Sejarah

PKI dan Rencana Jahat Pembubaran HMI

×

PKI dan Rencana Jahat Pembubaran HMI

Sebarkan artikel ini
PKI yang dekat dengan kekuasaan berusaha mempengaruhi Presiden Sukarno untuk membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam.
Ilustrasi AI

PKI yang dekat dengan kekuasaan berusaha mempengaruhi Presiden Sukarno untuk membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam.

Tagar.co – Tanggal 30 September baru saja berlalu. Tanggal itu kembali hadir dalam ingatan kolektif kita, mengingatkan pada peristiwa kelam yang dikenal sebagai Gestapu atau Gerakan September Tiga Puluh (G30S/PKI).

Kejadian ini bukan hanya sebuah catatan sejarah tentang usaha kudeta yang gagal, tetapi juga simbol dari kekejaman dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

PKI, dalam narasi yang berkembang, bukan hanya berusaha merebut kekuasaan melalui pembunuhan enam perwira tinggi militer, tetapi juga menunjukkan permusuhan terhadap kaum Islam dengan menargetkan para ustadz, kiai, dan santri.

Kita juga bisa mengingat kembali bagaimana gerakan PKI yang selalu dekat dengan kekuasaan saat itu. Termasuk berusaha ingin membubarkan organisasi Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI).

Baca juga: Pemuja Komunis

Sejak awal, PKI melalui organisasi mahasiswa yang berhaluan komunis seperti Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) menentang berdirinya HMI.

Akhirnya pada 5 Februari 1947 Lafran Pane yang saat itu berusia 25 tahun, bersama 14 orang temannya—Kartono Zarkasyi, Dahlan Husain, Maesaroh Hilal, Suwali, Yusdi Ghazali, Mansyur, Siti Zaenab, M.Anwar, Hasan Basri, Zulkarnain, Thayeb Razak, Toha Mashudi, dan Bidron Hadi—akhirnya sukses mendirikan HMI.

Ternyata gesekan HMI dengan komunis terus berlanjut dalam rentang 1960 hingga menjelang Gestapu 1965. Apalagi dengan kebijakan pemerintah saat itu yang mendasarkan negara pada Nasionalis-Agama-Komunis, PKI lebih dominan di kekuasaan.

Baca Juga:  Sejarah Lahirnya Metode Iqro' di Mata Mitsuo Nakamura

Akibatnya, PKI terang-terangan menjadikan HMI sebagai elemen Islam yang harus dimusuhi. Selama empat tahun, antara 1963 hingga 1966, HMI berada dalam tekanan berat PKI, hampir dalam semua lini dan aspek kehidupan. Segala macam stigma negatif terus diberikan kepada HMI.

Stigmatisasi itu ternyata tidak membuat aktivitas HMI merasa kecil hati dan kurang militan. Mereka justru siap berkonfrontasi dengan siapa saja. Terlebih kepada PKI dan kolaboratornya, anak-anak HMI siap ‘perang’.

Banyak tokoh HMI yang mengalami marjinalisasi dan stigmatisasi kala itu. Bahkan tak jarang, keselamatan nyawanya diincar dan saling dendam. Akhirnya, karena terus diincar keselamatan nyawanya, maka mereka banyak yang hengkang dari Yogyakarta.

Taufiq Ismail misalnya, sastrawan yang juga aktivis HMI saat itu dicap kontrarevolusioner. Ia dikucilkan, bahkan karena ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan yang melawan Lekra, Taufiq Ismail diberhentikan dari statusnya sebagai dosen di Institut Pertanian Bogor. Teror politik dari PKI dirasakan Taufiq Ismail secara nyata.

Penekanan PKI kepada HMI semakin kuat ketika Ketua Umum PKI Dipa Nusantara Aidit menyerukan agar pemerintah membubarkan HMI.

Sukarno Panggil Menteri Agama

Hingga suatu ketika Presiden Sukarno memanggil K.H. Saefudin Zuhri, Menteri Agama, untuk ngopi bareng di pagi hari. Presiden Sukarno memberitahu bahwa ia berniat membubarkan HMI.

K.H. Saefudin Zuhri sangat kaget mendengarnya. Namun ia mencoba bersikap tenang kemudian berdiskusi panjang dengan Soekarno. Melalui dialog panjang, akhirnya, sambil menyalami tangan K.H. Saefudin Zuhri, Bung Karno berkata, “Baiklah, HMI tidak saya bubarkan”.

Baca Juga:  Bung Karno Diklaim Lahir di Ploso Jombang, Bukti Ini Kuatkan Surabaya

Betapa bahagianya, hati K.H. Saefudin Zuhri, karena berhasil mementahkan hasutan PKI kepada Sukarno untuk membubarkan HMI. Anak-anak HMI sangat bangga dengan K.H. Sefuddin Zuhri yang mampu menghadang agenda pembubaran HMI.

Disarikan dari buku Banjir Darah : Kisah Nyata Aksi PKI Terhadap Kiai, Santri, Dan Kaum Muslimin (#)

Penulis Nurkhan Penyunting Mohammad Nurfatoni