Buzzer politik memiliki dampak yang besar. Perlu memahami pola kerja buzzer politik di era pilkada sebagai upaya menjaga kewarasan.
Opini oleh Aji Damanuri, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, Ketua Dewan Pengawas Syariah Lazismu Tulungagung.
Tagar.co – Pada era digital ini, fenomena buzzer politik telah menjadi alat strategis dalam dunia modern, terutama dengan meningkatnya penggunaan media sosial sebagai platform pengaruh.
Buzzer politik, baik individu maupun tim yang bekerja untuk mempromosikan atau membela politisi, partai, atau kebijakan tertentu, memiliki dampak besar. Namun, keberadaan mereka menghadirkan beberapa keuntungan dan kerugian yang perlu diperhatikan.
Buzzer politik memiliki potensi untuk meningkatkan dukungan dan menyebarkan informasi secara efektif, tetapi mereka juga membawa risiko besar dalam hal disinformasi, polarisasi, dan menurunnya kualitas diskusi publik.
Untuk mengurangi dampak negatifnya, diperlukan transparansi, regulasi, serta pendidikan literasi media agar masyarakat mampu berpikir kritis dan menyaring informasi dengan baik.
Di era post-truth sekarang ini, yang sering kali mengutamakan emosi dan opini subjektif daripada fakta objektif, buzzer politik memegang peran penting dalam membentuk opini publik.
Di sini, fakta cenderung dikaburkan, dan bias atau manipulasi data menjadi alat utama untuk membentuk persepsi publik sesuai dengan kepentingan politik tertentu. Benar bisa menjadi salah, salah bisa menjadi benar.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana buzzer politik dapat memanfaatkan bias data dan emosi publik untuk mempengaruhi persepsi, sering kali mengaburkan kebenaran di antara fakta dan informasi yang telah dimanipulasi.
Buzzer politik sering kali menyajikan opini sebagai fakta. Mereka memanfaatkan konten yang disajikan secara sepihak atau manipulatif sehingga opini terlihat meyakinkan seperti sebuah fakta.
Ini bisa berupa data statistik yang diambil di luar konteks atau narasi yang dibuat dari informasi yang tidak lengkap, yang kemudian dijadikan landasan untuk memperkuat opini tertentu. Akibatnya, publik sering kali kesulitan membedakan mana yang fakta dan mana yang opini yang telah dipengaruhi.
Mereka sering memanfaatkan bias kognitif publik untuk memperkuat narasi yang sesuai dengan kepentingan politik. Misalnya, mereka mungkin menonjolkan data yang sesuai dengan agenda mereka dan mengabaikan data yang bertentangan. Confirmation bias atau bias konfirmasi adalah salah satu bentuk bias kognitif yang umum digunakan.
Publik yang sudah memiliki kepercayaan tertentu lebih cenderung menerima informasi yang mendukung kepercayaan tersebut dan menolak informasi yang tidak sesuai. Buzzer memanfaatkan kecenderungan ini untuk memperkuat persepsi publik yang sesuai dengan agendanya.
Lebih jahat lagi, buzzer politik sering kali terlibat dalam pembuatan disinformasi (informasi palsu yang disengaja) dan misleading content (konten yang menyesatkan), yang lebih bertujuan menggiring emosi daripada menyajikan fakta.
Mereka menggunakan metode seperti narasi yang provokatif, judul berita sensasional, atau penggalan informasi yang dilebih-lebihkan. Konten semacam ini sengaja dibuat agar emosional dan mampu memicu respons publik yang tinggi, mengesampingkan pentingnya verifikasi fakta.
Framing atau pembingkaian adalah teknik yang sering digunakan untuk memengaruhi bagaimana suatu informasi dipahami. Di tangan buzzer politik, pembingkaian ini menjadi alat yang sangat efektif. Mereka hanya memfokuskan informasi pada aspek tertentu dari isu atau tokoh politik untuk membangun citra positif atau negatif.
Fakta-fakta yang dipilih biasanya yang mendukung narasi tersebut, sedangkan fakta yang bertentangan diabaikan. Publik yang tidak memiliki informasi utuh bisa tertarik untuk menerima narasi ini tanpa mempertimbangkan informasi lain.
Data sering kali disajikan dengan cara yang menekankan perbedaan kelompok atau identitas, memanfaatkan perasaan kolektif dan afiliasi politik atau sosial. Buzzer di era post-truth bisa menyajikan statistik yang memperkuat perbedaan sosial, politik, atau agama untuk meningkatkan polarisasi.
Data seperti ini sering kali digunakan untuk memperkuat stereotip atau memperburuk ketegangan, dan bukan untuk menggambarkan gambaran yang utuh atau objektif.
Memanfaatkan Algoritma
Aplikasi media social seperti Facebook, Instagram, Reels, Tiktok, WhatsApp, Youtube, X, Telegram dan lainnya menjadi sarana efektif dalam membangun opini dan merusak fakta. Algoritma media sosial sering kali memprioritaskan konten yang cenderung emosional atau kontroversial, karena konten semacam ini biasanya menarik lebih banyak interaksi.
Buzzer politik memanfaatkan algoritma ini untuk menyebarluaskan konten yang mungkin hanya berdasarkan opini atau disinformasi yang menarik emosi. Alhasil, data atau narasi yang didorong oleh buzzer dapat menjangkau audiens yang lebih luas, sering kali tanpa ada verifikasi fakta sebelumnya.
Rendahnya literasi digital dan ketidakmampuan publik untuk bersikap kritis di era post-truth turut mendukung keberhasilan taktik buzzer politik. Tanpa keterampilan berpikir kritis atau pemahaman tentang cara memverifikasi informasi, masyarakat cenderung menerima informasi dari buzzer secara mentah-mentah, terutama jika informasi tersebut sesuai dengan keyakinan atau harapan mereka.
Dengan semakin maraknya bias dan manipulasi data oleh buzzer politik, publik bisa semakin sulit mempercayai fakta atau otoritas informasi, termasuk media dan pemerintah. Ketidakpercayaan ini menciptakan ketidakstabilan informasi, di mana publik tidak lagi yakin kepada sumber fakta yang objektif.
Di tengah atmosfer post-truth, masyarakat bisa merasa bahwa semua pihak, termasuk media dan pemerintah, hanya mengejar agenda mereka sendiri.
Buzzer politik mampu mengaburkan fakta melalui manipulasi data, pembingkaian, dan penyebaran disinformasi, yang sering kali difokuskan pada emosi dan bias publik.
Literasi Digital
Untuk mengatasi tantangan ini, peningkatan literasi digital dan penguatan kemampuan berpikir kritis sangat penting, sehingga masyarakat dapat lebih mandiri dalam membedakan fakta dari bias atau manipulasi.
Pemerintah, media, dan platform sosial juga perlu lebih proaktif dalam menegakkan kebijakan anti-disinformasi, agar ruang informasi publik tetap sehat dan dapat dipercaya.
Kejahatan buzzer politik tidak hanya berakar pada pelanggaran hukum, tetapi juga pada dampak negatif terhadap masyarakat dan demokrasi.
Penggunaan buzzer yang tidak etis mencederai transparansi, kepercayaan publik, dan kualitas diskursus politik. Untuk meminimalkan dampaknya, diperlukan regulasi yang lebih ketat, pendidikan literasi media, dan tindakan proaktif oleh platform digital dalam menangani disinformasi dan ujaran kebencian.
Langkah-langkah ini penting agar masyarakat terlindungi dari manipulasi yang merusak serta tetap dapat menikmati kebebasan berekspresi yang sehat dalam demokrasi.
Menghadapi pemutarbalikan fakta oleh buzzer politik membutuhkan upaya kolektif dari masyarakat, pemerintah, dan platform media sosial untuk memupuk literasi digital dan berpikir kritis. Ketahanan masyarakat terhadap disinformasi adalah kunci untuk menjaga kewarasan kolektif dan mencegah manipulasi politik yang merusak.
Dengan memperkuat kemampuan verifikasi, menjaga sikap kritis, dan mengutamakan diskusi terbuka, masyarakat akan lebih siap dalam menangkis taktik manipulatif dari buzzer politik dan menjaga integritas informasi di tengah era digital yang kompleks.
Pilkada yang sudah di depan mata menjadi santapan empuk para buzzer politik. Karenanya penting bagi masyarakat untuk tetap kritis, teliti, dan objektif dalam menerima dan menyikapi informasi.
Dengan membiasakan diri memverifikasi fakta, mengenali pola manipulatif, dan fokus pada program nyata kandidat, publik akan lebih mampu menghadapi dan menangkal pengaruh negatif buzzer. Hal ini tidak hanya membantu menjaga kualitas proses Pilkada, tetapi juga membangun kesadaran publik untuk tetap waras dan rasional dalam menyikapi isu politik yang ada. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni