Antara pembelajaran dan perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS): Pengalaman di bagian mata.
Tagar.co – Istilah “perundungan” atau “bullying” mungkin baru viral akhir-akhir ini, terutama setelah muncul kasus-kasus yang melibatkan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Saya pribadi mengenal istilah ini belakangan, meskipun saya sudah menempuh pendidikan PPDS di bagian Ilmu Kesehatan Mata (IKM) sejak tahun 1999.
Saat saya merenungkan kembali pengalaman selama menjalani pendidikan, saya menyadari bahwa mungkin saya juga pernah mengalami situasi yang menyerupai perundungan. Hanya saja, rasanya jauh lebih ringan dibandingkan kasus-kasus yang saat ini viral.
Baca juga: Lagi Viral, Apa dan Bagaimana Sebenarnya Program Pendidikan Dokter Spesialis
Sebagai junior, kami sering mendapat tugas-tugas administratif yang tak jarang terasa berada di luar lingkup pendidikan medis. Misalnya, menulis jadwal, mengingatkan senior tentang tugas mereka, atau menyiapkan laporan pagi. Pada saat itu, saya melihat ini sebagai bagian dari rutinitas junior yang membantu kelancaran departemen.
Meskipun tidak selalu berkaitan langsung dengan pendidikan klinis, tugas-tugas ini sebenarnya juga bagian dari pembelajaran. Pembelajaran tentang disiplin dan tanggung jawab dalam dunia kedokteran, yang memang bersifat teoritis sekaligus praktis.
Magang, Penting!
Dalam dunia medis, pendidikan praktis itu mirip seperti magang. Sebagai junior, kita harus “mengintil” senior yang lebih berpengalaman untuk belajar. Salah satu contohnya adalah ketika kami mulai belajar memeriksa pasien.
Meskipun kami sudah memahami teori, praktik langsung di lapangan dengan bimbingan senior sangat penting. Apalagi ketika belajar melakukan operasi untuk pertama kalinya.
Tidak cukup hanya dengan teori; proses belajar harus bertahap. Dimulai dari melihat video atau sekarang mungkin bisa lewat YouTube, lalu melihat senior melakukan operasi, hingga akhirnya berkesempatan melakukannya sendiri dengan pengawasan.
Baca juga: Etika dan Kekuasaan, Pengalaman Dokter Muda Ujian Psikiatri
Suasana saat “mengintil” senior cukup unik. Biasanya, sebelum mengikuti senior ke ruang operasi, saya selalu meminta izin, “Dokter, boleh saya melihat operasinya?”
Tentu boleh! Senior seringkali memberikan nasihat seperti, “Kamu harus paham betul tentang operasi ini. Apa indikasinya, prognosisnya? Jangan sampai kamu tidak mengerti.”
Ada rasa tegang, tetapi juga dorongan untuk terus belajar. Terkadang, senior akan dengan tegas berkata, “Kalau tidak tahu, bisa-bisa kamu disuruh keluar dari ruang operasi.”
Itu membuat kami semakin terpacu untuk mempersiapkan diri dengan baik. Semakin bersemangat.
Senior, Terima Kasih!
Hal yang paling terasa adalah saat kami mulai menjalani operasi dengan bimbingan senior. Operasi katarak, misalnya, adalah salah satu operasi yang paling sering dilakukan di bagian mata. Ketika terjadi komplikasi seperti ruptur kapsul posterior atau prolaps iris, perdarahan, prolaps vitreus, dan lain-lain yang bisa terjadi sewaktu-waktu durante operasi, maka senior yang mendampingi berperan besar dalam membantu mengatasi situasi tersebut.
Pada saat itu, saya merasakan betapa pentingnya bimbingan dari senior. Dalam suasana yang tegang, kehadiran mereka memberikan rasa aman, memastikan operasi berjalan dengan sukses.
Momen-momen seperti ini mengajarkan kami bahwa sikap hormat kepada senior bukanlah sekadar formalitas, tetapi juga bentuk penghargaan atas pengetahuan dan pengalaman yang mereka bagikan. Terlebih beliau adalah dosen, guru yang senantiasa setia membimbing kami sampai lulus menjadi dokter spesilais mata.
Bagian dari Proses
Namun, saya juga tidak memungkiri bahwa beberapa senior memiliki sikap yang lebih keras. Ada yang tegas, temperamental, dan selalu tampak “mengerjai” yunior. Beberapa rekan mungkin merasa ini sebagai bentuk perundungan. Saya sendiri, berdasarkan pengalaman, melihatnya sebagai bagian dari dinamika pendidikan medis.
Sebagai seseorang yang pernah tinggal di asrama mahasiswa di Blauran, Surabaya, saya sudah terbiasa dengan pola interaksi senior-junior yang serupa. Di asrama, selama tiga bulan pertama, penghuni baru diwajibkan mengerjakan berbagai tugas-tugas seperti membersihkan kamar mandi, membeli kebutuhan harian atau melayani kebutuhan harian asrama bilkhusus senior, terutama ketika menjadi pengurus harian dan itu harus mau.
Baca juga: Kekuasaan dan Etika, Hikmah dari Ujian Calon Dokter
Setelah tiga bulan, barulah kami dianggap sebagai penghuni penuh. Hal-hal semacam ini merupakan bagian dari pembinaan mental yang mendewasakan. Di dunia kerja, hal semacam ini juga terjadi, meskipun mungkin dalam bentuk yang berbeda.
Kembali ke dunia PPDS, khususnya di bagian mata, saya merasa bahwa suasananya masih dalam batas wajar dan justru memberi banyak manfaat. Pendidikan kedokteran spesialis mata terasa lebih tenang dibandingkan dengan beberapa bagian lain yang saya dengar, seperti bagian obstetri dan ginekologi (obsgyn), di mana ada cerita bahwa yunior harus membuat kopi untuk senior atau melakukan hal-hal lain di luar tanggung-jawab yang berkaitan langsung dengan pendidikan mereka. Namun, sejauh ini tidak ada atau belum ada yang sampai komplain berat.
Hal yang menarik, ketika pertama kali saya masuk di bagian mata. Seorang teman yang sudah lebih dulu menjadi PPDS di sana menyapa saya, “Halo, Jamal. Kamu ngapain masuk ke sini? Ini kandang macan, loh!”
Saya sempat terheran-heran, apakah benar seperti itu? Tapi setahu saya, bagian mata terkenal lebih tenang dan tidak ada kesan terlalu “feodal”. Rupanya agak berbeda dengan cerita-cerita dari bagian lain.
Hikmah Itu
Saya merasa bahwa apa yang dulu mungkin hanya dianggap sebagai tugas rutin, sekarang bisa dilihat dari sudut pandang berbeda dan mungkin dianggap sebagai perundungan. Namun, bagi saya, semua itu adalah bagian dari pembentukan mental dan karakter. Pendidikan dokter spesialis bukan hanya soal menguasai keterampilan medis, tetapi juga membangun ketahanan mental yang diperlukan ketika terjun langsung ke masyarakat.
Pada akhirnya, pendidikan dokter adalah proses panjang yang tidak hanya mengasah kemampuan klinis tetapi juga membentuk pribadi yang tangguh. Setiap pengalaman, baik yang terasa ringan maupun berat, memiliki nilai tersendiri dalam pembentukan profesionalisme kami sebagai dokter.
Semoga kita semua dapat melihat hikmah di balik setiap tantangan yang kita hadapi dalam perjalanan pendidikan ini. Alhamdulillah. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni