Imam.
”Kakek beristirahatlah dulu. Obatilah luka-luka yang ada pada badan kakek. Jika kompeni (penjajah) datang menyerang Bonjol, serahkan kepada kami untuk mempertahankan negeri. Kalau Kakek izinkan, cucumu ini ingin memimpin pertahanan,” jawab Ahmad.

Sang Imam lalu termenung agak lama setelah mendengar perkataan Ahmad. Demikian juga orang-orang yang hadir. Mereka duduk dalam diam.

”Oh, anak muda. Memang agama meminta pengorbanan sebagaimana yang engkau maksud. Agama sedang menunggu anak muda yang rindu kepada kehidupan yang hakiki. Tetapi sudahkah engkau pikirkan? Selama ini engkau masih berupa pengiring dan belum pemimpin. Bagaimana dengan rumah yang luas dan sawah berjenjang milik keluargamu? Bukankah engkau telah bertunangan dengan Andam Sori? Tidakkah hatimu terharu jika meninggalkan gadis itu padahal selama ini dia menunggumu,” demikian ulasan sang Imam.

Ahmad lalu menjawab. Bahwa. semuanya sudah dia pikirkan masak-masak. Semua sikapnya itu berdasarkan ajaran Sang Imam selama ini. Apakah gunanya segala keindahan alam yang fana jika tidak mendapat keindahan alam yang baka? Apa guna umurnya yang panjang di dunia jika tidak ada satu usaha yang dapat disebut anak cucu jika dia mati kelak?

Baca Juga:  Novel Aroma Karsa: Antara Obsesi, Mitos, dan Jati Diri

Adapun tunangannya, Andam Sori, dia akan menikahinya setelah pulang dari medan perang membawa kemenangan. Kata Ahmad, lukanya di medan perang akan dijadikan sebagai buah tangan bagi Andan Sori dan pedangnya yang berlumur darah akan dia jadikan mahar kawin.
”Ya Allah, orang besar cucuku ini rupanya,” kata Sang Imam.

Tekad Kuat

”Engkau akan meninggalkanku, sebelum engkau memberi aku pengharapan,” tanya Andam Sori.

”Wahai Adinda. Tangis dan air mata tidak akan dapat mengubah kewajiban yang terpikul di atas bahuku. Aku mesti pergi. Aku beri engkau pengharapan, jika kelak aku pulang dengan kemenangan kita akan segera menikah.

Lukaku di medan perang kujadikan hantaran. Pedangku yang berlumur darah menjadi mahar. Setelah itu akan beruntung kiranya jika asap peperangan telah habis, agama telah berjalan di negeri kita menurut yang kita cita-citakan,” jelas Ahmad.

”Jika engkau kalah?”

”Kalah tak usah engkau sebutkan, Kekasihku”.

”Kalau begitu, aku takkan tinggal. Aku akan pergi dengan engkau ke medan perang. Aku akan tegak di sampingmu sebagai seorang pahlawan. Aku akan melihat kilat pedangmu dan akan menyaksikan kegagahanmu menangkis serangan musuh. Aku akan ikut bertahan.”

”Apakah yang dapat engkau lakukan?”

”Aku pun manusia dan aku pun mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban yang ada pada engkau. Aku pun akan membela cintaku sampai waktu penghabisan.”

”Engkau tak usah pergi. Hatimu tidak akan tahan melihat darah tertumpah.”

”Aku mesti pergi. Biarlah engkau tahu bahwa perempuan pun dapat mengerjakan pekerjaan laki-laki. Percayalah!”

Baca Juga:  Hanum Salsabiela Rais dan Perjuangan Melawan Islamophobia

Berdua di Gelanggang

Pertempuran pun berkobar. Terlihat dua orang anak muda berjuang mati-matian. Mereka tiada peduli peluru yang datang. Telah berpuluh-puluh orang dari kedua pihak telah jatuh dan mati.

Meskipun di kiri dan kanannya sudah banyak kawannya yang gugur dan yang mundur juga banyak, kedua anak muda itu tetap tegak di medan juang. Hanya saja, ketentuan Allah lalu hadir. Sebutir peluru mengenai Ahmad. Dia jatuh dan itu disoraki oleh musuh.

Dengan segera Andam Sori, yang berpakaian pahlawan, melompat ke samping kekasihnya. Diraihnya kepala Ahmad dan diletakkan di atas haribaannya.

”Tentu engkau akan mati, Kekasihku,” kata Andam Sori.

”Tidak Dinda. Mati dalam perjuangan berarti hidup,” respons Ahmad.

Kemudian, diiringi dengan senyum yang penghabisan, bibir Ahmad bergerak. Dia menyebut Kalimat Suci. Ahmad lalu Syahid.

Belum sempat Andam Sori menyeka air matanya sendiri, terompet perang musuh terdengar lagi. Secepat kilat Andam Sori mengambil pedang yang masih tergenggam di tangan Ahmad. Dia siap mempertahankan diri dari serangan penjajah yang datang laksana banjir.

Dalam beberapa menit Andam Sori jatuh dengan banyak luka. Tubuhnya menimpa jenazah sang kekasih. Innalillaahi wainna ilaihi raaji’un.

Jalan Hamka

Hamka memang piawai menulis, termasuk di ranah fiksi. Menulis cerpen, Hamka cakap. Menulis novelet semisal Menunggu Beduk Berbunyi, Hamka terampil. Menulis novel seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Hamka jago.

Tugas kita sekarang, pertama, mengambil pelajaran dari berbagai karya fiksi Hamka. Juga, dari berbagai karya nonfiksi Hamka. Kedua, perlu usaha (dengan belajar secara serius) agar kita punya kecakapan menulis serupa Hamka.

Ulama besar itu bagus saat menulis nonfiksi semisal empat seri Mutira Filsafat-nya, yaitu: Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, dan Lembaga Budi. Hamka juga bagus kala menulis fiksi semisal cerpen berjudul Cinta dan Darah.

Inti dari cerpen itu telah diungkap di tulisan ini. Pesan moralnya, ada sepasang kekasih yang sama-sama patut disebut sebagai pahlawan. Mereka syahid di medan juang di waktu yang nyaris bersamaan. (#)

Penyunting Mohammad Nurfatoni