Disiplin
Disiplin pragmatis berbeda dengan disiplin sebagai gaya hidup. Tapi keduanya lebih baik daripada tidak disiplin sama sekali.
Opini oleh Mohammad Nurfatoni, Direktur Penerbit Kanzun Book.
Tagar.co – Berapa di antara kita, yang mampu mendisiplinkan diri? Tengoklah sejumlah perilaku berikut: kendaraan nyerobot seenaknya; menyeberang jalan sembarangan; berdesak-desakan berebut tiket; membuang sampah sekenanya, rapat datang terlambat; suka melanggar batas penyelesaian pekerjaan; atau menggunakan sesuatu yang bukan hak kita.
Anehnya, perilaku-perilaku tidak lurus seperti di atas, sering tidak kita sadari. Mungkin sudah menjadi perilaku bawah sadar. Dan, runyamnya, telah menjadi perilaku massal.
Tak heran, jika banyak yang merasa masgul dan terdorong untuk menghentikan kebiasaan-kebiasaan tersebut, sekurang-kurangnya mengurangi. Muncullah ide-ide untuk mendisiplinkan diri masyarakat. Ada, dulu misalnya, gerakan disiplin nasional (disiplin hidup, disiplin kerja, disiplin waktu).
Pragmatis
Sebagian besar di antara kita, meminjam Haidar Baqir, memiliki definisi tertentu tentang disiplin. Dalam definisi ini, seseorang yang berdisiplin memilih suatu tujuan tertentu, kemudian mengupayakannya setegar mungkin, betapa pun besarnya godaan-godaan untuk menyelewengkan dari “garis lurus” yang telah ditariknya.
Sayangnya, kita cenderung mengasosiasikan disiplin dengan tujuan-tujuan pragmatis. Jika kita mendambakan promosi jabatan misalnya, maka disiplin berarti bekerja hingga larut malam atau pada hari-hari libur.
Atau jika kita ingin melangsingkan tubuh, maka disiplin berarti memiliki tekad untuk mengikuti suatu diet secara ketat. Dalam kedua kasus di atas, penerapan disiplin membawa kita pada imbalan yang bisa dilihat, kenaikan pangkat atau tubuh yang langsing.
Baca juga: Kambing Hitam
Sebenarnya, penerapan disiplin tidak harus terperangkap oleh imbalan-imbalan yang bersifat langsung dan segera. Sebab penerapan disiplin yang demikian itu, bersifat temporal.
Ketika tujuan-tujuan telah tercapai, maka disiplin menjadi longgar, bahkan tidak diterapkan sama sekali. Di sini, disiplin yang dilahirkan oleh faktor-faktor kepentingan sesaat tersebut, untuk memudahkan, kita sebut disiplin pragmatis.
Gaya Hidup
Penerapan disiplin pragmatis lebih baik dari pada tidak sama sekali. Akan tetapi jauh lebih baik jika disiplin adalah sebuah gaya hidup.
Artinya, terlihat tidaknya dampak yang dihasilkan atau panjang pendeknya pencapaian hasil dari disiplin yang kita lakukan, sama sekali bukan motif dan target yang mendasari perilaku disiplin kita. Bukan pula oleh ketakutan-ketakutan. Disiplin yang demikian, sebut saja disiplin gaya hidup.
Dengan disiplin sebagai gaya hidup kita menjadi merdeka dan egaliter. Sebab, motif-motif yang menggerakkan, bukan faktor-faktor eksternal, melainkan kesadaran internal bahwa sikap dan perilaku disiplin adalah tuntutan hidup manusia unggul.
Di mana Ietak perbedaan antara disiplin pragmatis dengan disiplin gaya hidup? Contoh-contoh berikut akan menjelaskan perbedaan tersebut.
Dengan disiplin pragmatis kita datang ke kantor tepat waktu, karena bos juga tepat waktu. Ketika kita tahu bos sedang keluar kota, kita datang terlambat, mungkin malah ogah-ogahan. Hasil yang kita dapatkan, di mata bos kita termasuk karyawan yang punya dedikasi, tetapi sebenarnya kita memupuk jiwa pengecut dan penjilat.
Sedangkan disiplin gaya hidup mengajarkan bahwa: ada tidaknya bos, tidak berpengaruh pada ketepatan waktu datang ke kantor. Sebab datang tepat waktu, di samping sebuah kewajiban, adalah cara efektif untuk menyelesaikan pekerjaan, dan memutus siklus kemoloran. Memutus siklus saling meniru.
Disiplin semacam ini adalah pancaran kemerdekaan jiwa. Kedisiplinan yang tidak terbelenggu oleh lingkungan eksternal kita.
Seseorang sanggup antre untuk mendapatkan sesuatu, namun ketika pangkat dan jabatannya naik—sehingga memiliki banyak kemudahan—maka dia tidak perlu lagi disiplin antri (disiplin pragmatis).
Seseorang, status dan kedudukannya naik, tapi dia tetap mampu menghargai hak orang lain, dengan tetap ikut antri (disiplin gaya hidup). Disiplin yang terakhir tersebut melahirkan sikap egaliter, persamaan. Sikap yang tidak memandang sebelah yang lain.
Baca juga: Akal Sehat
Gejala dan fenomena mendisiplinkan diri tak selamanya harus terlihat orang lain. Katakanlah menjadi disiplin subtil, nyaris tak terlihat.
Misalnya kita menekankan pada diri kita sendiri untuk tidak membeberkan sebuah rahasia. Kita membentengi secara ketat untuk tidak berkata mubazir, apalagi menyakitkan orang. Kita mendisiplinkan diri untuk tidak berkata bohong. Berdisiplin untuk tidak merampas hak-hak orang lain.
Dengan disiplin semacam itu, tak seorang pun yang menyadari apa yang kita lakukan. Tak pula seorang pun yang memberi pujian atas ketat-disiplin kita tersebut. Yang tahu adalah “aku” sendiri, di samping, tentu saja, Allah yang Mahaoeriksa.
Dan, hanya oleh motif-motif Ilahiah-lah kita meniatkan dan melakukan aktivitas, termasuk mendisiplinkan diri. Selamat mencoba! (#)