SejarahUtama

40 Tahun Tragedi Tanjung Priok, ketika Aspirasi Dijawab dengan Peluru dan Penjara

×

40 Tahun Tragedi Tanjung Priok, ketika Aspirasi Dijawab dengan Peluru dan Penjara

Sebarkan artikel ini
Hari ini, 12 September 2024, tepat 40 tahun terjadinya tragedi berdarah Tanjung Priok. Peristiwa memilukan itu bermula dari protes atas penerapan asas tunggal Pancasila dan krisis ekonomi tahun 80-an. Aparat bertindak represif dan brutal.
Salah satu foto yang menujukkan suasana dalam tragedi Tantung Priok (Foto Internet)

Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984, hari ini tepat 40 tahun. Peristiwa memilukan itu bermula dari protes atas penerapan asas tunggal Pancasila dan krisis ekonomi tahun 80-an. Aparat bertindak represif dan brutal.

Tagar.co – 12 September 1984, darah tumpah di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sejumlah rakyat tidak berdosa tewas, luka-luka ringan dan berat. Beberapa orang yang dianggap sebagai tokoh di balik kerusuhan itu ditangkap dan dipenjara. 

Amnesty International Indonesia, Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memandang bahwa kasus Tanjung Priok masih harus terus diingat dan diperjuangkan karena korban masih belum mendapatkan hak atas kebenaran dan hak atas pemulihan (reparasi) yang adil.

Peristiwa Tanjung Priok 1984, merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang di dalamnya ada pembunuhan secara kilat, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa. 

Baca juga: September Hitam

Keempat kejahatan ini merupakan kejahatan sebagaimana kejahatan yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan laporan Komnas HAM, peristiwa ini menimbulkan korban sebanyak 79 orang; yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 23 orang.

Mengutip Kontras.org pengadilan HAM ad hoc Peristiwa Tanjung Priok 1984 berlangsung di Jakarta mulai tahun 2003. Pada tingkat pertama, pengadilan menjatuhkan vonis bersalah kepada 12 terdakwa dan memerintahkan negara untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban serta keluarga korban. 

Namun, keputusan tersebut dibatalkan dalam tingkat kasasi, yang mengakibatkan ke-12 terdakwa dinyatakan bebas. Akibatnya, hak pemulihan bagi para korban tidak terpenuhi, karena Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 mengharuskan mekanisme pemulihan seperti restitusi atau kompensasi bergantung pada keputusan pengadilan.

Setelah membebaskan semua terdakwa, negara membiarkan nasib korban Tanjung Priok tergantung tanpa mendapatkan keadilan, pengungkapan kebenaran, atau pemulihan baik materiil maupun immateril.

Suasana di Tanjungpriok, Jakarta Utara, pada hari Kamis, 13 September 1984, paska terjadinya kerusuhan yang disertai aksi bakar-membakar pada Rabu malam, 12 September. Sejumlah orang dilaporkan meninggal dalam peristiwa ini. (Kompas/Bambang Sukartiono)

Kronologi Tragedi Tanjung Priok

Seperti dilaporkan Kompaspedia.kompas.id, memasuki tahun 1980-an, perekonomian Indonesia yang dihantam oleh krisis akibat anjloknya harga minyak dunia membuat aktivitas di Tanjung Priok ikut terganggu. 

Pada tahun 1982 harga minyak dunia turun dari US$ 34,53 menjadi US$ 29,53 per barel. Pemerintah pun kemudian menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 1982 melalui Keputusan Presiden No. 1/1982. Mulai 4 Januari 1982 rata-rata harga BBM di Indonesia naik 60 persen dari harga semula.

Hal ini kemudian membuat warga masyarakat menjadi panik sehingga berujung pada naiknya harga-harga barang. Tidak hanya itu beberapa tarif listrik, angkutan umum, dan lain sebagainya ikut naik juga imbas dari harga BBM yang melambung tinggi. Selain itu, pemerintah juga membatalkan berlabuhnya 200 kapal setiap hari sehingga menurunkan daya serap tenaga kerja di Pelabuhan Tanjung Priok.

Tingkat inflasi Indonesia juga semakin meningkat sejak saat itu. Pada tahun 1982 inflasi Indonesia hanya 9,06 persen, namun pada tahun 1983 naik menjadi 13,52 persen dan tahun 1984 menjadi 15,35 persen. 

Sementara itu angka pemutusan hubungan kerja mengalami peningkatan tiga kali lipat dari 15.000 (1983) menjadi 45.000 (1984). Ini menyebabkan beban hidup masyarakat semakin berat.

Tanjung Priok yang berada di wilayah Jakarta Utara merupakan salah satu sektor perekonomian paling penting di Indonesia. Hal ini membuat wilayah tersebut memiliki demografi penduduk yang cukup padat karena sebagian besar warganya juga bekerja di pelabuhan Tanjung Priok. Kebanyakan warga yang tinggal di Kecamatan Koja merupakan pendatang dari berbagai macam etnis. Mereka mengais nafkah di Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pedagang kecil, penarik becak, atau berbagai pekerjaan kasar lainnya.

Nurhayati Djamas dalam tesis magisternya yang berjudul Behind the Tanjung Priok Incident, 1984: The Problem of Political Participation in Indonesia menjelaskan bahwa tekanan ekonomi akibat krisis pada tahun 1980-an menyebabkan warga Tanjung Priok bersikap radikal.

Banyak dari mereka kemudian mengkritik pemerintahan Orde Baru dalam ceramah-ceramah di masjid. Mereka tidak hanya mengkritik pemerintah dalam mengatur perekonomian, namun juga terhadap kebijakan asas tunggal yang membuat kelompok-kelompok Islam semakin tersingkirkan. 

Selain dalam bentuk ceramah di masjid, masyarakat juga mengkritik dengan cara menempelkan pamflet-pamflet di masjid. Salah satunya adalah pamflet yang ditempel di Musala Assa’addah, Kecamatan Koja, Tanjung Priok. 

Pemasangan pamflet tersebut mengundang reaksi aparat keamanan karena isinya yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pada 7 September 1984, aparat Babinsa Koja Sersan Satu (Sertu) Hermanu mendatangi musala yang dindingnya tertempel pamflet-pamflet.

Ketika itu Hermanu meminta kepada Ahmad Sahi selaku pengurus musala untuk mencopot semua pamflet. Hermanu juga melarang masyarakat setempat untuk menempel pamflet-pamflet lagi yang isinya menggiring opini masyarakat.

Baca Juga:  K.H. Abdullah Syafi’i, dari Santri ke Ulama

Esok harinya, Sertu Hermanu kembali mendatangi Musala Assa’addah dan masih menemukan pamflet-pamflet yang tertempel di dinding musala. Dia pun marah dan mengambil pistolnya sambil menuding-nuding warga. Banyak warga ketika itu juga menceritakan bahwa Hermanu masuk ke musala hingga ke podium dan menggeledah untuk mencari pamflet-pamflet tersebut. Menurut keterangan warga, Hermanu masuk ke dalam musala dengan tidak melepaskan sepatu larsnya.

Hal ini membuat warga setempat marah dan meminta Hermanu untuk meminta maaf kepada pengurus masjid dan seluruh umat Islam. Melihat kondisi semakin tidak kondusif pada 10 September 1984 pengurus musala, Syarifufin Rambe dan Ahmad Sahi mencari Hermanu untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai.

Sertu Hermanu dengan ditemani oleh Sertu Rahmad kemudian bersedia untuk datang dan berdialog dengan pengurus musala. Mendengar permintaan masyarakat agar meminta maaf atas perbuatannya, Hermanu menolak dengan alasan bahwa ia adalah petugas yang wajib menjaga keamanan dan ketertiban wilayah tersebut. Hermanu pun naik pitam karena terus didesak, namun pengurus musala meminta Hermanu untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai tanpa kekerasan.

Keberadaan Hermanu yang diketahui oleh warga membuat mereka kemudian mendatangi Hermanu secara paksa. Masyarakat yang marah terhadap Hermanu semakin kacau karena ingin menangkap Hermanu. Bahkan sepeda motor milik Hermanu pun dibakar oleh massa. Kondisi yang semakin kacau ini membuat pertemuan tersebut dibubarkan.

Namun, tiba-tiba datang aparat Kodim 0502 Jakarta Utara. Mereka menangkap empat orang warga yang hadir saat pertemuan tersebut, di antaranya Syarifufin Rambe dan Syafwan bin Sulaeman. Kemudian Mohammad Noor ditangkap karena membakar sepeda motor milik Hermanu. Sedangkan Ahmad Sahi ditangkap selaku pengurus musala yang dituduh sebagai penggerak massa.

Keesokan harinya sejumlah warga Tanjung Priok tidak terima dengan penangkapan empat orang tersebut secara sepihak. Beberapa warga setempat dengan dipimpin oleh Amir Biki seorang pimpinan dari Forum Studi dan Komunikasi 66 mendatangi Kodim 0502 meminta untuk membebaskan empat warga tersebut. Namun, usaha mereka tidak membuahkan hasil karena pihak militer beranggapan bahwa keempat orang tersebut berbahaya apabila dilepaskan.

Pada 12 September 1984, pukul 10.00, Amir Biki diundang secara resmi oleh Pangdam Jaya Jenderal Try Sutrisno. Pertemuan tersebut membicarakan tentang kebijakan asas tunggal yang oleh pemerintah harus diterapkan dalam masyarakat sehingga dapat mengendalikan situasi di Tanjung Priok. Biki juga meminta kepada Try Sutrisno untuk membebaskan empat warga Tanjung Priok yang ditahan. Namun, pertemuan selama dua jam tersebut  tidak membuahkan hasil.

Tuntutan warga Tanjung Priok yang tidak dikabulkan kemudian mengadakan ceramah yang diberikan oleh Amir Biki, Sapirin Maloko SH, dan M. Nasir pada 12 September 1984 pukul 19.30. Kegiatan tersebut kemudian diisi dengan ceramah-ceramah yang menyinggung penangkapan empat warga Tanjung Priok. Mereka juga menyinggung kelompok Islam yang semakin dikesampingkan oleh pemerintah Orde Baru. Pengeras suara yang dipasang pun dikeraskan volumenya dan mengarah langsung ke Markas Polres Jakarta Utara.

Pada pukul 22.00, markas aparat keamanan menerima telepon dari Amir Biki yang mengancam akan melakukan pengerusakan apabila empat orang warga Tanjung Priok tidak dibebaskan. Amir Biki juga meminta agar keempat orang tersebut diserahkan kepada massa peserta ceramah. Tidak berselang lama aparat keamanan juga menerima telepon dengan permintaan yang sama. Namun, dari dua permintaan tersebut aparat tidak mengabulkannya.

Hal ini kemudian membuat warga berbondong-bondong mendatangi markas Kodim 0502 sekitar pukul 23.00WIB. Lebih kurang dari 1.500 orang beramai-ramai meminta kepada aparat untuk membebaskan warganya. Mereka juga membawa senjata-senjata tajam yang cukup berbahaya.

Ketika warga mulai menuju Kodim 0502 tiba-tiba di depan Markas Polres Jakarta Utara mereka dihadang oleh satu regu Artileri Pertahanan Udara Sedang yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung, di bawah komando Kapten Sriyanto, Kodim Jakarta Utara. Aparat kemudian berusaha untuk membubarkan massa secara persuasif. Namun, situasi semakin tidak terkontrol ketika massa bergerak secara paksa.

Baca Juga:  Kisah Penyamaran Jenderal Soedirman dalam Perang Gerilya

Aparat mulai kewalahan menghadapi massa yang saat itu mulai tidak terkontrol. Mereka maju terus sambil berteriak-teriak dan mengacungkan senjata yang ada di genggamannya. Tembakan ke udara sebagai tanda peringatan tidak menghentikan amukan warga. Aparat mulai menembak ke tanah sehingga banyak dari warga yang terluka kakinya terkena tembakan.

Tidak berselang lama datanglah bantuan dari aparat keamanan dengan menggunakan panser-panser untuk menghalau mereka. Massa yang terdesak kemudian mundur, tetapi mereka sempat membakar mobil, merusak beberapa rumah, dan satu apotek yang berada di dekat situ. Banyak dari warga kemudian lari meninggalkan lokasi dan berlindung di masjid-masjid. Namun, beberapa dari warga yang lari kemudian mengalami penyiksaan dari aparat.

Pada 13 September 1984 pukul 00.00 aparat mulai mengendalikan situasi. Warga yang terluka dan meninggal kemudian dievakuasi ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Aparat militer kemudian melakukan penggeledahan dan penangkapan di sekitar Tanjung Priok. 

Pangab/Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani mengatakan bahwa pemerintah akan menindak tegas kerusuhan yang terjadi di Tanjung Priok dan akan menangkap mereka yang terbukti sebagai dalang peristiwa tersebut. Aparat keamanan mencatat sebanyak 53 orang terluka dan sembilan orang tewas. Selain itu juga terdapat 12 kendaraan bermotor dan tiga rumah termasuk satu apotek yang hangus terbakar.

Komnas HAM mencatat sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat penangkapan. Mereka kemudian ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur, dan Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimanggis.

Kronologi tragedy Tanjung Priok juga bisa dibaca dalam buku Mihnatul Islam fi Indonesia—yang ditulis ‘Tim Peduli Tapol, 1985’ dan diterjemahkan oleh Mohammad Thalib menjadi Bencana Umat Islam di Indonesia 1980-2000—kerusuhan di Tanjung Priok ini bermula dari cekcok antara Bintara Pembina Desa (Babinsa) setempat dengan warga Tanjung Priok pada 7 September 1984.

Penjelasan tragedi Tanjung Priok versi pemerintah. Didampingi Menteri Penerangan Harmoko (kedua dari kanan), Kepala Polda Metro Jaya Mayjen ( Pol) Soedjoko (kanan) dan Panglima Kodam V Jaya selaku Laksusda Komkamtib Mayjen Try Sutrisno (kiri), Panglima Kobkamtib Jenderal TNI LB MOerdani, Kamis 13 September 1984, memberikan penjelasan kepada pers mengenai peristiwa Tanjung Priok. (Foto Kompas/August Parengkuan)

D

Lembaran Putih

Keterangan Jenderal L.B. Moerdani yang mengumumkan jumlah korban tewas hanya 9 orang diragukan oleh banyak pihak.

Mengutip buku Dari Panggung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan Peristiwa karya Lukman Hakiem (Pustaka Al-Kautsar, 2020), salah satu yang meragukan keterangan itu ialah Kelompok Petisi 50, sebuah kelompok oposisi terhadap rezim Orde Baru Soeharto yang terdiri atas para purnawirawan perwira tinggi tentara, purnawirawan perwira tinggi polisi, politisi sipil, dan aktivis mahasiswa.

Sehubungan dengan Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984 itu, Kelompok Petisi 50 menyelenggarakan pertemuan “Petisi 50 yang Diperluas”, khusus guna membicarakan tragedi berdarah di Tanjung Priok. Pertemuan yang melibatkan beberapa warga negara non-Kelompok Petisi 50 itu dipimpin oleh mantan Panglima Daerah Militer Siliwangi, Letnan Jenderal TNI (Purn) H.R. Dharsono (non-Petisi 50).

Pertemuan menyepakati pembentukan Panitia Kecil untuk mengumpulkan bahan-bahan di sekitar tragedi berdarah Tanjung Priok dan merumuskan sikap terhadap kejadian tersebut Panitia diketuai oleh HR Dharsono dengan para anggota Mr. Sjafruddin Prawira, Slamet Bratanata, Dr. Anwar Harjono, S.H., dan Drs. A.M. Fatwa. 

Pada praktiknya, Letnan Jenderal Marinir (Purn) H. Ali Sadikin dan Marsekal Pertama (Purn) Soejitno Sukimo selalu hadir dalam rapat-rapat Panitia Kecil, sehingga Panitia Kecil dalam praktiknya bukan 5 melainkan 7 orang.

Beberapa orang yang dianggap mengetahui rincian kronologi tragedi berdarah Tanjung Priok diundang dalam rapat Panitia Kecil untuk didengar keterangannya.

Panitia Kecil inilah yang merumuskan dan mengeluarkan Lembaran Putih Peristiwa 12 September 1984 di Tanjung Priok. Menurut Lembaran Putih, kejadian-kejadian yang berlangsung Tanjung Priok sudah diakui sebagai suatu musibah. ”Akan tetapi,” demikian Lembaran Putih, “musibah di dalam musibah itu adalah kesepihakan keterangan yang disiarkan oleh pihak yang berwajib.”

Menurut Lembaran Putih, hanya dengan memperbaiki kesepihakan itulah kita dapat menyadari musibah yang lebih besar dan lebih mendasar yaitu sistem politik dan kondisi masyarakat yang mengantarkan peristiwa berdarah 12 September 1984 di Tanjung Priok

Menurut para tokoh yang menandatangani lembaran Putih, tragedi Tanjung Priok sesungguhnya sekadar penyulur (triger) yang meletakkan ketegangan yang sudah lama membara di bawah permukaan stabilitas semu.

Sebab-sebab keresahan itu, menurut Lembaran Putih dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara dari isi dan jiwa Undang-Undang Dasar (UUD)1945 yang memuncak pada satu paket lima Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang ‘penataan’ kehidupan politik, terutama gagasan asas tunggal Pancasila.

Baca Juga:  Karena Petisi 50 Natsir Gagal Dapat Gelar Dr HC dari Malaysia

Beberapa bulan sebelum peristiwa berdarah di Tanjung Priok Kelompok Kerja Petisi 50 mengumumkan pendiriannya bahwa paket lima RUU yang mengatur kehidupan politik di Tanah Air.

  1. RUU Perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum.
  2. Perubahan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
  3. Perubahan Undang-Undang Partai Politik dan Golongan Karya; 
  4. Referendum; dan
  5. Organisasi Kemasyarakatan

bukan saja bertentangan dengan UUD 1945 tetapi juga menggoyahkan eksistensi negara Republik Indonesia sebagai negara hukum.

Lebih lanjut Lembaran Putih mencatat: “Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa terjadi penyimpangan penguasa dalam pengamalan ketentuan-ketentuan Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam pada itu, rakyat tidak berdaya mengubah keadaan melalui cara yang demokratis. Dengan demikian, musibah 12 September 1984 di Tanjung Priok bukan kejadian yang berdiri sendiri, ia adalah akibat dari sistem yang berlaku.”

Menutup pendiriannya, Lembaran Putih menganjurkan: “Demi keadilan bagi semua pihak, termasuk bagi pemerintah sendiri, sebaiknya dibentuk suatu komisi bebas (independen) untuk mengumpulkan keterangan yang jujur mengenai kejadian September 1984 di Tanjung Priok. Laporan komisi itu harus diumumkan kepada khalayak ramai, supaya semuanya dapat menarik pelajaran daripadanya.”

Lembaran Putih yang dikeluarkan di Jakarta pada 17 September 1984, ditandatangani oleh 22 orang, yaitu: Azis Saleh, H.R. Dharsono, Suyitno Sukirno, Ali Sadikin, Hoegeng, Sjafruddin Prawiranegara, Darsjaf Rahman, Wachdiat Sukardi, Boerhanoeddin Harahap, Abdulrahman Sy, Slamet Bratanata, H.M. Sanusi, Bakri A.G. Tianlean, D. Ch. Suriadiredja, M. Muin, M. Radjab Ranggasoli, M. Amin Ely, Anwar Harjono, A.M. Fatwa, H. Hamzah, Hariandja, N.P. Siregar, dan Sofwan AM.

Tiga Penandatangan Ditangkap

Ketimbang memenuhi anjuran Lembaran Putih, tiga orang penandatangan Lembaran Putih malah ditangkap dan dipenjara. Menteri Perindustrian, Tekstil, dan Kerajinan Rakyat (1966-1968) Ir. M Sanusi dituduh mendalangi dan membiayai peledakan gedung Bank Central Asia (BCA) dan jembatan Metro, Glodok. Generasi pertama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan tokoh Muhammadiyah itu dihukum penjara 19 tahun.

Mantan pejabat di pemerintah provinsi DKI Jakarta yang juga alumni HMI dan Pelajar Islam Indonesia (PII), A.M. Fatwa dihukum 18 tahun. Di era reformasi, sesudah direhabilitasi oleh Presiden BJ Habibie, Fatwa aktif di Partai Amanat Nasional (PAN), terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menjadi pimpinan DPR-RI, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-RI, dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI.

Mantan Pangdam Siliwangi, Letjen TNI (Purn) HR Dharsono dihukum 7 tahun. Baik Fatwa dan Dharsono dituduh merancang sebuah aksi teror dengan menjadikan peristiwa Tanjung Priok sebagai modal.

Ketika membacakan tuntutan terhadap HR Dharsono yang juga mantan Sekretaris Jenderal ASEAN, jaksa menyebut-nyebut akan mengajukan Letnan Jenderal Marinir (Purn) H.Ali Sadikin, Dr. Anwar Harjono, Ir. Slamet Bratanata, dan Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso sebagai terdakwa dalam perkara tersendiri.

Menurut A.M. Fatwa, jaksa yang menuntutnya malah menyebut lebih banyak nama yang akan diajukan sebagai terdakwa dalam perkara tersendiri. Mereka antara lain Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr Boerhanoeddin Harahap, Marsekal Pertama (Purn) Soejitno Sukirno, Mayor Jenderal TNI (Purn) dr. H. Azis Saleh, dan Drs. Radjab Ranggasoli.

Tokoh-tokoh yang namanya sudah disebut-sebut oleh jaksa ternyata di kemudian hari tidak ada satu pun yang diajukan ke pengadilan Patut diduga, betapapun kuatnya, rezim Orde Baru tetap mempertimbangkan komplikasi potitik yang bakal terjadi jika ngotot menyeret tokoh-tokoh populer itu ke pengadilan.

Jangan Terjadi Lagi

Kita berharap semoga sekarang dan di masa datang, tragedi berdarah seperti di Tanjung Priok puluhan tahun silam—ketika aspirasi rakyat dihadapi dengan peluru tajam—tidak terjadi lagi.

Rekaman ingatan akan suasana yang mencekam pada saat itu, juga terdapat pada lagu Iwan Fals yang bercerita tentang harapan kepada anak perempuannya: Annisa. Lagu ini sempat direkam dan siap diedarkan oleh sebuah perusahaan rekaman kondang.

Atas pertimbangan situasi yang tak kondusif, maka oleh pihak produser rekaman lagu itu pun dicoret alias urung diedarkan. Untungnya ada seseorang yang sempat merekam lagu itu dan kemudian menyebarkannya melalui YouTube. 

Di dalam lagu ini juga diceritakan peristiwa meledaknya gudang senjata di markas Marinir Cilandak, Jakarta. Iwan menceritakan tentang suasana Jakarta yang mencekam. “Semua orang takut bahkan buang hajat juga takut,” katanya. (#)

Mohammad Nurfatoni, dari berbagai sumber