Budaya

Seno Gumira Ajidarma: Antara Masalah Sosial dan Dunia Fantasi

×

Seno Gumira Ajidarma: Antara Masalah Sosial dan Dunia Fantasi

Sebarkan artikel ini
Seno Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma

Cerpenis kelahiran Boston, Amerika Serikat ini dikenal sebagai sastrawan yang gemar memasukkan masalah sosial dalam karyanya. Bumbu dunia fantasinya digunakan menyingkap arus kesadaran manusia dalam konflik-konfliknya.

Tagar.coSeno Gumira Ajidarma kelahiran 19 Juni 1958. Dia seorang cerpenis, esais, wartawan, dan pekerja teater. Nama samaran yang dimilikinya Mira Sato, digunakan untuk menulis puisi sampai tahun 1981.

Dia lahir di Boston, Amerika Serikat, tetapi dibesarkan di Yogyakarta. Ayahnya adalah Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Ibunya, Poestika Kusuma Sujana, adalah dokter spesialis penyakit dalam.

Seno menikah dengan Ikke Susilowati pada tahun 1981 dan dikaruniai seorang anak bernama Timur Angin. Seno menyelesaikan sekolahnya di SD, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Selanjutnya, ia kuliah di Jurusan Sinematografi, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) tahun 1977.

Pada tahun 2000, dia menyelesaikan studi di Magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia dan lima tahun kemudian dia menyelesaikan Doktor Ilmu Sastra, Universitas Indonesia. Proses kreatif Seno dimulai tahun 1975, saat itu ia berusia 17 tahun.

Keterlibatan Seno di dunia seni dimulai saat dia menjadi anggota rombongan sandiwara Teater Alam pimpinan Azwar A.N. Berawal dari dunia teater, Seno kemudian masuk ke dunia sastra.

Karyanya yang pertama berbentuk puisi dimuat dalam rubrik Puisi Lugu dalam majalah Aktuil, asuhan Remy Sylado. Selanjutnya, Seno menulis cerpen dan esai. Cerpennya yang pertama Sketsa dalam Satu Hari dimuat dalam surat kabar Berita Nasional Tahun 1976.

Esainya yang pertama dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Kariernya di dunia kewartawanan dimulai pada tahun 1977 sebagai pembantu lepas harian Merdeka. Selanjutnya, Seno bekerja di majalah kampus Cikini dan menjadi pimpinan redaksi Sinema Indonesia (1980), dan redaktur mingguan Zaman (1983—1984).

Baca juga: Penerima Nobel Sastra 10 Tahun Terakhir

Seno juga bekerja di majalah Jakarta-Jakarta (1985—1992). Awal tahun 1992, majalah Jakarta-Jakarta berhenti terbit. Seno yang saat itu menjadi redaktur pelaksana harus melepaskan pekerjaannya. Saat menganggur, Seno yang sempat berhenti kuliah kembali melanjutkan studinya di Jurusan Sinematografi di LPKJ yang telah berubah menjadi Fakultas Televisi dan Film, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Baca Juga:  Ikhlas di Tepian Harapan

Seno berhasil menyelesaikan studinya tahun 1994 dengan skripsi berjudul Ciri Bertutur dalam Film Indonesia: Studi atas 20 Skenario Pemenang Citra Festival Film Indonesia 1973—1992.

Untuk selanjutnya, Seno berhasil menyelesaikan kuliah doktoralnya di Universitas Indonesia pada tahun 2007. Seno kembali bekerja di majalah Jakarta-Jakarta akhir tahun 1993, setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra.

Di majalah Jakarta-Jakarta Seno banyak menulis kritik film. Selain itu, Seno juga mengajar di IKJ pada mata kuliah Penulisan Kreatif dan Kritik Film. Karya Seno antara lain berbentuk kumpulan puisi, cerpen, novel, dan esai.

Karya-karyanya

Berikut karya-karya Seno. Kumpulan puisi 1) Mati Mati Mati (1975), 2) Bayi Mati (1978), 3) Catatan-catatan Mira Sato (1978).

Kumpulan cerpen 1) Manusia Kamar (1988) kemudian dicetak ulang dengan judul yang berbeda Matinya Seorang Penari Telanjang (2000), 2) Penembak Misterius (1993, 2007), 3) Saksi Mata (1994), 4) Dilarang Menyanyi di Kamar mandi (1995), 5) Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), 6) Negeri Kabut (1996), 7) Atas Nama Malam (1999), (8) Iblis Tak Pernah Mati (1999, 2001), (9) Dunia Sukab (2001), (10) Kematian Donny Osmond (2001), (11) Aku Kesepian Sayang, Datanglah Menjelang Kematian (2004), (12) Sepotong Senja Untuk Pacarku (2002), (13) Linguae (2007).

Baca jugaHan Kang, Novelis Korea Meraih Nobel Sastra 2024

Kumpulan naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami (2001) Drama Mengapa Kau Culik Anakku dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 6-8 Agustus 2001, dan di Societeit, Taman Budaya, Yogyakarta, 16—18 Agustus 2001.

Baca Juga:  Swiss Bikin Italia Menangis

Pertunjukan diproduksi oleh Perkumpulan Seni Indonesia bekerja sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Naskah drama ini berasal dari sebuah cerpen Seno Cinta dan Ninja dalam kumpulan Iblis Tak Pernah Mati yang merupakan juga fragmen dari Naskah drama Tumirah, Sang Mucikari, dipentaskan pertama kali di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat 29 Januari 1999, oleh Teater Yuka dengan sutradara Yenni Djajoesman.

Naskah drama lainnya yang terdapat di dalam kumpulan ini adalah Clara yang juga berasal dari cerpen Clara yang dimuat dalam kumpulan Iblis Tak Pernah Mati. Karya dramanya yang lain Pertunjukan Segera Dimulai (1976).

Komik, antara lain, Jakarta 2039, 40 Tahun 9 Bulan setelah 13—14 Mei 1998 (2001), Sukab Intel Melayu: Misteri Harta Centini (2002), Taxi Blues (2001). Novel, antara lain, Jazz, Parfum, dan Insiden (1996), Kitab Omong Kosong (1994), Biola Tak Berdawai (2004), Kalatidha (2007), Wisangeni Sang Buronan (2000), Naga Bumi I Jurus Tanpa Bentuk (2009).

Esai, antara lain Affair Obrolan Tentang Jakarta (2004), Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997, 2005), Kisah Mata Fotografi Antara Dua Subjek: Perbincangan Tentang Ada (2002), Layar Kata: Menengok 20 Skenario Pemenang Citra Festival Film Indonesia 1973—1992 (2008), Sembilan Wali dan Siti Jenar (2007), Surat dari Palmerah (2002).

Beberapa karya Seno sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris di antaranya cerpen Saksi Mata diterjemahkan oleh Jan Lingard dengan judul Eye Witness dan Negeri Kabut diterjemahkan oleh Tim Kortschak dengan judul The Land of Mists.

Dua cerpen tersebut beserta terjemahannya diterbitkan dalam buku Sastrawan Indonesia: Seno Gumira Ajidarma: Penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara (1997). Salah satu karya Seno—cerpen Penari—diubah menjadi skenario film pada tahun 1979 dan difilmkan untuk televisi oleh Nan Triveni Achmas, Produksi Sinema Sejati tahun 1998.

Baca Juga:  Chairil Anwar dan Nasionalisme

Baca juga: Taufiq Ismail Raih Anugerah Sastrawan Mastera dari Brunei Darussalam

Penghargaan

Penghargaan yang pernah diperoleh Seno, antara lain, adalah 1) cerpen Saksi Mata mendapat penghargaan Dimny O’Hearn Prize for Translation, Australia, 1977, 2) cerpen Kejaian mendapat penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim, 1997, 3) cerpen Dunia Gorda mendapat penghargaan dari majalah Zaman,1980, 4) cerpen Cermin mendapat penghargaan dari majalah Zaman, 1983, 5) cerpen Midnight Express mendapat penghargaan dari harian Kompas, 1990, 6) cerpen Segitiga Emas mendapat penghargaan dari harian Suara Pembaruan, 1991, 7) cerpen Pelajaran Mengarang mendapat penghargaan dari harian Kompas, 1993, 8) kumpulan cerpen Saksi Mata mendapat penghargaan Penulisan Kreatif dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,1995, 9) kumpulan cerpennya Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi mendapat penghargaan South East Asia Write Award, Bangkok, Thailand, 1997, 10) Seno memperoleh penghargaan dari Chatulistiwa Literary Award tahun 2005, dan 11) Ahmad Bakrie Award (tapi dia menolak) tahun 2012.

Cerpennya Cinta di Atas Perahu Cadik terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas tahun 2007 sekaligus menjadi judul antologi Cerpen Kompas Pilihan 2007.

Baca juga: Eka Kurniawan dan Role Model Baru Sastra Indonesia

Dunia Fantasi

Selain mengemas permasalahan sosial dan politik, kebanyakan teks cerpen maupun novel Seno dikemas dalam pengembaraan fantasi. Fantasi yang hasilnya bisa menyingkap arus kesadaran manusia dalam konflik-konflik yang mendasar tentang hakikat hidup.

Kebanyakan karua-karyanya dikemas dalam pengembaraan fantasi yang mencengangkan. Dalam bahasa Marshall Clark, Seno memiliki imajinasi yang sangat liar, kemampuan menarik gagasan secara terampil, baik dari tradisi lokal maupun budaya populer asing, dan kemampuan mengkritik penguasa otoriter dengan bahasa yang sering kali nyaring, subtil, dan tidak langsung. (#)

Jurnalis Ichwan Arif. Penyunting Mohammad Nurfatoni