Cerpen

Sepeda Pertamaku

×

Sepeda Pertamaku

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Cerpen Sepeda Pertamaku
Ilustasi cerpen Sepeda Pertamaku (Al/Grok X)

Kedatangan Bude Lusiana bersama Pakde Hinoke menjadikan mimpiku menjadi kenyataan. Mimpiku memiliki sepeda BMX merah yang selama ini hanya ada di alam mimpi benar-benar terbukti.

Cerpen oleh Bekti Sawiji, ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lumajang Jawa Timur

Tagar.co – Aku menjalani masa kecilku di era 1980-an. Pada masa itu, banyak temanku telah memiliki sepeda. Dengan begitu mereka bisa membuat acara sepedaan pada hari Ahad pagi.

Bahkan, saat liburan sekolah mereka melakukan kegiatan ini setiap hari, pagi, dan sore. Aku membayangkan betapa bahagianya teman-temanku itu. Andai aku bisa seperti mereka.

 Mereka bisa bersenda gurau sambil menggowes sepeda ke tempat yang jauh dari rumah, bertualang ke tempat-tempat baru dan asing. Kemudian, mereka kembali lagi dan melanjutkan bermain dengan anak-anak yang lain.

Keluargaku bukanlah keluarga yang berada, bahkan bisa dikatakan jauh dari sejahtera. Ayahku hanyalah penjual obat keliling. Ibuku membantu ayah untuk mendapatkan penghasilan dengan cara membuat dan menjual kue gorengan.

Kami anak-anaknya juga tidak ketinggalan. Aku dan kakak berjualan kue itu keliling kampung. Bahkan di tahun 1982, saat masih berusia 7, aku sudah berjualan es manisan. Saat itu aku baru saja kelas II SD.

Baca juga: Ayah

Sepeda adalah impian setiap anak saat itu, terutama impianku dan anak-anak yang senasib denganku. Bagi keluarga yang beruntung, memiliki sepeda bukanlah impian, tetapi kenyataan. 

Aku harus puas melihat mereka bermain sepeda dan berseliweran di jalan depan rumah. Kesedihan karena tidak dapat memiliki sepeda selalu kupendam dalam hati. Saat keinginan untuk memiliki sepeda itu memuncak, rasa sedih itu memenuhi dadaku, menyesakkan.

Suatu ketika, aku pernah menitikkan air mata karena saking inginnya mememiliki sepeda. Cerpen ini kutulis dengan beberapa kali jeda, bahkan jeda sangat panjang, berjam-jam hingga melewati batas hari.

Ini terjadi karena aku harus mengontrol emosiku agar tidak larut dalam kesedihan masa lalu, sedih tidak memiliki sepeda.


Suatu malam, aku memberanikan diri menyampaikan keinginan ini ke orang tuaku. Entah ya, meskipun saat itu aku masih sangat muda, aku memahami kondisi rumah tangga ayah dan ibu.

Aku mengerti jika secara ekonomi kami tidak mampu dan bahkan seperti sulit untuk meneruskan hidup. Aku juga sangat paham jika membeli sepeda adalah hal yang sangat mustahil bagi ayah saat itu. Tetapi hasrat yang sangat kuat memaksaku untuk mengungkapkannya.

Baca Juga:  Tere Liye, Penulis Misterius Serbabisa yang Kritis pada Pemerintah

“Yah, aku ingin dibelikan sepeda,” kataku malam itu.

“Ohya? Baiklah, nanti kalau ada rezeki Ayah belikan,” jawab ayah yakin.

“Benarkah, horeee…..!” aku beranjak dari duduk dan berdiri kegirangan.

Baca juga : Pemilihan Ketua RT

Malam itu aku benar-benar bahagia. Bisa jadi, itu malam terindah yang pernah aku lewati. Aku sudah membayangkan betapa aku akan membawa sepedaku ke mana-mana bersama teman-teman.

Ke tempat-tempat baru yang belum pernah aku datangi. Aku akan pacu sepedaku kencang-kencang, menyalip teman-temanku, lepas satu tangan, lepas dua tangan, dan jumping.

Tak henti aku membayangkan kesenangan yang akan kudapat nanti saat sudah memiliki sepeda. Akupun tertidur dengan khayalan yang memenuhi kepala. Mungkin saat itu aku tertidur dalam keadaan tersenyum.

***

Lama-lama aku menyadari bahwa perkataan ayah itu hanyalah janji, sampai akhirnya aku lupa.

Aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Membantu ibu berjualan kue. Saat menjajakan kue, inilah aku sering merasa sedih. Selain ingat kembali akan janji dibelikan sepeda yang tidak kunjung dipenuhi, aku juga sedih melihat teman-temanku bermain dengan gembira.

Mereka mendapatkan hak anak yang sebenarnya, bahagia, bermain, makan, sekolah, gembira lagi dan bermain lagi. Saat mereka bermain, aku berjualan. Mana bahagiaku sebagai anak-anak? Alih-alih mendapatkan kebahagiaan seperti mereka, aku berjualan, menimba air, mencuci piring, belajar, berjualan lagi, menimba air, dan begitu seterusnya.

Itulah yang menyedihkan. Aku baru bisa bergabung dengan teman-teman jika diizinkan oleh ayah atau ibu dengan catatan aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu. Begitu mendapat izin bermain, aku bagaikan burung yang terbang bebas, gembira bermain bersama teman-teman.

Aku sangat suka bermain permainan tradisional yang seru-seru seperti gobak sodor, tembak-tembakan, mobil-mobilan, dan banyak lagi.

Baca jugaJangan Biarkan Aku Kufur Nikmat


Roda dunia berputar. Kadang orang yang bahagia tidak selalu bahagia. Begitu pula yang sedih, ada saatnya bagi mereka untuk menikmati kebahagiaan. Ini terjadi padaku juga.

Keluarga saya kedatangan Bude Lusiana, kakak perempuan ayah yang lama tinggal di Belanda. Dia datang bersama suaminya Pakde Hinoke dan putri bungsunya, Kak Mooike.

Baca Juga:  Lubang Kenikmatan dan Kesengsaraan

Kedatangan mereka memberikan rezeki yang tidak terduga. Mereka menginap satu pekan di rumah kecil kami. Bude meminta ayah menyewa tukang masak.

Setiap hari kami makan yang enak-enak. Sebelum mereka pulang, ayah diberi sejumlah uang oleh bude. Aku dan kakak dibelikan sepeda. Kakak memilih sepeda jengki warna merah. Aku memilih sepeda BMX warna merah juga.

Baru sebuah sepeda membuat hidupku berubah. Aku sudah merasa menjadi keluarga kaya. Aku menikmati kebahagian yang tiada terperi saat itu. Untuk sementara aku minta berhenti berjualan kue.

Aku lebih sering menghabiskan waktu bermain dengan sepeda baruku bersama teman-teman. Beberapa pecan ayah tidak berjualan obat keliling. Rupanya, kami menikmati uang pemberian bude yang jumlahnya entah, sampai akhirnya uang itu menipis dan habis.

Sesudah itu, kehidupan berubah lagi. Ekonomi keluarga mengalami penurunan. Ayah mulai melirik sepeda jengki merah milik kakak. Sepeda yang sehari-hari dipakai kakak ke sekolah SMP itu akhirnya digadaikan.

Ibu yang membawanya ke pegadaian di kota. Pulang dari kota Ibu membawa sejumlah uang hasil menggadaikan sepeda. Kemudian uang itu digunakan untuk memenuhin kebutuhan hidup sehari-hari.

Kakak tampak bersedih, tetapi rupanya tidak terlalu lama. Kakak cepat melupakan sepedanya. Sebaliknya, aku takut suatu ketika sepedaku bernasib sama.

Dari ibu, aku tahu istilah pegadaian serta sistem kerjanya saat itu. Yang aku pahami bahwa jika sepeda itu belum bisa ditebus, setiap dua pekan sekali ibu harus menyetorkan bunga ke pegadaian.

Baca jugaSaat sang Cerpenis Stres

Jika dalam kurun waktu tertentu tidak ditebus juga, maka sepeda itu akan dilelang. Saat itulah aku mengerti istilah lelang, karena kosa kata itu belum pernah ku dapat di sekolah.

Selanjutnya kosa kata lelang justru menghantuiku. Akhirnya, yang terbayang di kepalaku kejadian juga. Sepeda kakak dilelang! Tidak ada harapan lagi bagi kakak untuk memiliki sepeda.

Kami pun mulai bekerja lagi. Ayah bekerja lagi tetapi tidak membawa pulang hasil yang cukup, meskipun tidak banyak. Ibu memulai berjualan kue. Aku dan kakak juga demikian. Meski masih memiliki sepeda BMX, aku harus membantu ibu berjualan kue.

Ternyata, hidup tidak mudah. Penghasilan kami yang terkumpul tidak bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-hari. Aku melihat gelagat yang tidak mengenakan hati akhir-akhir itu. Pernah aku mendengar ayah mengutarakan niatnya untuk menggadaikan sepedaku.

Baca Juga:  Solar Sopir

Aku tidak berani protes. Aku menjalani hari dengan hati yang cemas. Perasaan kalut dan galau memenuhi hatiku. Apa jadinya jika sepeda BMX ku benar-benar digadaikan dan ayah tidak mampu menebusnya?

Bayangan kehilangan barang kesayangan selalu menghantui malamku sebelum tidur. Pegadaian menjadi hantu yang menakutkanku. Kalau dulu aku pernah tertidur dalam keadaan tersenyum. Malam itu, aku tertidur dengan pipi basah karena banjir air mata. Aku sangat sayang sepedaku. Aku tidak mau ditinggalkan oleh dia.

Siang itu, hantu pegadaian itu benar-benar menampakkan diri sebagai kenyataan. Sepulang sekolah, aku tidak lagi melihat sepeda kesayanganku yang biasa ku parkirkan di ruangan tengah.

Buru-buru aku berlari ke halaman belakang rumah, berharap kalau-kalau  ayah memindahkan BMX itu setelah mencucinya di sumur tetangga. Nihil, di belakang rumah juga tidak ada. Dengan mata berkaca-kaca, aku memanggil ibu yang ada di kamar bersama ayah.

Baca juga: Ayah Hampir Menjadi Perampok

“Ibu, Ibu…,” panggilku setengah berteriak.

“Ya….,” ibu keluar dan menuju ke arahku.

“Ke mana sepeda BMXku, Bu?” tanyaku tidak sabar dengan warna suara agak parau menahan tangis.

“Nak, BMX mu ada di pegadaian,” jawab ibu, “Jangan khawatir, nanti kalau ada rezeki, ibu akan menebusnya kembali.”

Ibu tampaknya akan memelukku tetapi aku keburu berlari masuk ke kamar. Aku menangis sambil tengkurap di atas kasur. Aku tidak mau makan dan menghabiskan siang hingga soreku di situ.

Setelah tangisku reda, aku mandi dan makan malam bersama kakak. Di meja makan ayah dan ibu berceramah bergantian tentang kondisi perekonomian keluarga juga janji-janji untuk menebus sepeda BMX kesayanganku.

Baca juga: Pita Suaraku Rusak

Aku mengerti itu semua adalah janji-janji yang menghibur. Aku menduga tidak akan memiliki sepeda lagi. Terbukti, hingga SMP dan SMA aku tidak pernah lagi memiliki sepeda. Padahal saat SMP aku sangat membutuhkan sepeda untuk ke sekolah yang berjarak 2 km dari rumah. Aku harus berjalan kaki selama 3 tahun. (#)

Lumajang, 28 September 2024

Penyunting Ichwan Arif