Opini

Orang Baik yang Jahat

×

Orang Baik yang Jahat

Sebarkan artikel ini
Adakah orang baik yang jahat? Ada jika dia baik hanya dalam realitas persepsi, sementara realitasnya dia orang suka berbuat kejahatan.
Ilustrasi AI

Adakah orang baik yang jahat? Ada jika dia baik hanya dalam realitas persepsi, sementara realitas empirisnya dia adalah orang yang suka berbuat kejahatan.

Tagar.co – Seorang penjahat yang telah puluhan kali keluar masuk LP (Lembaga Pemasyarakatan) mengunjungi seorang ahli hikmah.

Dengan kewibawaan seorang penjahat kelas berat, ia berkata: “Tobat yang bagaimana menurut kiai, yang bisa diterima Tuhan dari seorang penjahat seperti saya ini?”

“Yang perlu bertobat itu bukan Anda, melainkan saya!” jawab ahli hikmah.

“Orang seperti saya tidak lagi membutuhkan sindiran seperti itu, kiai,” komentar penjahat.

“Demi Allah, Anda adalah orang baik selama tidak mengulang perbuatanmu lagi! Segala perbuatanmu telah dipidana oleh yang berwajib di LP, dan telah dihukum pula oleh masyarakat dengan memberimu predikat penjahat, sehingga membuatmu kurang bebas berbicara dan bertingkah laku seenak hatimu!

“Sebaliknya dengan diriku. Semua orang mengatakan bahwa saya adalah orang baik, sedangkan kenyataan hatiku sering berniat lebih jahat dari segala kejahatan yang pernah
engkau lakukan, tanpa seorang pun mencurigainya.”

“Bukankah ibarat penjahat, saya termasuk seorang penjahat yang belum pernah tertangkap,” jawab ahli hikmah sungguh-sungguh.

“Kalau begitu, tidak salah saya mencari saksi kemari untuk bertobat!” kata penjahat dengan serius.

Dialog di atas dikutip dari “Penjahat dan Ahli Hikmah”, Langit-Langit Desa: Himpunan Hikmah dari Sekarjalak, Muhammad Zuhri, Mizan, 1993.

Baca Juga:  Masihkah Indonesia sebagai Negara dengan Populasi Muslim Terbesar di Dunia?

Introspeksi

Benarkah hikmah di atas adalah bentuk kritik
terhadap orang-orang baik? Dan mengapa orang yang sudah baik perlu dikritik?

Jika kita termasuk orang baik—paling tidak
karena belum pernah mendapat predikat formal penjahat—maka kritik tersebut jangan diremehkan.

Sebaliknya jadikan kritik tersebut sebagai bahan perenungan mendalam tentang diri kita, dengan satu pertanyaan retrospektif, “Jangan-jangan kita (yang dianggap baik ini) memang penjahat?”

Lantas, bagaimana kita bisa memahami atas
sebuah kritik, bahwa orang baik itu juga bisa berbuat (lebih) jahat?

Harus kita sadari bahwa konsep baik itu sendiri
bisa memiliki dua makna, yakni makna hakiki dan makna semu. Baik dalam makna hakiki berarti baik yang mewujud dalam dua realitas sekaligus: realitas persepsi dan realitas empirik.

Baik dalam realitas persepsi artinya, baik yang
bisa dipandang atau dilihat orang, sehingga muncul persepsi bahwa “orang ini” atau “orang itu” baik.

Baca juga: Pedoman Menulis Opini supaya Menembus Media Bergengsi

Dalam bahasa hikmah di atas, dikatakan: “Semua orang mengatakan bahwa saya adalah orang baik …”

Sedangkan baik dalam realitas empirik artinya
baik yang senyatanya atau dalam bahasa filosofis disebut baik dalam kebenaran. Dengan kata lain, ketika orang menyebut “orang ini” atau “orang itu” baik, memang itulah kebenarannya (baca kenyataannya).

Artinya, realitas persepsi bahwa seseorang itu baik memang benar-benar sebagai realitas empiris. Sedangkan baik dalam makna semu adalah baik yang hanya memiliki satu realitas, yakni realitas persepsi, sementara realitas empirisnya tidak sepenuhnya begitu.

Dengan memakai bahasa sufistik, hikmah di atas mengatakan, “Semua orang mengatakan bahwa saya adalah orang baik, sedangkan kenyataan hatiku sering berniat lebih jahat dari segala kejahatan yang pernah engkau
lakukan…”

Lebih dari itu, kejahatan orang baik dalam makna semu tidak saja di hati, tetapi benar-benar sebagai sebuah realitas empiris.

Baca Juga:  Membonceng Bung Karno di Rumah Pengasingan Bengkulu

Potensi Terjerumus

Mengapa orang baik, justru mudah terjerumus
ke dalam kejahatan. Jawabnya cukup sederhana: karena tidak seorang pun menaruh curiga.

Tetapi justru di sinilah letak persoalannya.
Ketika semua orang menganggap kita baik, maka tak ada yang curiga bahwa kita akan berbuat jahat.

Di saat itulah kita leluasa memakai topeng kebaikan semu untuk melakukan kejahatan, dengan satu kepercayaan diri yang cukup besar:

“Siapa yang akan menyangka bahwa saya,
seorang ustaz, berani menggauli santri?”

“Siapa yang akan menyangka bahwa saya,
seorang aktivis demokrasi, bertindak otoriter dalam memimpin rumah tangga?”

“Siapa yang akan menyangka bahwa saya,
seorang anggota DPR yang berjas rapi dan bermobil mewah ini akan korupsi?”

Siapa yang akan menyangka bahwa saya,
seorang jenderal, adalah seorang pembunuh berdarah dingin?”

“Siapa yang akan menyangka bahwa saya,
seorang pejabat tinggi negara, adalah seorang psikopat?”

Bukan untuk Suuzan

Jika seorang penjahat mendapat predikat
penjahat, maka dia tidak akan lagi bebas berbicara dan bertingkah laku seenak hatinya. Dia akan disorot, dicurigai, dan diintai.

Berbeda dengan seorang penjahat yang mendapat predikat orang baik, dia akan dibiarkan bebas dengan topeng palsu kebaikannya itu.

Di sinilah kita dituntut melakukan introspeksi
secara radikal, dengan sebuah kunci perenungan: “Orang baik-baik ternyata memiliki peluang menjadi penjahat besar.”

Oleh karena itu, kita renungkan nasihat sufistik bagi orang-orang (yang dianggap) baik, “Yang perlu bertobat itu bukan Anda [penjahat], melainkan saya (orang baik-baik ini]!”

Tentu, hikmah ini ditulis bukan untuk membangun suuzan (berprasangka negatif) terhadap orang-orang baik. Melainkan ditulis untuk menjadi bahan perenungan mendalam bagi orang-orang baik, agar waspada dan berhati-hati ketika menerima predikat orang baik. Sebab predikat seperti itu justru bisa menjerumuskan hidup dalam keterpurukan! (#)

Mohammad Nurfatoni