Definisi santri tak harus berada di pondok disampaikan cicit K.H. Hasyim Asy’ari saat mendapat kunjungan dari SMK Sunan Giri Menganti Gresik.
Tagar.co – Di bawah langit cerah, Senin, 21 Oktober 2024, sebuah rombongan dari SMK Sunan Giri, Menganti, Gresik memulai perjalanan yang sarat makna ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Ini bukan kunjungan biasa, melainkan sebuah perjalanan ziarah dan pembelajaran dalam rangka Hari Santri Nasional, yang melibatkan dewan guru, staf, kepala sekolah, dan pengurus yayasan.
Mereka, pimpinan dan dewan guru, datang untuk tapak tilas sejarah di makam tokoh-tokoh besar seperti K.H. Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) dan Abdurahman Wahid (Gus Dur), serta menggali esensi dari Resolusi Jihad.
Disambut Hangat
Kedatangan mereka disambut dengan hangat oleh Pesantren Tebuireng, yang menyajikan sesuatu yang lebih dari sekadar kunjungan. Di Gedung K.H. Yusuf Hasyim, sebuah diskusi inspiratif mengenai sejarah pesantren dan makna menjadi santri di zaman sekarang digelar.
Diskusi ini dipimpin oleh K.H. Abdul Hakim Mahfudz (pemangku pondok) dan Gus Varis Muhammad Mirza (cicit dari Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy’ari), yang mengupas tema yang sangat relevan dengan para pemuda.
Drs. H. Safi’i, sang kepala sekolah, kepada Tagar.co mengatakan diskusi ini adalah bagian penting dari pendidikan siswa.
Baca juga: Surat Terbuka untuk Menteri Pendidikan yang Baru
Sementara Gus Mirza, dengan mengutip Mbah Hasyim, menegaskan pentingnya ilmu pengetahuan untuk mencegah kebodohan yang bisa merusak bangsa.
“Janganlah kamu meninggalkan generasi yang bodoh. Sebab, generasi yang bodoh akan merusak bangsa dengan kebodohannya. Dan semua itu hanya bisa diselesaikan dengan ilmu melalui pendidikan,” ujarnya mengutip Mbah Hasyim.
Santri Modern
Namun, yang paling menarik adalah bagaimana Gus Mirza memperluas definisi santri. “Apakah siswa SMK yang memperdalam ilmu umum bisa disebut santri?” tanyanya retoris.
Dengan tegas, ia menjawab, “Ya,” selama mereka menghormati guru dan orang tua, serta memegang teguh nilai-nilai agama. Santri tidak hanya mereka yang tinggal di pondok. Ini adalah sebuah pandangan revolusioner yang menghapus batas antara pendidikan pesantren dan umum.
Gus Mirza melanjutkan dengan menjelaskan tiga jalur hidup yang diajarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari: menjadi ulama, umara, atau agnia. Setiap jalur ini, menurutnya, adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui peran masing-masing dalam masyarakat.
Ulama bertugas memperdalam ilmu agama dan mengajarkannya, serta mengajak orang lain mendekat kepada Allah.
Umara adalah pemimpin yang menegakkan keadilan dan membela kebenaran melalui kekuasaan yang dimiliki.
Sedangkan aghnia Mendukung dakwah Islam melalui harta, menggunakan kekayaan untuk kebaikan.
Kunjungan ini bukan hanya tentang belajar sejarah atau berdoa di makam para tokoh. Ini adalah tentang memahami bahwa menjadi santri adalah tentang bagaimana seseorang hidup, bukan di mana mereka belajar.
Di akhir acara, para peserta merenungkan pesan ini sambil berdoa di makam para ulama, mengambil inspirasi untuk menjadi santri dalam definisi yang lebih luas dan modern.
Saat rombongan SMK Sunan Giri berpamitan, mereka membawa pulang lebih dari sekadar kenangan. Mereka membawa semangat baru, pemahaman yang lebih dalam tentang identitas mereka sebagai santri, yang akan mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari, di mana pun mereka berada. (#)
Jurnalis Sujarwa Penyunting Mohammad Nurfatoni