Opini

Miskin di Negeri Kaya, Quo Vadis SMK?

×

Miskin di Negeri Kaya, Quo Vadis SMK?

Sebarkan artikel ini
Indonesia kaya akan sumber daya alam. Namun seperti pepatah ‘ayam mati di lumbung padi’, kita miskin di rumah sendiri. Pendidikan SMK memperparah itu?
Ilustrasi bangsa miskin di negeri kaya (IA Grok-X)

Indonesia kaya akan sumber daya alam. Namun seperti pepatah ‘ayam mati di lumbung padi’ kita miskin di rumah sendiri. Pendidikan SMK memperparah itu?

Opini oleh Sujarwa, seorang guru dan aktivis.

Tagar.co – Kebijakan pendidikan yang menitikberatkan lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) untuk langsung bekerja menjadi tanda tanya besar. Ketika mayoritas lulusan diarahkan hanya untuk menjadi tenaga kerja, kita harus bertanya: apakah bangsa ini akan terus tertinggal dan tetap bodoh. Sementara sumber daya alam (SDA) kita dikuasai pihak lain atau luar? 

Akankah peribahasa lama tetap berlaku “ayam mati di lumbung padi” atau kita tetap akan terus menjadi bodoh di negeri kaya?

Indonesia kaya akan SDA. Tetapi apakah kebijakan pendidikan kita memberi peluang bagi generasi muda untuk mengelola kekayaan tersebut? Sayangnya, sistem pendidikan SMK saat ini lebih berfokus untuk menghasilkan pekerja siap pakai untuk industri.

Baca juga: Menjadi Guru Itu Mudah?

Para lulusan didorong untuk mengambil jalan instan, yaitu langsung bekerja, tanpa diberikan dorongan yang cukup besar untuk berpikir mandiri, berwirausaha, atau mengembangkan keterampilan yang bisa membuat mereka mampu mengelola SDA bangsa sendiri. Ini menimbulkan kekhawatiran besar, apakah kita hanya akan menjadi bangsa yang “memiliki” SDA, tetapi tidak akan pernah “menguasainya”?

Kebijakan ini seolah menciptakan siklus ketergantungan. Lulusan SMK yang hanya dilatih untuk bekerja di perusahaan besar—yang banyak di antaranya dikuasai pihak  luar negeri—tidak mendapatkan cukup ruang untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan inovatif.

Baca Juga:  Calon Tunggal Pilkada: Tirani yang Dibungkus Demokrasi

Cerdas dan Berkelanjutan

Padahal, tantangan besar ke depan adalah bagaimana kita bisa mengelola kekayaan alam kita sendiri dengan lebih cerdas dan berkelanjutan. Jika kita terus membiarkan generasi kita hanya menjadi tenaga kerja, SDA kita akan tetap di tangan pihak luar yang lebih siap dan terampil dalam mengelolanya.

Pemerintah harus sadar bahwa mendidik generasi muda yang hanya untuk menjadi pekerja operator tanpa memberikan dorongan lebih banyak dan lebih besar, untuk menjadi inovator atau pengelola mandiri bukanlah solusi jangka panjang. 

Lulusan SMK harus diberi lebih banyak kesempatan untuk berkembang sebagai pelaku ekonomi yang mandiri, yang mampu memanfaatkan SDA negeri ini untuk kemakmuran bangsa, bukan sekadar menjadi tenaga kerja murah di bawah kendali pihak perusahaan luar.

Baca jugaTelur-Telur Partai, Darurat Demokrasi, dan Kekuatan Netizen

Jika kita tidak segera mengubah arah kebijakan ini, maupun paradigma setiap pelaku pendidikan, maka kita akan terus menyaksikan SDA kita dikuasai pihak lain. Sementara generasi muda kita tetap berada di posisi terbelakang—tidak diberi kesempatan untuk berkembang dan menjadi pengelola kekayaan bangsa sendiri. Apakah kita siap membiarkan hal ini terus terjadi? Apakah kita rela melihat bangsa ini terus bergantung pada kekuatan pihak luar, sementara kita hanya menjadi penonton di tanah sendiri?

Pendidikan SMK harus lebih dari sekadar mencetak pekerja. Ia harus mampu mencetak pemimpin, inovator, dan pengusaha yang berani memanfaatkan potensi SDA untuk membangun bangsa. Tanpa perubahan ini, kita hanya akan terus berada di bayang-bayang ketergantungan. Sementara SDA kita dikelola oleh pihak lain yang lebih siap dan mapan secara finansial. (#)

Baca Juga:  Jumlah Pengangguran di Indonesia Mencapai 7,47 Juta

Penyunting Mohammad Nurfatoni