Apakah syura itu? Samakah syura dengan demokrasi? Masalah-masalah apakah yang tidak boleh dimusyawarahkan? Bagaimana musyawarah dilakukan?
Oleh Ustaz Ahmad Hariyadi, M.Si, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam An-Najah Indonesia Mandiri (STAINIM).
Tagar.co – Kata syura tidak seberapa dikenal di Indonesia. Berbeda dengan derivat kata ini, musyawarah, yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia. Musyawarah secara bahasa berarti mengeluarkan atau menampakkan (sesuatu). Secara istilahi berarti meminta pendapat orang lain atau umat mengenai suatu urusan. Musyawarah juga biasa diartikan perundingan, karena dalam perundingan, setiap perunding diharapkan mengemukakan pendapatnya untuk menyelesaikan masalah bersama.
Dari 114 surat dalam Al-Qur’an, terdapat satu surat yang bernama surat Asy-Syura, yaitu surat ke-42. Dan terdapat dua ayat yang memuat kata syura dan derivatnya yaitu Asy-Syura/42:38 dan Al-Imran/3:159.
Baca juga: Yaumulakhir, Empat Fase Terjadinya Hari Kiamat
Karena pentingnya musyawarah sampai Allah memerintahkan agar bermusyawarah dalam menyelesaikan suatu masalah sebagaimana terdapat dalam Al-Imran/3:159 “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
Syura dan Demokrasi
Saat ini dihembuskan istilah demokrasi, yang esensinya memberikan kedaulatan tertinggi kepada rakyat. Demokrasi juga menjelaskan bahwa suara mayoritaslah yang menjadi patokan.
Sistem ini berbeda dengan syura, yang meletakan syariat (hukum Allah) di atas segala-galanya, tanpa terperangkap oleh suara mayoritas atau suara minoritas. Sebab patokan kebenaran bukan kepada mayoritas atau rakyat, melainkan pada nilai-nilai Ilahiah. Taruhlah mayoritas rakyat menganggap judi itu benar dan menginginkannya (demokrasi), tetaplah judi itu salah, sebab memang tidak dibenarkan oleh syariat (syura).
Dari sisi objek kajiannya (materi yang dimusyawarahkan), juga terdapat perbedaan antara syura dengan demokrasi seperti tersebut di atas. Dalam sistem demokrasi objek yang menjadi kajian tak terbatas, sedangkan sistem syuramengkaji masalah-masalah yang tidak diungkap secara tegas dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kasus Perang Uhud
Ketika akan menghadapi Perang Uhud, terjadi perbedaan strategi di kalangan umat Islam. Sebagian menginginkan untuk menyambut musuh di dalam kota Madinah, sedangkan sebagian ingin menyambut di luar kota. Kemudian Rasulullah sSw—setelah mempertimbangkan berbagai masukan—memutuskan: “… idak selayaknya seorang Nabi kalau sudah mengenakan pakaian perangnya untuk melepas lagi, hingga Allah memutuskan antara dirinya dengan musuhnya …”.
Dalam menghadapi setiap permasalahan, hanya satu kaidah yang harus dipegang umat Islam yaitu mengembalikan ke jalan dan cara yang telah digariskan Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian …” (An-Nisa’/4:59).
Jika sampai terjadi pertentangan antar(kelompok) umat Islam, Allah mengajarkan: a. Berdamai, jika yang berbuat aniaya telah kembali ke tatanan Ilahi. b. Memerangi kelompok yang berbuat aniaya (Al-Hujurat/49:9). c. Menggunakan juru damai dari dua pihak yang bersengketa (An-Nisa’/4:35).
Dengan sedikit gambaran perbedaan tersebut jelas kiranya bahwa, Islam menghendaki sistem syura. Syura lebih baik dari demokrasi, apalagi dengan otoritarian (sikap sewenang-wenang). Maka kembalilah ke jalan Tuhanmu! (#)
Penyunting Mohammad Nurfatoni