Calon Tunggal Pilkada: Tirani yang Dibungkus Demokrasi
Ada 37 calon tunggal dalam Pilkada 2024. Saat rakyat hanya diberi satu pilihan, itu bukan demokrasi. Tapi tirani yang dibungkus dengan sampul pemilu.
Opini oleh Sujarwa, aktivis pendidikan dan sosial.
Tagar.co – Saat partai-partai politik bersekutu dengan kekuasaan dan tidak ada lagi oposisi yang berarti, rakyat dihadapkan pada pilihan yang suram dan membingungkan.
Fenomena calon tunggal dalam pilkada di beberapa daerah, seperti Surabaya dan Gresik, adalah cerminan nyata dari matinya dinamika demokrasi yang sesungguhnya.
Seperti diketahui, ada 37 daerah yang memiliki calon tunggal di Pilkada 2024. Rinciannya: calon tunggal untuk pilgub berjumlah 1 pasangan, 5 pasang calon wali kota-wakil wali kota, dan 31 calon bupati dan wakil bupati.
Demokrasi, pada intinya, adalah tentang kebebasan memilih dan pluralitas gagasan. Ketika rakyat hanya diberikan satu pilihan calon, demokrasi berubah menjadi ilusi. Tidak ada lagi kebebasan dalam kompetisi yang adil dan sehat; yang tersisa hanyalah proses formalitas yang memperkuat status quo.
Fenomena ini adalah gejala dari penyakit kronis yang menggerogoti sistem politik kita. Saat kekuasaan dan modal menyatu dalam genggaman segelintir elite, kepentingan rakyat dikesampingkan.
Baca juga: APBN Indonesia: 82 Persen Dibiayai dari Perpajakan
Saat calon tunggal melawan kotak kosong, yang diusung adalah skenario palsu yang hanya melegitimasi kekuasaan. Yang disajikan bukanlah pilihan yang sejati. Ini adalah bentuk lain dari pemaksaan kehendak politik atas rakyat, memaksa mereka ‘memilih tanpa pilihan’.
Apakah ini demokrasi? Tentu saja tidak. Ini adalah pemburaman atau pengaburan terhadap esensi demokrasi. Demokrasi sejati adalah ruang terbuka di mana rakyat diberi kebebasan memilih dari beragam alternatif, tidak hanya satu pilihan yang dipaksakan.
Saat kekuasaan berada dalam genggaman elite yang menekan setiap bentuk perlawanan, maka kita telah kehilangan substansi demokrasi itu sendiri. Yang tersisa hanyalah cangkang kosong; kerangka tanpa jiwa, jasad tanpa ruh.
Simbol Perlawanan Kosong
Dalam situasi ketika rakyat dihadapkan pada pilihan semu, satu-satunya jalan keluar yang realistis adalah memilih bumbung kosong. Memilih bumbung kosong bukan sekadar tindakan teknis; ia adalah pernyataan politik, bentuk protes yang jelas bahwa rakyat menolak tunduk pada sistem yang tidak sehat.
Memilih kotak kosong berarti rakyat tidak bersedia memberi legitimasi kepada calon tunggal yang diusung oleh elite.
Ini bukan tentang menolak calon secara personal, tetapi tentang menolak sistem yang melanggengkan kekuasaan sekelompok elite dan mengesampingkan kepentingan rakyat. Rakyat tidak ingin dipaksa untuk memilih kandidat yang hanya menjadi boneka dari kekuatan yang lebih besar di balik layar.
Mempertahankan Substansi Demokrasi
Perlawanan rakyat melalui bumbung kosong adalah langkah penting dalam mempertahankan substansi demokrasi kita. Jika partai-partai politik terus memaksakan kehendaknya, maka rakyat harus menjadi garis pertahanan terakhir dalam mempertahankan demokrasi.
Baca juga: Krisis Moral Anak Muda, Dosa Siapa?
Apa yang dilakukan oleh elite saat ini adalah upaya untuk mematikan oposisi, mengendalikan wacana publik, dan mengekalkan kekuasaan mereka dengan membungkam suara-suara yang berbeda. Saat rakyat hanya diberi satu pilihan, itu bukan demokrasi. Itu adalah tirani yang dibungkus dengan sampul pemilu.
Demokrasi yang sehat lahir dari keragaman pilihan, dari perdebatan ide, dan dari pilihan yang benar-benar bebas.
Waktunya Rakyat Bangkit
Rakyat tidak boleh berdiam diri. Pilihan bungkam adalah pilihan menyerah. Demokrasi kita sedang dirampas, dan perlawanan harus dimulai dari sekarang
Pilih bumbung kosong adalah tindakan perlawanan yang nyata, sederhana, tetapi penuh makna. Ini adalah pesan langsung kepada para penguasa bahwa rakyat tidak akan tunduk pada kekuasaan yang memaksakan kehendaknya.
Tidak ada lagi waktu untuk diam. Saat kekuasaan menutup semua jalan, maka rakyat harus membuka jalan baru. Memilih bumbung kosong adalah pilihan rasional dalam situasi ini. Ini sama sekali bukan tentang melawan calon tunggal, tetapi melawan sistem yang telah dirusak oleh sekelompok elite.
Jika kita tidak bertindak sekarang, ada kemungkinan lima tahun ke depan akan diisi oleh penderitaan yang lebih dalam. Tapi jika rakyat bersatu dan menolak, masa depan yang lebih baik masih bisa diperjuangkan. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni