Cerpen

Tarko

×

Tarko

Sebarkan artikel ini
Cerpen Tarko
Ilustasi cerpen Tarko (Al)

Tarko, mantan preman, diikuti warga yang curiga terhadap gerak-geriknya. Karena provokasi, warga mengeroyoknya saat mendekati rumah Gus Jul, mengira dia akan melakukan kejahatan.

Cerpen oleh Bekti Sawiji, ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lumajang Jawa Timur

Tagar.co – Ketenangan warga Kampung Kamulyan mulai terusik saat mereka mendengar kabar bahwa Tarko dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan.

Betapa tidak, sebelum dipenjara dia adalah preman pasar yang sangat sadis dan sering menggunakan kekerasan dalam memuluskan niatnya. Dalam melakukan kekerasan, dia juga tidak pilih-pilih.

Warga yang tinggal sekampung dengan dia juga pernah jadi korban. Yang enggan berurusan dengan Tarko akan memilih segera menuruti kehendaknya, seperti minta dibelikan rokok.

Sebelum dipenjara 6 tahun silam, Tarko adalah korban PHK akibat kekerasan yang dia lakukan di pabrik tempat dia bekerja. Dia menonjok teman kerjanya gegara menolak meminjaminya uang.

Beruntung saat itu dia tidak dipolisikan oleh korban meski hidungnya sempat mengucurkan darah segar. Kondisi nganggur itulah yang menyebabkan Tarko berubah menjadi preman pasar.

Tarko dihukum 7 tahun penjara setelah terbukti menganiaya seorang pengunjung pasar sampai meninggal enam tahun silam. Saat itu pasar yang tenang dan damai tiba-tiba ribut.

Tumpahnya darah tidak terelakkan saat itu. Banyaknya saksi yang melihat aksi Tarko membuatnya tidak bisa mengelak saat diproses secara hukum. Padahal warga memendam keinginan agar Tarko dihukum lebih berat dari itu, misalnya 15-20 tahun. Dengan begitu, saat keluar Tarko sudah cukup tua.

Baca juga: Orang Miskin dan Malaikat

Sebenarnya selepas dari penjara, Tarko terlihat berubah. Dia lebih santun, meski tidak bisa menyembunyikan wajah garangnya. Dia juga sesekali bertegur sapa dengan warga. Beberapa warga merasakan perubahan itu meskipun banyak juga yang memilih menghindar.

Warga menghindar dari Tarko karena takut dengan kekerasan. Mereka benar-benar tidak mau ada urusan dengan Tarko sekecil apapun, begitu juga dengan Judari. Judari adalah warga yang paling was-was dan oleh karena itu ia selalu memantau gerak-gerik Tarko.

“Jangan-jangan dia hanya pencitraan,” pikir Judari menanggapi kesan perubahan sikap Tarko.

”Aku harus selalu mengawasi dia dan membuktikan kepada masyarakat bahwa Tarko masih berbahaya seperti dulu,” gumamnya dalam hati.

Benar saja, siang itu Judari menguntit Tarko dari kejauhan. Jantung Judari berdebar-debar saat melihat Tarko mendekati sebuah rumah yang itu adalah rumah Gus Jul, pengasuh musala dan madrasah diniyah (madin) di kampung.

Baca Juga:  Ahmad Surkati: Pendidik Apik di Komik Asyik

Memang rumah Gus Jul dekat dengan sungai dan cukup jauh dari rumah penduduk. Di halaman rumahnya terparkir beberapa sepeda motor. Tarko terlihat bingung ketika dia sudah dekat sekali dengan pagar samping.

Baca jugaSepeda Pertamaku

Sesekali dia menengok ke kanan dan ke kiri seperti membaca situasi. Dia seperti orang yang mengendap-endap yang hendak melakukan tindak kejahatan. Sepi sekali saat itu. Sementara itu, dengan lutut gemetar Judari bingung dengan apa yang akan dilakukan andaikan Tarko benar-benar mencuri.

Sepertinya Judari juga tidak punya cukup keberanian. Akhirnya dia mengetik pesan di grup WA warga.

“Benar Bapak-Bapak, Tarko akan melakukan pencurian di rumah Gus Jul,” tulis Judari di chatnya.

Belum sempat dia mengirim pesan itu di grup, dia dikagetkan dengan kembalinya Tarko dari mengendap-endap.

Tarko balik kanan karena dari dalam rumah Gus Jul keluar beberapa orang, termasuk Gus Jul sendiri. Rupanya orang-orang itu adalah tamu-tamu Gus Jul.

Gus Jul memang sering kedatangan tamu-tamu penting. Selain mengasuh madin dan musala, dia juga punya bisnis kayu yang cukup besar dan karyawannya cukup banyak.

Tarko mempercepat langkahnya ke arah pulang. Judari batal mengirimkan pesannya lalu membenamkan badannya di antara semak-semak untuk melindungi diri dari penglihatan Tarko.

***

Stigma Tarko sebagai mantan preman tidak bisa dilepaskan dari pemikiran warga. Benar juga, sore itu dia kembali dipantau oleh Judari. Bahkan, kali ini Judari tidak sendirian. Dia berhasil memprovokasi beberapa warga untuk mengikuti misi besarnya: menguntit preman. Teknologi sangat memudahkan dia dan warga untuk saling berkomunikasi di saat-saat yang genting.

Baca jugaAyah

“Tarko keluar Rumah. Seperti dugaannku, rupanya dia menuju rumah Gus Jul,” tulis Judari di grup WA warga.

Naluri kriminal Tarko mungkin belum benar-benar lenyap dari hidupnya.

“Terus gimana, Dar?” tulis temannya menjawab Judari.

“Iya, apa kita langsung menuju ke pohon kelampok itu?” tanya yang lain.

“Sebentar, nanti saya kode. Biar dia agak jauh dulu,” kata Judari.

“86.”

Ramai sekali grup WA Judari. Rupanya Judari dan warga sangat kompak karena memang mereka ingin Kampung Kamulyan aman dan nyaman. Mereka tidak ingin ada gangguan keamanan di kampungnya seperti pembegalan, pencurian, ataupun tindakan premanisme lainnya.

Baca Juga:  Lurah Jadug

“SEKARANG!” tulis Judari mengomando warga untuk bergerak.

Bagai perintah dari komandan polisi, warga menunjukan kesiap-siagaannya. Mereka bergerak. Warga berjalan menuju tempat Judari mengintai Tarko di dekat pohon kelampok di belakang semak-semak.

Kemudian mereka merangsek ke arah rumah Gus Jul tetapi di luar pengetahuan Tarko. Tarko sama sekali tidak tahu kalau ada yang mengawasinya. Namun demikian, dia beberapa kali menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang. Malang sekali, dia tidak tahu akan menjadi target kekerasan warga.

Warga membekali diri dengan berbagai senjata seperti  pentungan, kayu, dan bahkan ketapel. Dengan hati-hati warga mulai mengendap-endap mendekati TKP. Kini mereka cukup dekat dengan Tarko. Tarko sudah sampai di gerbang samping rumah Gus Jul.

Baca jugaPemilihan Ketua RT

Di halaman, lagi-lagi ada beberapa sepeda motor. Judari yakin bahwa sepeda motor itu adalah target Tarko. Kini Tarko berdiri tepat di mulut gerbang sambil tangannya memegang pilar pagar yang besar.

Dia melihat-lihat suasana sekitar dan memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Dia terlihat menghela napas atau mengatur napas. Dia terlihat siap melakukan aksinya. Tegang sekali suasana Judari dan warga.

“Rudiii….,” panggil Judari setengah berbisik.

“Iya Bang Dar,” jawab Rudi.

“Hapemukan bagus, jadi kamu gak perlu ikut-ikut gebuk ya.”

“Terus.”

“Kamu bertugas dokumentasi ya. Videokan semua yang terjadi nanti. Sayang kalau terlewatkan momen ini.”

“Siap Bang!”

Judari membayangkan dia bakalan menjadi tokoh utama dari penangkapan seorang pencuri dan viral. Diantara mereka memang hanya Judari yang memang suka dipuji orang. Bagaikan pejabat, dia suka pencitraan.

Dengan langkah mantap namun tetap tenang, Tarko berjalan menuju sepeda motor yang terparkir. Begitu dekat sekali dengan sepeda motor itu tangan kirinya memegang salah satu ekor sepeda motor itu. Di antara tiga unit yang terparkir, dia memegang ekor sepeda motor yang terbaik.

“Maliiiing…. maliiing….maliiiing….,” teriak Judari dan warga sambil berhamburan kearah Tarko.

Dengan peralatan yang dibawa, mereka mulai mendekat dan memukuli Tarko dengan pentungan maupun dengan tangan kosong.

Teriakan warga itu tidak hanya mengagetkan Tarko yang tidak siap, tetapi juga mengagetkan Gus Jul dan tamunya, juga warga yang tinggal agak jauh dari rumah Gus Jul.

Baca jugaJangan Biarkan Aku Kufur Nikmat

Tarko yang sendirian berusaha menghindari amukan warga dengan cara mengayunkan kedua tangan keatas untuk melindungi kepalanya. Dia juga berusaha melarikan diri sambil berteriak, “Ampuun… Ampuun….!”

Baca Juga:  Seno Gumira Ajidarma: Antara Masalah Sosial dan Dunia Fantasi

Sial, emosi warga yang tersulut beberapa hari ini membuat mereka gelap mata. Tiada ampun bagi Tarko.

Saat Gus Jul dan tamu-tamunya keluar karena kaget, warga yang berkumpul semakin banyak. Semakin kecil pula kesempatan Tarko untuk lolos. Tidak menduga yang dipukuli warga itu Tarko.

“Tahan….!!!” seru Gus Jul.

“Tahan dulu, tahan!”

Gus Jul menyibak kerumunan dan berusaha menghentikan tindakan warga. Sayangnya Gus Jul terlambat. Tarko sudah berdarah-darah dari kepala dan pelipisnya. Wajahnya benjol dan lebam. Akhirnya warga berhenti juga.

“Apa-apaan kalian ini?” tanya Gus Jul

“Dia Gus, akan mencuri motor ini,” jawab Judari sambil menunjuk motor yangdipegang Tarko tadi.

“Jadi kami menggagalkan upaya pencurian ini,” sambungnya.

“Betul…,” teriak warga.

“Ngawur sekali kalian ini, sekarang cepat panggil ambulan, atau kalian akan menyesal,” perintah Gus Jul sambil marah.

Salah satu warga berusaha menghubungi ambulan. Sementara Tarko tidak terdengar lagi suaranya, pingsan.

“Bapak-bapak, Tarko ini tamu saya, tadi malam dia berjanji untuk datang ke sini sekarang,” kata Gus Jul menjelaskan. Dia lantas menyelipkan tangan kanannya ke saku baju taqwanya dan menarik lagi sambil memegang HP. Dia membuka WA percakapan dia dengan Tarko tadi malam. Wargapun terdiam. Judari bungkam.

“Nih, baca WA dia,” kata Gus Jul sambil menyodorkan HP-nya ke Judari.

Gus Jul tahu, rupanya Judarilah yang menjadi provokator semua ini. Judari membaca sekilas teks percakapan antara Tarko dan Gus Jul.

Tarko meminta pekerjaan kepada Gus Jul. Gus Jul mengiyakan dan menyuruh Tarko datang siang itu. Judari pucat, wargapun demikian. Mereka akan segera mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

***

“Asih… Asih….!” teriak Tarko mengetahui istrinya tidak ada di ruang depan rumahnya. Tarko baru saja datang dari bekerja.

“Iya, Bang,” sahut Uliasih sambil menghambur ke arah Tarko.

“Nih gajiku,” kata Tarko sambil menyerahkan uang kepada istrinya. Itu adalah gaji perdana dia bekerja di pabrik Gus Jul.

“Alhamdulillah Bang.”

“Ya, alhamdulillah. Tapi jangan lupa ya.”

“Apa, Pak?”

“Sisihkan sebagian rezeki itu, belilah oleh-oleh makanan. Besok kita jenguk Judari di rumah tahanan.”

Lumajang, 21 Oktober 2024

Penyunting Ichwan Arif