Opini

Manajemen Risiko

×

Manajemen Risiko

Sebarkan artikel ini
Risiko adalah sesuatu yang melekat dalam setiap pilihan. Bahkan memilih duduk berdiam diri di rumah pun ada risikonya. Lantas bagaimana menghadapinya?
Ilustrasi AI

Risiko adalah sesuatu yang melekat dalam setiap pilihan. Bahkan memilih duduk berdiam diri di rumah pun ada risikonya. Lantas bagaimana menghadapinya?

Opini oleh Mohammad Nurfatoni, Direktur Penerbit Kanzun Book.

Tagar.co – Adakah sesuatu yang dapat kita pilih di dunia ini tanpa risiko? Rasanya tidak ada. Bahkan risiko itu sendiri identik dengan pilihan-pilihan.

Risiko memang selalu muncul pada keadaan yang manapun—mengambil atau tidak mengambil tindakan. Siapa bilang jika Anda berdiam diri saja, tidak ada risiko?

Makan enak pun mengandung risiko. Bepergian dengan jalan kaki, berlari, bersepeda ontel, memakai sepeda motor, naik mikrolet, bus, taksi, atau membawa sendiri mobil mewah: semuanya mengandung risiko.

Ada risiko terlambat, capai, jatuh, menubruk, berdesak-desakan, memacetkan jalan, atau risiko pemborosan.

Baca juga: Tim, Bukan Kelompok

Hidup memang penuh dengan risiko. Dalam konteks bisnis, risiko malah menjadi tantangan tersendiri. Para pebisnis besar sukses karena berani menghadapi risiko yang akan ditanggung atas pilihan bisnis yang diambil. Sebab hanya ada dua risiko bagi mereka: untung (besar) atau rugi (besar). Mungkin, malah mempertaruhkan nama.

Dalam skala makro, pilihan iman tidak imannya kita juga mengandung risiko. Lebih khusus, keimanan kita sendiri menuntut risiko. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: ‘Kami telah beriman.’ Sedangkan mereka tidak diuji.'” (Al-Ankabut/29:2).

Ujian, dalam segala bentuknya adalah risiko yang harus dihadapi secara gagah berani oleh orang beriman. Bahkan secara lebih gamblang, Al-Quran memaparkan tentang risiko yang hendak diterima oleh orang-orang yang ingin masuk surga.

Baca Juga:  Jumlah Pernikahan di Indonesia Terus Menurun

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga. padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta guncangan (dengan berbagai macam ujian) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang beriman bersamanya: ‘Bilakah datang pertolongan Allah ….’ (Al-Baqarah/2:214).

Jadi, risiko memang harus dihadapi atas pilihan-pilihan hidup yang kita lakukan. Lantas, bagaimana kita mendudukkan risiko secara proporsional?

Sadar akan Risiko

Risiko, bukan sesuatu yang kita harapkan, apalagi menjadi tujuan. Namun, risiko, sekali lagi, adalah akibat atau konsekuensi dari segala pilihan kita. Risiko selalu menyatu dengan pilihan-pilihan.

Oleh karena itu, sikap yang benar adalah menyadari tentang adanya risiko-risiko. Kesadaran ini menjadi penting untuk, pertama, menjadi bekal motivasi dalam melangkah. Bahwa risiko itu ada.

Risiko adalah bagian sunatulah. Dengan bekal itu kita merasa siap, jika risiko itu benar-benar hadir di hadapan kita. Tidak adanya kesadaran tentang risiko, akan berakibat fatal di kemudian hari. Mengapa? Karena kita tidak siap, bahkan tidak menduga sama sekali, akan datangnya risiko. Akibatnya, mungkin kita menjadi shock dan frustasi.

Kedua, kesadaran tentang adanya risiko akan menjadikan kita lebih teliti dan hati-hati dalam merencanakan sebuah pilihan. Teliti dan hati-hati di sini bukan lagi berarti takut atau ragu, sebab perasaan tersebut tidak pantas melekat pada orang yang sadar akan adanya risiko.

Baca Juga:  Tafsir Surat Al-Asr: Islamisasi Tak Boleh Merusak

Jadi? Teliti dan hati-hati mengandung pengertian bahwa sebelum melakukan pilihan-pilihan, kita mestinya membuat perhitungan-perhitungan; memikirkan secara matang setiap langkah yang hendak ditempuh.

Baca jugaProfesionalisme

Dalam dunia bisnis, misalnya, kita kenal ada riset pasar. Riset ini biasanya dilakukan sebelum seseorang atau badan usaha mengembangkan suatu jenis usaha. Targetnya mengenali pasar sasaran, membaca peluang, melirik pesaing, dan seterusnya. Tujuannya, agar sukses dalam mengembangkan usaha baru tersebut.

Perhitungan masak-masak tersebut dilakukan untuk mengurangi atau meminimalisasi risiko. Sebab pada dasarnya orang-orang yang sukses adalah orang-orang yang berani menanggung risiko, tetapi ia sendiri sebenarnya tidak menyukai risiko itu.

Karena itu mereka berusaha mengurangi risiko itu sebesar-besarnya. Perhitungan matang-matang juga menyangkut rumusan strategi dan taktik jitu.

Baca jugaBrainstorming

Ketiga, kesadaran terhadap risiko juga mengandung konsekuensi, bahwa kita dituntut untuk menyiapkan kemampuan. Sebab, perhitungan dan perencanaan yang kita lakukan tidak akan berguna jika tidak ditunjang oleh kemampuan untuk melaksanakannya.

Artinya, ilmu dan teknologi menjadi keharusan untuk dikuasai. Kerja keras dan kerja keras. Kita analogikan misalnya, dengan dunia olahraga.

Olahraga terjun payung, misalnya, mungkin kita anggap sebagai olahraga yang penuh risiko. Tapi tidak bagi para penerjun payung itu sendiri. Soalnya, mereka telah menguasai seluk beluk tentang olahraga tersebut, sekaligus mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Mungkin risiko yang dihadapi sama dengan risiko yang dihadapi peloncat tinggi. Salah mendarat, kaki keseleo.

Baca Juga:  Viral, Video yang Diduga Wawancara Pura-Pura Presiden Jokowi

Jadi mengambil risiko tidak sekadar untung-untungan, hanya mengandalkan feeling, tanpa dilandasi data atau informasi, sekadar didorong oleh sikap emosional, sekadar spekulasi, atau sikap pasrah belaka.

Jika model-model pengambilan risiko seperti yang terakhir itu yang kita lakukan, mungkin tak ubahnya seperti risiko penjudi. Dan, sebagai orang beriman, siapa yang sanggup melakukan perjudian seperti itu? (#)