Miskinem menolak pemberian daging kurban. Dalam hatinya, menerima distribusi daging kurban adalah hal memalukan, sepele, dan rendah. Ketika pintu diketuk panitia, dia memutuskan tidak membuka sendiri pintu rumah.
Cerpen oleh Bekti Sawiji, ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lumajang Jawa Timur
Tagar.co – Matahari belum lama tergelincir ke barat. Setelah bergantian salat dhuhur dan makan siang, panitia kurban Masjid Al-Falah kembali berkumpul untuk melanjutkan tugas berikutnya, distribusi daging kurban.
Setiap anggota panitia mendapat tugas untuk mengantarkan daging itu ke rumah-rumah warga yang terdaftar di catatan panitia. Seperti umumnya, yang menerima daging kurban ini adalah para fakir miskin.
Seluruh daging yang dibagikan sudah dikemas dengan kantong plastik. Tahun ini Masjid Al-Falah akan membagikan 800 lebih kantong daging sapi dan kambing.
Cuaca hari itu cukup terik sehingga membuat orang enggan keluar rumah. Banyak orang memilih tinggal di dalam rumah daripada pergi ke luar.
Oleh karena itu, para petugas mengetuk pintu rumah-rumah itu karena penghuninya banyak yang tidur atau sekadar berstirahat, menonton TV atau bermain gawai. Hal ini terjadi juga di keluarga Inem.
Dia sedang rebahan di kasur lantai di depan televisi. Dia sedang menonton acara televisi yang kualitas gambarnya sudah sangat buruk. Sementara, anaknya memilih bermain hape android butut pemberian pamannya.
Miskinem, nama lengkap Inem, sudah menjanda cukup lama, tepatnya sejak suaminya meninggal gegara Covid-19. Saat masih bersuami perekonomian Inem sudah cukup sulit, sekarang semakin parah karena hanya dirinya yang bekerja meskipun dia hanya tinggal berdua dengan anaknya.
Baca juga: Sepeda Pertamaku
Dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga serabutan dan tidak tetap. Kadang membantu membersihkan rumah dan halaman, mengepel, dan menyapu. Kadang memasak, mencuci, dan menyetrika. Sesekali hanya menyetrika.
“Assalamualaikum!” teriak petugas menyapa sambil mengetuk daun pintu rumah inem.
Mendengar teriakan itu Inem tidak bereaksi. Dia tahu jika yang datang adalah para petugas dari masjid untuk mengantarkan daging kurban.
“Assalamualaikum Mbak Miskinem!” teriak petugas itu lebih keras.
Inem ragu untuk menemui tamunya atau tidak. Hatinya berteriak bahwa menerima daging kurban itu memalukan, sepele, dan rendah. Selain itu, Inem juga merasa tidak membutuhkan daging itu walau hidup berkekurangan.
Akhirnya Inem memutuskan untuk tidak membuka sendiri pintunya. Dia menyuruh Ragatono, anaknya yang masih SMP untuk membukakan pintu tamunya. Dia enggan menemui mereka. Inem memang tergolong aneh.
“Huh, ngapain aku menerima tamu panitia kurban?” pikir Inem.
Malaikat yang dari tadi memperhatikan inem menjadi gemas dengan sikap cueknya berseru, “Hai, Nem… Kinem terima dan hormati tamu, jangan malah bersembunyi!”
Meskipun miskin, Inem selalu jaga gengsi. Dia juga suka mencibir dan nyinyir terhadap kebaikan-kebaikan yang diberikan kepadanya. Suudzon adalah pekerjaannya.
Seperti kali ini, ada panitia kurban hendak mengantarkan beberapa kantong daging, dia sok tidak membutuhkannya, sok tidak suka makan daging, sok hidup berkecukupan.
“Paling-paling yang diberikan, daging sedikit tulangnya yang banyak, kalau tidak begitu pasti usus dan lemak-lemak,” gerutu Miskinem.
Si Malaikat kaget dan berseru lagi, “Hai…Nem… Markinem, mengapa kamu harus suudzon?”
“Terima kasih Bapak-Bapak,” kata Tono kepada para petugas.
Kemudian Tono masuk sambil menutup pintu rumahnya. Begitu panitia kurban tadi sudah jauh meninggalkan rumah Inem, buru-buru dia menghambur ke Tono dan berseru, “Ton, coba Mama lihat kantong kurbannya.”
Baca juga: Ayah
Dia menyerahkan kantong plastik yang berisi daging kurban itu.
“Nah kan benar kataku, nih daging. Sedikit, setengah kilo mungkin juga kurang. Dan ini, tulangnya ya ampuuunnn…, ini lagi babat yang kotor banget nih,” kata Inem, nyinyir dengan pemberian daging kurban itu.
Ragatono membiarkan ibunya membolak-balik isi kantong plastik itu dan meninggalkannya. Ragatono sudah hafal dan paham sifat-sifat buruk ibunya. Akan tetapi, dia tidak pernah berani memperingatkan ibunya.
Kali ini Malaikat sedikit iba kepada Inem. “Iya ya… kok tega panitia memberikan daging yang banyak tulang belulangnya,” seru Malaikat.
“Andaikan bisa, aku akan memberi tambahan daging untuk Miskinem,” batin Si Malaikat prihatin.
Mengetahui kasus Inem ini, si Malaikat kemudian mencoba kilas balik apa yang terjadi beberapa saat lalu ketika panitia kurban memotong, menimbang, dan mendistribusikan daging kurban.
Malaikat melihat seorang ketua panitia yang sibuk mengawasi anggotanya dalam menimbang dan memasukkan daging ke kantong plastik.
“Eits…. Setengah kilo dong… yang bagus. Dagingnya yang bagus,” begitu suatu kali teriak sang ketua menegur anggotanya yang terlihat kurang saat menimbang dan melihat dagingnya jelek.
Melihat ini, si Malaikat kagum kepada sang ketua. “Keren banget Pak Ketua ini, bisa kuberi bonus catatan kebaikan ini,” gumamnya berseri-seri.
Setelah kantong-kantong itu penuh dengan daging-daging bagus dengan bobot setengah kilogram, sang ketua memerintahkan panitia untuk menambahkan bonus berupa tulang dan jerohan kepada setiap kantong plastik itu.
Baca juga: Pemilihan Ketua RT
“Nah, beginilah Bapak-Bapak, membagi daging kurban itu jangan asal. Berikan daging yang terbaik. Setelah terbagi rata, barulah kita tambahkan bonus-bonus tadi. Saya tidak ingin kita keliru memasukkan antara daging, jerohan, atau tulang,” cerocos sang ketua yang diiyakan oleh para anggotanya.
“Dasar Inem keterlaluan, suka suudzon dan tidak mau bersyukur atas rezeki Allah,” batin si Malaikat.
Di hari kedua, sang Malaikat memonitor rumah Miskinem. Terlambat. Dia melihat limbah tulang belulang sapi di tempat sampah di dapurnya. Inem baru saja menghabiskan daging pemberian panitia dan menyisakan tulang belulang sapi.
“Ma, tumben Mama berada di ruang tamu dan pintunya terbuka?” tanya Ragatono.
“Ternyata dagingnya enak Ton. Ini kan baru hari kedua kurban, mungkin masih ada masjid yang akan membagikan daging lagi ke rumah kita,” jawab Inem penuh harap.
“Oalah Nem… Kinem. Saya kira kamu gak mau makan daging kurban,” kata si Malaikat sambil senyum dan menggeloyor meninggalkan rumah Miskinem.
Tidak lupa, dia menambah satu catatan dosa suudzon yang sudah Inem lakukan pada panitia kurban. (#)
Lumajang, 8 Oktober 2024
Penyunting Ichwan Arif