Budaya

Umar Kayam, Sastrawan yang Berseberangan Visi dengan Sukarno

×

Umar Kayam, Sastrawan yang Berseberangan Visi dengan Sukarno

Sebarkan artikel ini
Umar Kayam
Umar Kayam. TEMPO/Rully Kesuma

Umar Kayam pernah bermain film dengan memerankan Ir. Sukarno dalam film G 30 S/PKI. Dari pengalaman inilah, dia mendapatkan sensasi di luar dugaan saat tidur di ranjangnya. 

Tagar.coUmar Kayam dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur, tepatnya 30 April 1932. Nama tersebut dipilih ayahnya sebagai penghormatan kepada filsuf, matematikawan, astronom, dan penyair Persia terkenal, Omar Khayyam.

Sastrawan yang sering disapa Uka ini adalah seorang anak dari keluarga priyayi, sehingga dia diberi gelar Raden Mas.

Saat berkuliah di Fakultas Pedagogik, Universitas Gadjah Mada (UGM), dia meraih gelar sarjana muda pada tahun 1955. Selain itu, Uka juga aktif dalam bidang teater, yang membantu menghidupkan seni teater di kampus tersebut. Ia juga menjadi guru bagi W.S. Rendra.

Setelah menyelesaikan studinya di UGM, Uka melanjutkan pendidikannya di Universitas New York pada tahun 1963 untuk meraih gelar master. Kemudian, dia melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Cornell pada tahun 1965.

Kayam dikenal luas dalam berbagai bidang, mulai dari sastra, birokrasi, akademisi, sosiologi, budayawan, hingga akting. Sebagai seorang birokrat, dia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film di Departemen Penerangan dan juga menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Perwakilan Sementara (MPPS).

Baca juga: Buya Hamka: Adat Minangkabau dan Kepeduliannya pada Nasib Umat

Pengabdian Kayam dalam bidang seni terlihat dari perannya dalam beberapa film di Indonesia, termasuk perannya sebagai Presiden Sukarno dalam film G 30 S/PKI. Dia juga menulis beberapa skenario film seperti Yang Muda Yang Bercinta (1977), Jalur Penang, dan Bulu-Bulu Cendrawasih pada 1978.

Baca Juga:  Perginya sang Muazin

Selain itu, Kayam juga memiliki sejumlah karya sastra, baik dalam bentuk cerpen maupun novel, seperti Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Sri Sumarah dan Bawuk, Para Priyayi, Parta Krama, dan Jalan Menikung.

Karya-karyanya memiliki daya tarik yang kuat bagi pembaca, sehingga beberapa di antaranya seperti Seribu Kunang-Kunang di Manhattan dan Sri Sumarah dan Bawuk telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Tak hanya itu, Kayam juga aktif menulis esai di surat kabar Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, selama 17 tahun. Tercatat ada tiga kumpulan esai yang ditulisnya, seperti “Mangan Ora Mangan Kumpul”, “Sugih Tanpa Banda: Mangan Ora Mangan Kumpul 2”, dan “Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih: Mangan Orang Mangan Kumpul 3“.

Kayam meninggal pada usia 69 tahun, tepatnya pada 16 Maret 2002 di Jakarta, meninggalkan warisan karya yang berharga.

Perankan Sukarno

Budayawan Umar Kayam mungkin memiliki pandangan yang berseberangan dengan Presiden Sukarno, namun dia tetap bersedia memerankan tokoh tersebut dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Alasannya sederhana, persahabatan dengan sutradara film itu, Arifin C. Noer.

Film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang dirilis pada tahun 1984, merupakan versi rezim Orde Baru tentang peristiwa G30S. Film ini menandai peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto.

Saat syuting film tersebut, dia mendapatkan kesempatan istimewa untuk tidur di ranjang Sukarno di Istana Bogor dan bahkan naik jipnya. Pengalaman ini membuatnya merasakan aura Sukarno secara langsung, bahkan para pelayan di istana pun sempat mengira dia adalah Bung Karno.

Baca Juga:  Pesan Moral Novel ‘Ayah’ Karya Andrea Hirata

Baca juga: Hanum Rais Kirim Surat Terbuka ke Erina Gudono: Lukai Perjuangan Kami

Meskipun Kayam memerankan Sukarno, dia sebenarnya lebih dikenal sebagai sastrawan dan seniman. Dia adalah dosen sosiologi sastra di UGM dan sering terlihat bersepeda di kampus atau bercanda di warung kopi.

Kayam memiliki pandangan yang berbeda dengan Sukarno soal film. Saat menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan (1966-1969), Kayam membuka kembali pintu masuknya film barat ke Indonesia, yang sebelumnya dilarang oleh Sukarno.

Baca juga: Perjalanan Terakhir Buya Hamka, Catatan Media dan Sahabat

Selain sastrawan dan seniman, Kayam juga dikenal sebagai penulis skenario film, seperti Jalur Penang dan Bulu-bulu Cendrawasih (1978). Dia juga rajin menulis kolom di berbagai media massa dengan gaya yang ringan dan penuh renungan.

Selain itu, Umar Kayam juga pernah menjabat sebagai Guru Besar Fakultas Sastra di UGM, Yogyakarta. Dia juga terkenal karena novelnya yaitu Para Priyayi dan kumpulan esainya yang terbit di Tempo dan Kedaulatan Rakyat. (#)

Jurnalis  Ichwan Arif Penyunting Mohammad Nurfatoni