Syaikh Ahmad Surkati: Ulama Pejuang Kesetaraan Manusia adalah komik yang mengisahkan perjalanan hidup dan perjuangan Ahmad Surkati. Buku terbitan Salsabila ini asyik dibaca.
Oleh M. Anwar Djaelani, pecinta kisah-kisah ulama pejuang
Tagar.co – Ahmad Surkati telah ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan Indonesia. Demikian, ungkap Sukarno pada suatu ketika. Benarkah?
Sukarno tidak salah. Bukalah buku-buku yang berkisah tentang hidup dan perjuangan Ahmad Surkati. Termasuk, bacalah komik berjudul Syaikh Ahmad Surkati: Ulama Pejuang Kesetaraan Manusia.
Komik asyik ini, terbitan Salsabila (Pustaka Al-Kautsar Grup), baru beredar. Saat diluncurkan pada 2 November 2024 di Perpustakaan Nasional Jakarta, berlangsung semarak.
Baca juga: Bedah Buku Mas Mansur sang Sapukawat Dihadiri Peneliti Jepang
Kala itu, hadir Irsyadiyyin (keluarga besar Al-Irsyad). Juga perwakilan ormas Islam serta organisasi pemuda dan mahasiswa. Pun pegiat sejarah, aktivis literasi, dan sejumlah guru madrasah Al-Irsyad. Ada juga, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Tamsil Linrung.
Pendidik yang Diundang
Mari kita buka komik itu. Lewat gambar-gambar yang menarik, pembaca akan dibawa ke masa lalu. Awal, dibawa ke Kampung Pekojan, salah satu bagian dari Batavia (Jakarta). Pekojan, tempat tinggal orang Khoja yang berasal dari Gujarat India (h. 8).
Waktu bergerak. Ke Kampung Pekojan itu lalu datang orang-orang Arab. Mereka hidup di perkampungan khusus. Makin lama, terus bertambah orang orang Arab itu. Sampailah, pada 1901 mereka mendirikan Jami’at Khair (h. 19-21).
Di sebuah hari, di rapat, mereka merasa perlu mendatangkan guru agama dari Arab Saudi. Mereka lalu bersurat agar dikirimi guru. Guru yang diharap kemudian datang dari Makkah. Namanya, Ahmad Surkati (h. 30).
Tersebab Buku
Masuk bab berikutnya, penulis menggunakan teknik kilas balik. Siapa guru yang datang dari jauh itu? Ahmad Surkati, lahir pada 1875 di Sudan. Dia putra dari “As-Surkati, Pemilik Banyak Kitab”.
Halaman 40 sampai 69 berkisah tentang Ahmad Surkati sejak lahir sampai menjadi guru yang dihormati di Mekkah. Dia putra dari seorang ayah yang lulusan Al-Azhar Mesir. Kakeknya, juga tamat dari universitas yang sama.
Dari mana nama Surkati? Itu gelar, diberikan karena ayah Ahmad Surkati memiliki banyak buku. Itu tepat karena kenyataannya memang begitu.
Baca juga: K.H. Abdullah Syafi’i, dari Santri ke Ulama
Di halaman-halaman ini kita disuguhi gambar-gambar yang bagus sekaligus inspiratif. Ada gambar buku berderet-deret dan bersusun-susun di perpustakaan keluarga. Ada gambar seorang bapak yang sedang tekun mengkaji buku.
Ada gambar seorang ayah sedang membersamai anaknya (Ahmad Surkati kecil) menekuni buku. Tentu saja, ada gambar sekeluarga bersama-sama bekerja merapikan kembali buku-buku setelah dipakai. Sekali lagi, gambarnya bagus-bagus dan narasinya menggugah.
Ulama Teruji
Masuklah kita ke bab ”Dari Makkah ke Batavia”. Bahwa, karena situasi politik ketika itu, Surkati tak jadi ke Al-Azhar Mesir. Hanya saja, dia tetap belajar ke luar negeri. Dia merantau ke Madinah dan Makkah.
Dalam perjalanan intelektual Surkati, banyak yang dikajinya. Termasuk yang berasal dari tiga tokoh pembaharu pemikiran Islam yang menonjol di saat itu. Ketiganya adalah Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha (h. 77).
Surkati belajar di Madinah 4,5 tahun. Selanjutnya, belajar di Mekkah 11 tahun. Di Mekkah, keilmuannya diapresiasi sampai digelari oleh Majelis Ulama Saudi Arabia sebagai Al-‘Allamah – ahli dalam ilmu syariat. Atas kapasitas itu, Surkati berhak memberi fatwa jika ada yang meminta (h.86).
Surkati juga pengajar tetap di Masjidil Haram. Relasinya luas. Dia sangat dikenal, termasuk di kalangan intelektual Mesir (h.89).
Problem Dakwah
Kita masuk ke bab ”Perpisahan di Jalan Allah”. Demikianlah, sesampai Surkati di Jakarta dia bergabung dengan Jami’at Khair. Dia sebagai guru di Madrasah Jami’at Khair. Dalam waktu relatif singkat lembaga pendidikan yang diasuhnya berkembang pesat, terkenal (h. 103).
Setelah dua tahun bergabung di Jami’at Khair, suatu hari Surkati pamit akan melakukan perjalanan ke sejumlah tempat. Pada 1912, sebelum Muhammadiyah berdiri, ada pertemuan menarik karena tak sengaja.
Itu, terjadi di perjalanan kereta api ke Solo. Di gerbong, Surkati di luar dugaan bertemu Ahmad Dahlan. Sebelumnya, mereka belum saling kenal. Lalu, mereka berdiskusi dan saling menguatkan (h.107–109).
Di Solo, Surkati mengisi kajian. Di sesi tanya-jawab dia ditanya soal kafa’ah dalam pernikahan. ”Bagi saya, boleh menurut hukum syara’ yang adil,” kata Surkati (h. 112). Pendapat Surkati ini sejalan dengan Rasyid Ridha yang sebelumnya telah mengeluarkan fatwa. Bahwa, boleh orang dari keturunan sayyid untuk menikah dengan non-sayyid. Ini, terkait pertanyaan tentang kafa’ah dalam pernikahan. Fatwa ini heboh, hingga ke Indonesia (h. 111).
Kembali ke jawaban Surkati di Solo. Hal itu membuat kalangan Hadrami (orang Arab yang berasal dari Hadramaut) gempar. Mereka seperti terpukul. Di kalangan mereka, nama Surkati menjadi ”miring”. Surkati dianggap menghina kedudukan kaum alawi atau ba’alwi, sebutan bagi yang mengaku keturunan Rasulullah Saw (h.113-114). Sebagai puncak ketidaksukaan kalangan Jami’at Khair, pada 6 September 1914 Surkati diberhentikan dari organisasi itu.
Pendidik Sejati
Masuk kita ke bab ”Mendirikan Organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah”. Bahwa, atas keadaan diberhentikan dari Jami’at Khair, sempat terpikir oleh Surkati untuk pulang ke Mekkah. Hanya saja di hari itu juga, dengan dukungan banyak sahabatnya yang sepaham, Surkati mendirikan Al-Irsyad (h. 130). Atas hal ini, sambutan positif datang dari banyak arah.
Terus, ada bab ”Lika-Liku Gelombang Dakwah Baru”. Bahwa, relasi Surkati makin meluas. Dengan Tjokroaminoto, keduanya terhubung. Juga, dengan A.Hassan, Guru Besar Persis.
Ada lagi, bab ”Menjadi Mentor Pergerakan”.
Lewat A. Hassan, Surkati kenal Soukarno (h. 190). Pendek kata, nama dan kebaikan Surkati terus beredar terutama di kalangan kaum pergerakan.
Lihatlah, banyak pemuda Islam sekaligus pejuang bangsa datang berguru. Sekadar menyebut, datang dan belajar kepada Surkati anak-anak muda bernama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, dan Isa Anshari. Ada lagi, Mohammad Rasyidi dan Abdul Kahar Muzakkir.
Siapa mereka? Bacalah buku sejarah perjuangan bangsa ini! Rasakan apa peran hebat dari masing-masing mereka sebelum dan setelah Indonesia merdeka.
Komik ditutup dengan bab ”Akhir Hayat”. Surkati wafat pada 6 September 1943 di Jakarta. Banyak yang menyalati dan mengantarkan jenazah ke pemakaman di Tanah Abang – Jakarta, termasuk Soekarno. Surkati wafat dengan meninggalkan warisan tentang keharusan menjaga al-musawa (persamaan derajat) dari setiap Muslim dan tentang pentingnya pendidikan (h.217).
Sudut Pandang
Komik ini insyaallah berharga. Pertama, berisi tentang kisah ulama dan pejuang yang tak kenal lelah. Jasanya banyak dan dapat membuktikan pernyataan Soekarno di awal tulisan ini.
Kedua, narasi yang dibuat Artawijaya sang penulis kuat dalam memberi pesan. Ketiga, gambar-gambar yang dibuat Handri Satria sang ilustrator bagus karena bisa menghidupkan narasi. Keempat, semua halaman komik berwarna. Kelima, tebalnya cukup yaitu 223 halaman.
Sedikit catatan. Di halaman 217 ada dua gambar. Gambar atas, suasana shalat jenazah. Gambar bawah, suasana iring-iringan orang mengangkat keranda jenazah. Di gambar bawah, ada teks: ”Kepergiannya diantar banyak orang. Di antaranya adalah Soekarno, sosok yang kelak menjadi presiden pertama Republik Indonesia”.
Rasanya, halaman 217 akan lebih dramatis jika bisa menunjukkan posisi Soekarno. Posisi Soekarno, bisa di ketika shalat jenazah dan/atau di saat orang-orang mengangkat keranda jenazah menuju pemakaman. Tentu, tentang hal ini memerlukan referensi yang tepercaya.
Terus, Teruslah!
Dengan terbitnya komik ini, bisa menambah kuat citra Pustaka Al-Kautsar (dengan Penerbit Salsabila di dalamnya) sebagai penerbit yang serius menerbitkan komik-komik Pejuang Muslim Nusantara. Semoga segera akan terbit seri Pejuang Muslim Nusantara lainnya.
Sekadar mengingat, sebelumnya telah mereka terbitkan antara lain komik-komik berikut ini: Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Hamka, dan Natsir. Juga, Cut Nyak Din dan Laksamana Malahayati. Alhamdulillah! (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni