Tagar.co

Home » Sejarah TNI: Panglima Besar Pertama Kader Muhammadiyah
Sejarah TNI tak bisa dilepaskan dari Soedirman. Sebelum menjadi tentara, dia adalah guru dan aktivis Hizbul Wathan—kepanduan di bawah Muhammadiyah.

Sejarah TNI: Panglima Besar Pertama Kader Muhammadiyah

Sejarah TNI tak bisa dilepaskan dari Soedirman. Sebelum menjadi tentara, dia adalah guru dan aktivis Hizbul Wathan—kepanduan di bawah Muhammadiyah.
Presiden Sukarno (kanan) sata melantik Panglima Besar TKR Soedirman. (Foto internet)

Sejarah TNI tak bisa dilepaskan dari Soedirman. Sebelum menjadi tentara, dia adalah guru dan aktivis Hizbul Wathan—kepanduan di bawah Muhammadiyah.

Tagar.co – Tanggal 5 Oktober diperingati sebagai hari lahir Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sejarah TNI mengalami dinamika: berubah dari masa ke masa.

TNI terbentuk dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), 22 Agustus 1945. Lalu BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Agustus 1945. Berubah lagi sebagai Tentara Republik Indonesia (TRI), 23 Januari 1946.

Baca juga: Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah

Lalu berubah lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) 3 Juni 1947. Pada tahun 1962, terbentuk Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang merupakan gabungan TNI dan Polri.

Tapi pascareformasi, TNI dan Polri berpisah. ABRI kembali menjadi TNI tanggal 1 April 1999. Sampai kini TNI memiliki tiga matra atau angkatan. Yaitu Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Darat.

Panglima Besar Pertama

TNI tak bisa dilepaskan dari nama Soedirman. Dialah Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pertama.

Sebenarnya, sejak TKR terbentuk, Presiden Sukarno telah menunjuk Soeprijadi—Komandan Peleton atau Shodancho Peta—sebagai panglima. Tapi dia sudah menghilang sejak pemberontakan di Blitar di 1945. Dia diduga tewas.

Soedirman terpilih dengan suara terbanyak dalam rapat di Markas Tinggi TKR di Gondokusuman, Yogyakarta, 12 November 1945.

Selain Soedirman—yang saat itu berpangkat kolonel—calon yang maju waktu itu antara lain, Oerip Soemohardjo, Amir Sjarifoeddin, dan Moeljadi Djojomartono.

Mengutip Soedirman Seorang Panglima Seorang Martir Seri Buku Tempo: Tokoh Militer (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016) rapat pemilihan berlangsung sederhana. Tapi hampir semua peserta memegang senjata.

Nama-nama calon ditulis di papan tulis. Lalu panitia menyebutkan nama calon dan pendukungnya diminta mengacungkan tangan. Perhitungan suara langsung ditulis di papan tulis.

Faktor Kemenangan Soedirman

Soedirman menang karena mendapat banyak dukungan dari tentara eks Peta, bentukan Jepang—satu “almamater” dengan Soedirman. Dia masuk Peta menjadi daidancho Kroya tahun 1943. Peta akhirnya dibubarkan pemerintah yang kemudian membentuk BKR.

Selain dukungan tentara eks Peta, Soedirman yang saat itu berusia 29 tahun juga dipilih oleh utusan dari Sumatera Kolonel Moh Noch, yang mewakili enam divisi di Sumatra.

Baca juga: Kisah Penyamaran Jenderal Soedirman dalam Perang Gerilya

Sedangan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo adalah peraih suara terbanyak kedua. Kepala Staf Umum TKR itu banyak mendapat dukungan dari tentara eks KNIL (Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger), bentukan Belanda.

Menurut AH Nasution—yang saat itu berumur 26 tahun berpangkat Kolonel dan hadir dalam rapat sebagai Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat—terpilihnya Soedirman karena TKR saat itu didominasi tentara eks Peta, selain unsur KNIL, Heiho, dan pemuda.

Dan di kalangan Peta, terutama di Jawa, Soedirman sudah cukup dikenal. Mantan Komandan Batalion atau Daidancho Kroya itu dikenal luas berkat keberhasilannya meyakinkan Jepang agar menyerahkan senjata secara damai kepada tentara Indonesia.

Bukan hanya itu, Soedirman—saat menjadi Panglima Divisi BKR Puwokerto, Banyumas, bersama Raden Ishaq—berhasil menjadikan Banyumas sebagai sumber pasokan senjata bagi Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Yang juga penting dicatat, karisma Soedirman yang kuat mengundang kesetiaan anak buahnya. Soedirman dikenal dekat dengan prajurit.

Sementara itu, Oerip diperkirakan kalah karena di kalangan TKR muncul sentimen negatif terhadap tentara didikan Belanda. Mantan mayor KNIL yang kala itu berusia 52 tahunini dikenal dekat dengan pemerintah ketimbang tentara.

Yang juga bikin dia tak populer, Oerip lebih lancar berbahasa Belanda dan Jawa dibanding berbahasa Indonesia. Padahal para tentara TKR—yang mayoritas berusi 20-an tahun—sedang bersemangat menggunakan bahasa Indonesia.

Setelah terpilih dengan suara terbanyak itu, Soedirman dilantik Presiden Sukarno dan Wakil Presidan Mohammad Hatta sebagai Panglima Besar TKR, 18 Desember 1945, di Markas Tinggi TKR Gondokusuman, Yogyakarta. Sementara Oerip Soemohardjo tetap menjadi Kepala Staf Umum TKR.

Menurut pengamat militer Salim Said, pemerintah menunda pelantikan selama sebulan karena ada keengganan melantik Soedirman yang dipilih para tentara.

Para elite politik yang mendapat didikan Barat berprinsip pembentukan tentara seharusnya memenuhi konsep supremasi sipil. Tapi tentara sudah terbentuk sebelum pemerintah membentuknya.

Tapi menurut AH Nasution, ‘bapakisme’—pemimpin yang dipilih anak buahnya—justru lebih baik karena memunculkan pemimpin yang umumnya ditaati. Panglima dengan anak buah angat dekat, biasa memanggil dengan sebutan “anak-anakku”.

Sebelum dilantik, Soedirman memimpin perang besarnya melawan Sekutu di Ambarwa, 12-15 Desember 1945. TKR pimpinan Soedirman berhasil memukul mundur Sekutu ke Semarang. (*)

Mohammad Nurfatoni, dari berbagai sumber

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *