Menghalalkan Segala Cara
Menghalalkan segala cara sering ditempuh demi tujuan tertentu. Bukan hanya dalam politik kekuasaan, di dunia bisnis pun perilaku jahat itu ada yang melakukannya.
Opini oleh Mohammad Nurfatoni, Direktur Penerbit Kanzun Book.
Tagar.co – Menghalalkan segala cara sudah dikenal umum dalam jagat politik kekuasaan. Sebuah dinasti politik misalnya mengubah sebuah aturan agar bisa melanggengkan kekuasaan lewat anak-anaknya.
Tapi menghalalkan segala cara juga terjadi di dalam dunia bisnis. Harvard Business Review, pernah menurunkan tulisan yang menyoroti beberapa kejahilan yang dilakukan para manajer dalam menyelenggarakan bisnis.
Manville Corporations, sebuah perusahaan di Amerika yang memproduksi asbestos, adalah salah satu contohnya. Dari riset yang dilakukan diketahui bahwa debu asbes dapat mengakibatkan penyakit—yang kemudian disebut asbestosis—yang dapat mengakibatkan kanker paru-paru.
Baca juga: Belajar Mendengar
Tetapi para eksekutif perusahaan itu justru memutuskan untuk tidak melanjutkan riset tentang asbestosis, dan memerintahkan agar semua yang mengetahui informasi itu melakukan gerakan tutup mulut guna melindungi pemasaran produk asbes mereka.
Bagian medis diperintahkan untuk menyembunyikan foto ronsen para pegawai yang diketahui telah rusak paru-parunya, karena terlalu banyak menghirup debus asbes. “Apakah dengan cara itu sebenarnya Anda membiarkan para karyawan Anda mati pelan-pelan?” tanya penyidik.
Jawabannya? “Ya, dengan cara ini kami dapat menghemat dana pengobatan.” [Bondan Winarno, Seratus Kiat -Jurus Sukses Kaum Bisnis (2), 1990].
Manville, demi target anggaran dan pemasaran, berani mengorbankan nyawa para karyawannya. Mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai target.
Demi Target
Sungai-sungai di sini banyak yang tercemar. Ternyata banyak perusahaan yang membuang limbah ke sungai. Mengapa tidak membangun instalasi pengolah limbah? Demi target keuntungan, biaya instalansi itu dianggap terlalu membebani.
Lantas, pilihan yang kemudian dilakukan adalah menghalalkan pembuangan limbah di sungai, meskipun itu mengorbankan lingkungan hidup; mengorbankan kesehatan masyarakat.
Atau bisnis makanan dengan mencampurkan unsur berbahaya dalam komposisinya, misalnya zat warna non makanan. Ini juga cara kotor.
Contoh-contoh di atas memperlihatkan jika target bisa menjadi sesuatu yang berbahaya. Target mengakibatkan orang menghalalkan segala cara, sekadar untuk mencapainya.
Pertanyaannya, apakah cara-cara seperti ini masih bisa kita terima? Dalam seting masyarakat 30 tahun yang lalu, mungkin tidak begitu menjadi perhatian. Namun kini, di alam keterbukaan, di mana kesadaran masyarakat akan hak-hak keamanan dan kesehatan semakin tinggi, cara-cara seperti itu menjadi tidak populer.
Bukankah masyarakat semakin sadar untuk menyalurkan aspirasinya, baik lewat jalur hukum, maupun aksi-aksi unjuk rasa? Sekali perusahaan Anda ketahuan melakukan praktik-praktik kotor, maka akan runtuh segala citra yang telah dibangun susah payah. Bukankah ini bumerang?
Etika Bisnis
Karena itu, para eksekutif perusahaan diharapkan dapat mencapai keseimbangan antara pencapaian target yang ditetapkan perusahaan dan kemampuan untuk tidak “menginjak” kepentingan serta hak orang lain.
Artinya, perusahaan harus tetap mempunyai komitmen untuk memegang nilai-nilai moralitas. Pertanyaannya, apakah dengan berpegang pada nilai-nilai etik, tidak membuat perusahaan kembali mundur ke belakang?
“Kami percaya bahwa suatu aturan moralitas yang kuat dalam bisnis apa pun adalah suatu langkah awal menuju kesuksesan bisnis itu. Kami percaya bahwa para manajer etis adalah manajer-manajer yang berjaya,” papar Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale dalam pendahuluan buku mereka Power of Ethical Management, seperti dikutip Haidar Baqir dalam Era Baru Manajemen Etis (1995).
Kenneth dan Norman seolah meyakinkan bahwa apa pun bisnis kita, yang dilandasi oleh etika, tetap bisa bersaing, bahkan berjaya. Sebab yang dijangkau adalah kelanggengan bisnis dan keuntungan jangka panjang.
Empat belas abad yang lalu Al-Qur’an bahkan telah mengingatkan persoalan ini dengan kisah kaum Madyan. Umat Nabi Syu’aib Alaihissalam ini, dalam melakukan perdagangan, biasa mengurangi takaran dan timbangan.
Mereka diingatkan oleh Nabi Sueb “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (Hud/11: 85)
Kecurangan, demi target keuntungan-perusahaan, dalam bentuk apapun adalah pelanggaran hak-hak manusia. Dan sekali lagi, tegakah kita meraup keuntungan dengan “menginjak” orang lain? (#)