Nebeng mendadak populer setelah kata yang semakna dengan numpang itu diucapkan oleh anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep. Benarkah dia hanya nebeng jet pribadi, dan bukan gratifikasi?
Oleh M. Anwar Djaelani
Tagar.co – Di sebulan terakhir, publik ramai mengritisi perjalanan Kaesang Panagrep ke Amerika Serikat (AS). Perjalanan pada 18 Agustus 2024 itu ramai dikritisi karena dia memakai jet pribadi seseorang. Simak, misalnya, judul di Kompas.com 19 September 2024 ini: Heboh Dugaan Gratifikasi Jet Pribadi, Kaesang Jadi “Tamu Tak Diundang” KPK.
Di berita itu, Kaesang mengakui dirinya menumpangi jet pribadi ke AS. Dia katakan, jet pribadi tersebut milik temannya. Dia dan rombongannya hanya numpang atau nebeng.
Banyak yang menolak alasan nebeng itu. Salah satunya, ada pada berita 17 September 2024 di https://rmol.id ini: Ubedilah Badrun: Alasan Kaesang Nebeng Jet Pribadi Benarkan Ada Gratifikasi. Kata Ubedilah Badrun: “Apakah kalau Kaesang bukan anak presiden, bukan adik Gibran, dan bukan adik ipar Bobby, lalu pemilik jet akan memberikan tebengan?”
Sekilas Arti
Apa makna nebeng? Kamus menulis, nebeng adalah: ”Ikut serta (makan, naik kendaraan, dan sebagainya) dengan tidak usah membayar” (https://kbbi.web.id/nebeng).
Apa gratifikasi? KPK menulis, menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001, gratifikasi adalah: Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik (https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/hukum/website/mengenal-gratifikasi).
Lalu, bagaimana dengan masalah Kaesang? Tulisan ini tidak secara khusus akan menelaahnya. Hanya saja, bermanfaat kiranya jika kita buka buku berjudul “Benang Tipis antara Hadiah dan Suap”.
Tentang Hadiah
Suap-menyuap sangat dilarang Islam. Tetapi, ada yang mencoba menyiasati yaitu dengan melabelinya sebagai hadiah. Bagaimana perspektif Islam atas fenomena itu?
Buku yang disebut di atas (terbitan 2006), menarik. Buku ditulis Syaikh Ahmad Muhammad Abdullah Ath-Thawil. Dengan tebal 172 halaman, buku ini berisi empat bab dan cukup lengkap mengurai masalah relasi hadiah dan suap.
Bab pertama memotret posisi hadiah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dapat dijelaskan, bahwa hadiah adalah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain untuk mempererat hubungan serta untuk lebih menumbuhkan cinta dan kasih sayang.
Baca juga: Agak Laen, Nebeng Jet Pribadi ala Kaesang Pangarep
Aktivitas (saling) memberi hadiah termasuk perbuatan yang disukai dan dianjurkan. Hadiah dapat diberikan ke semua lapisan sosial, kaya atau miskin (h.21). Namun demikian, memberi hadiah itu lebih utama jika ditujukan kepada keluarga sendiri, karib kerabat, dan tetangga terdekat.
Nabi Muhammad Saw menerima hadiah dan suka membalasnya (dengan yang lebih baik). Bagi yang tak memiliki sesuatu untuk membalasnya, hendaklah dia memuji si pemberi dan berdoa semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.
Nabi Muhammad Saw menerima hadiah, kecuali pada keadaan-keadaan tertentu. Misalnya, Nabi Muhammad Saw menolak hadiah yang berasal dari seseorang yang bermotifkan mengharap (bahkan menuntut) balasan yang lebih banyak. Jadi, Nabi Muhammad Saw menolak hadiah jika dia khawatir akan ada fitnah yang disebabkan olehnya (h.38).
Soal Hukum
Sebagian ahli hukum Islam membagi tiga tingkatan dalam masalah hadiah. Pertama, hadiah yang berasal dari orang dengan posisi sosial-ekonomi yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Ini, bentuk kedermawanan dan kebaikan yang tak mengharapkan balasan. Kedua, hadiah yang berasal dan tertuju kepada orang yang setaraf. Ketiga, hadiah berasal dari yang posisi sosial-ekonominya lebih rendah ke orang yang tinggi. Hadiah semacam ini menuntut adanya balasan. Si pemberi bermaksud mendapatkan balasan atas hadiah tersebut (h.44-45).
Di bab ketiga, lebih rinci lagi penguraiannya, yaitu membahas “Hadiah yang Diberikan karena Faktor Jabatan”. Dikupas, soal: 1). Hadiah kepada hakim. 2). Hadiah kepada penguasa. 3).Hadiah kepada Wali atau Amir. 4). Hadiah kepada Mufti 5). Hadiah kepada pengajar. 6). Hadiah kepada pegawai umum.
Pada butir 3) di atas, ada kisah yang patut kita jadikan pelajaran. Umar bin Abdul Azis (dalam sejarah Islam, disebut-sebut sebagai khalifah terbesar kelima setelah Khulafaur-Rasyidin) diketahui menolak hadiah yang ditujukan kepadanya.
Lalu, salah seorang sahabatnya bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau tidak menerima hadiah, padahal dulu Rasulullah Muhammad Saw menerima?”
Umar bin Abdul Azis menjawab: “Sesungguhnya pemberian yang ada pada masa Rasulullah Muhammad Saw adalah hadiah, tetapi pemberian itu kini telah menjadi suap”.
Dengan jawaban itu, Umar bin Abdul Azis mengisyaratkan bahwa situasi dan kondisi telah sedemikan berubah. Kini, orang yang memberi hadiah menuntut hal-hal yang tidak halal dari orang yang diberi hadiah (h.111).
Umar bin Abdul Azis telah memilih jalan takwa. Sikap takwa mensyaratkan kehati-hatian, agar kita sekali-kali tak melanggar syariat Allah. Hanya dengan sikap seperti itulah, kita insya Allah bisa selamat ketika berada di situasi yang korupsi telah menjadi budaya. Hal ini karena korupsi memiliki banyak wajah. Ada begitu banyak modus korupsi, dari yang tersamar sampai yang telanjang.
Ibrah Kisah
Hal yang ”menarik” jika memilih yang tersamar, sebab kerap dilunakkan dengan istilah hibah. Padahal, hadiah atau hibah itu bermakna sama yaitu pemberian. Dalam praktiknya kini, hadiah (sebagian besar?) justru berasal dari pihak yang berposisi ”di bawah” ke yang ”berkedudukan di atas”: Misalnya dari pegawai ke kepala kantor, dari karyawan ke direktur, dari yang dipimpin ke pemimpin.
Dalam konteks ini, relevan jika kita renungkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim, berikut ini: Ibnu al-Latiibah bertugas mengumpulkan zakat. Ketika ia datang membawa zakat yang dikumpulkannya, ia berkata: “Ini untuk kalian dan yang ini hadiah milikku.”
Mendengar hal itu, Rasulullah Muhammad Saw lalu mengoreksi: “Jika ia benar, mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibunya sehingga ia diberi hadiah? Demi Allah, tidak ada seorangpun dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa hak kecuali ia bertemu Allah sambil membawa korupsinya itu pada hari kiamat.” Intinya, Nabi Muhammad Saw menyadarkan kita bahwa tak mungkin si pejabat negara itu akan menerima hadiah jika dia sedang tidak menjabat.
Kisah dalam riwayat di atas sangat relevan untuk terus kita gaungkan. Tujuannya, agar semua orang sadar! Bahwa, hadiah dari seseorang kepada pihak yang sedang ”menggenggam” urusan kita, tak boleh dilakukan.
Adil, Adilah!
Setelah pembahasan mendalam, penulis buku lalu menutup kajiannya dengan beberapa kesimpulan, antara lain, adalah: 1). Hadiah yang diberikan seorang Muslim ke saudaranya memang disyariatkan Islam. Itu, dapat menumbuhkan rasa cinta dan menguatkan kasih-sayang. 2). Memberi hadiah hendaknya lebih diutamakan kepada keluarga, karib kerabat, dan tetangga. 3). Hadiah untuk mendapatkan manfaat dengan melalui kedudukan dan menyalahgunakan jabatan untuk mendapatkan apa-apa yang bukan haknya, itu pada hakikatnya adalah suap.
Kita dilarang menyuap, menerima suap, dan menjadi perantara keduanya. Maka, hendaklah kita takut terutama ketika suap disamarkan sebagai hadiah.
Bagaimana posisi Kaesang, yang nebeng pesawat teman ke AS? Silakan timbang sendiri. Silakan ukur sendiri. Semoga kita adil dalam ”membaca” masalah. (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni