Opini

Kabinet Merah Putih Obesitas? Apa Penyebabnya?

×

Kabinet Merah Putih Obesitas? Apa Penyebabnya?

Sebarkan artikel ini
Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto dianggap yang paling gemuk sepanjang era Orde Baru hingga Reformasi. Apa penyebabnya?
Menteri Kabinet Merah Putih setelah dilantik Presiden Prabowo di Istana Negara, Senin (211/10/2024) (Foto kompas.com)

Kabinet Merah Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto dianggap yang paling gemuk sepanjang era Orde Baru hingga Reformasi. Apa penyebabnya?

Tagar.co – Di bawah ‘naungan’ Kitab Suci, para menteri Kabinet Merah Putih, mengucapkan sumpah, di Istana Negara, Jakarta Pusat.

Artinya mereka sudah sah mengemban amanat sebagai pembantu Presiden Prabowo Subianto selama 2024-2029.

Wajah-wajah mereka tampak sumringah, termasuk wajah para istri atau suami yang hari bersejarah itu ikut mendampingi pasangannya.

Baca artikel terkait: Susunan Lengkap Kabinet Merah Putih

Presiden Prabowo Subianto melantik 48 menteri dan 5 pejabat setingkat menteri pada Senin (21/10/2024) pukul 10.00 WIB. Rencananya, pada Senin saing Prabowo akan melantik wakil menteri.

Menurut catatan, Kabinet Merah Putih termasuk kabinet jumbo alias obesitas. Kalau menilik sejarah berdasarkan data yang terangkum di Sekretariat Kabinet, Kabinet Merah Putih adalah yang paling gemuk sepanjang era Orde Baru hingga Reformasi.

Ini adalah buah dari revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang disahkan pada September lalu sehingga memungkinkan jumlah kementerian menjadi tak terbatas.

Faktor Obesitas

Jika kita telaah, gemuknya kabinet ini dipengaruhi beberapa hal. Pertama, terjadi pemecahan kementerian menjadi beberapa kementerian baru.

Seperti Kementerian Hukum dan HAM di masa Presiden Jokowi kini dipecah Prabowo menjadi tiga kementerian. Yaitu: Kementerian Hukum, Kementerian Hak Asasi Manusia, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di zaman Jokowi juga dipecah Prabowo menjadi tiga kementerian, yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah; Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; serta Kementerian Budaya.

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah juga dipecah menjadi dua. Yaitu Kementerian Koperasi serta Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Demikian juga Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dipecah jadi dua. Yaitu Kementerian Pariwisata serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Baca Juga:  Setelah Pensiun, ke Mana?

Tujuh Kemenko

Kedua, terjadinya pemekaran kementerian itu otomatis membuat jumlah kementerian membengkak. Maka diperlukan kementerian koordinator alias kemenko yang juga lebih banyak.

Bila di zaman Jokowi hanya ada empat menko—Kemenko Polhukam, Kemenko Perekonomian, Kemenko PMK, dan Kemenko Marves—maka kini mekar menjadi tujuh kemenko.

Baca juga: Kabinet Jumbo dan Harga Kemubaziran

Tujuh kemenko itu adalah Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Politik dan Keamanan; Kemenko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan; Kemenko Bidang Perekonomian; Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Lalu Kemenko Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan; Kemenko Bidang Pemberdayaan Masyarakat; dan Kemenko Bidang Pangan.

Banyak Wakil Menteri

Obesitas Kabinet Merah Putih juga disebabkan banyaknya wakil menteri alias wamen. Semua kementerian ada wakilnya, termasuk dua kemenko. Yaitu Kemenko Bidang Politik dan Keamanan serta Kemenko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan

Bahkan beberapa kementerian memiliki lebih dari satu wamen. Misalnya Kementerian Luar Negeri punya tiga wamen atau Kementerian Keuangan yang juga butuh tiga wamen.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah punya dua wamen. Demikian juga Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dengan dua wamen.

Kenapa Harus Banyak?

Prabowo Subianto pernah mengatakan, banyaknya kementerian dan anggota kabinet itu karena Indonesia negara besar. Tapi oleh pengamat, itu tidak beralasan karena negara besar semacam Amerika Serikat saja cuma punya 15 kementerian/departemen.

Maka muncul analisis bahwa banyaknya kementerian dan personel kabinet itu disebabkan Prabowo Subianto harus membalas budi pada para pendukungnya. Yakni partai politik anggota koalisi dan individu tertentu.

Itu bisa dibaca misalnya, meski Partai Solidaritas Indonesia tak punya wakil di parlemen tapi mendapat jatah tiga kursi di kabinet: satu menteri dan dua wakil menteri. Atau anggota Tim Pengacara Prabowo-Gibran di MK Otto Hasibuan yang jadi wakil menteri koordinator.

Di samping itu ‘beban’ melanjutkan kepemimpinan mantan Presiden Jokowi juga membuat Prabowo harus menggunakan menteri-menteri seken (second), dan itu bukan jumlah yang sedikit, karena ada 17 menteri.

Seperti manusia yang tambun, kabinet besar yang disusun Prabowo juga mengandung risiko. Dia antaranya lambannya pergerakan dan koordinasi.

Di awal pemerintahan ini kementerian-kementerian baru tentu belum punya struktur sampai ke bawah. Bahkan kantor pun belum ada. Jadi harus mulai dari nol serta perlu perubahan dan adaptasi.

Bukan itu saja, pembengkakan kabinet juga membutuhkan biaya banyak. Gaji menteri dan wamen juga fasilitas dan keperluan administrasi. Semua butuh anggaran.

Ini mengingatkan pada masa Presiden Abdurahman Wahid. Bila Prabowo menambah banyak kementerian, Gus Dur malah membubarkan dua kementerian: Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.

Apakah obesitas Kabinet Merah Putih ini akan dijawab Prabowo dengan meminjam penyataan populer Gus Dur: “Gitu aja kok repot!” (#)