Cerpen

Ayah Hampir Menjadi Perampok

×

Ayah Hampir Menjadi Perampok

Sebarkan artikel ini
Ilustasi cerpen Ayah Hampir Menjadi Perampok
Ilustasi cerpen Ayah Hampir Menjadi Perampok

Kehidupan orang tuaku pas-pasan. Setelah tempat kerja ayah bangkrut, dia bekerja serabutan. Suatu ketika, temannya menawarkan pekerjaan yang harus dilakukan pada malam hari.

Cerpen oleh Bekti Sawiji, ASN di Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lumajang Jawa Timur

Tagar.co – Aku sakit. Ibu menangis. Ayah senang sekaligus sedih menyambutku. Sebagai bayi yang tidak mau menyusu kepada ibu, kelahiranku membuat beban perekonomian keluarga. Semakin berat karena ayah harus berjuang keras untuk mendapatkan susu buatku.

Kakakku yang empat tahun lebih tua juga menjadi beban pikiran ayah dan ibu karena dia sedang dalam masa pertumbuhan dan butuh asupan makanan yang cukup.

Pada tahun 1970-an, perekonomian masyarakat masih tergolong rendah. Lebih banyak orang hidup susah. Dan di antara yang susah itu, masih ada yang jauh lebih susah.

Kamilah itu. Ibu tidak bekerja, ayah bekerja tetapi rok-rok asem. Kadang ada yang menyuruh ayah membersihkan lahan ilalang. Ayah, yang telah lama menjadi staf administrasi pada sebuah perusahaan teh yang bangkrut, tidak terbiasa bekerja di sawah atau ladang, apalagi menggunakan jombret.

Jadi pekerjaan menjombret ilalang adalah pekerjaan yang menyiksa, terlebih sawahnya luas dan bayarannya tidak seberapa. Beberapa kali ayah mengeluh telapak tangannya mengelupas akibat terlalu sering memegang dan mengayun-ayunkan jombret.

Pada kesempatan lain, ayah juga disuruh untuk mengecat rumah orang. Ini lebih ringan karena pekerjaannya mudah dan bekerja di tempat yang teduh. Tetapi dari segi penghasilan sama saja. Terlalu sedikit untuk menghidupi keluarga. Mencari pekerjaan tetap seperti pelayan toko, pesuruh, atau kuli pun sulit didapat saat itu. Ayah menjadi semakin bingung.

Baca juga: Pita Suaraku Rusak

Dalam kekalutan karena aku sakit, ayah kedatangan seorang teman lamanya. Dari pembicaraan mereka terlihat jika ayah nampak bersemangat. Dari kamar sambil menggendongku, ibu menguping pembicaraan mereka. Sesekali ibu menimang aku yang belum berumur sebulan, menggoyang-goyang aku dalam gendongannya agar aku berhenti merengek.

Ssttt… diam Nak, rupanya, teman ayah orang yang baik,” kata ibu sumringah.

“Dia akan memberi ayah pekerjaan dan kamu bisa minum susu sepuasmu, kakakmu bisa makan sepuasnya,” lanjut ibu lagi sambil menitikkan air mata. Air mata kebahagiaan.

Di ruang tamu, ayah dan temannya melanjutkan mengobrol. Dia mengatakan kepada ayah bahwa pekerjaan yang akan dilakukan ayah adalah pekerjaan yang mudah, namun hasilnya besar.

Ayah sangat mempercayai temannya itu karena dari penampilannya. Orang itu berpakaian necis untuk ukuran saat itu. Membawa beberapa bungkus rokok dan korek api. Dia juga datang ke rumahku dengan mengendarai honda CB.

“Mas, kalau kamu hanya ngecat rumah orang, kapan kamu bisa kaya dan bagaimana kamu memberi susu anak-anakmu,” begitu kata teman ayah.

Baca Juga:  Taufiq Ismail Raih Anugerah Sastrawan Mastera dari Brunei Darussalam

“Jadi, Mas Sifak mau bergabung dengan kami, ya?” tanya orang itu lagi.

Sebuah tawaran manis bagi ayah. Betapa tidak, menurut temannya itu, pekerjaan gampang tetapi hasil besar. Dalam keadaan ekonomi yang menghimpit, tentu tawaran ini bagaikan oase di padang yang tandus.

Tetapi ayah masih memiliki ganjalan karena hingga saat itu ayah belum tahu apa pekerjaan yang akan dia lakukan. Saat ayah mendesak bertanya tentang pekerjaannya itu, temannya mengelak memberitahu secara jelas.

Baca jugaJalan Kembali

“Tenang, Mas Sifak. Gampang kok, nanti tahu sendiri,” jawab orang itu.

Ayahpun terdiam dan berusaha menyembunyikan rasa penasaran yang sangat mendalam. Akhirnya ayah berkompromi dengan batinnya bahwa tidak dipungkiri dia sangat membutuhkan pekerjaan itu.

Keinginan bergabung dan bekerja dengan temannya semakin menggelora saat melihat aku selalu menangis sakit. Alih-alih membawaku ke rumah sakit, ayah dan ibu hanya membawaku ke tukang suwuk di desa.

“Baiklah,” kata ayah. “Demi anak dan istriku, aku akan bekerja denganmu.”

Teman ayah pun senang, menyeruput kopinya yang terakhir lalu bangkit. Dia berpamitan pulang kepada ayah dan meninggalkan beberapa bungkus rokok di meja. Sebelum bersalaman, orang itu mengeluarkan dompet dari saku celananya, mencabut beberapa lembar uang kertas dan menyodorkannya kepada ayah.

“Mas Sifak, ini buat belikan susu anak-anakmu. Bawa dia ke Pak Mantri, jangan hanya ke tukang suwuk,” kata orang itu sambil menjabat tangan ayah berbalik dan keluar rumah. Ayah tertegun sejenak lalu membuntuti temannya keluar.

“Aku akan kembali dalam tiga hari ini, Mas,” pungkas temannya sambil menstarter motornya, bruung…bruunng… lalu melesat.

Ayah belum berkedip sampai temannya lenyap di ujung gang kecil itu.

Betapa bahagiannya ayah dan ibu mendapatkan rezeki yang tidak terduga itu. Jika dikonversi, mungkin uang itu setera penghasilan tukang jombret beberapa bulan.

Tanpa banyak bicara mereka membawaku ke seorang perawat di desa yang dipanggil sebagai Pak Mantri atau tukang suntik. Setelah itu, ayah membelikan aku susu, makanan bayi, dan membelikan makanan untuk kakak.

Baca jugaAyah Kecil dan Benda Mirip Delima

Ayah memberikan sisa uang yang dipakai belanja keperluanku kepada ibu. Ayah berpesan agar ibu menggunakan uang itu dengan bijak. Untuk beberapa minggu ke depan, kehidupan kami akan aman karena sisa uang itu masih bisa untuk menutupi biaya hidup.

Keesokan harinya, ayah menunggu kedatangan temannya dengan hati dag dig dug. Bagaimanapun, ayah masih penasaran dengan pekerjaan yang akan diberikan temannya. Hingga malam hampir menjelang, yang ditunggu-tunggu tidak datang juga. Ayah berpikir, mungkin temannya akan tiba besok.

Ayah masuk ke ruang tengah. Belum lama ayah masuk, terdengar suara sepeda motor meraung-raung di depan rumah lalu mesinnya mati.

Baca Juga:  Taufiq Ismail: Antara Nasionalisme dan Penyair Partisan

“Itu dia!” gumam ayah.

Bergegas ayah keluar untuk menyambut temannya. Tetapi yang datang bukan temannya. Agak kecewa, ayah menemui tamu itu yang ternyata adalah seorang Cina 60 tahunan. Fuk Lai namanya, pemilik toko peracangan di jalan raya.

Orang yang biasa dipanggil Yuk Puk Leh itu memang kenal dengan ayah, meskipun tidak terlalu dekat. Disilakanlah dia masuk.

Ternyata Yuk Puk Leh akan memberikan ayah pekerjaan.

“Oe dengar kamu nganggur,” katanya.

“Benar, saya memang beberapa waktu ini menganggur. Oh ya, pekerjaan apa, Yuk?” tanya ayah basa-basi kepada Fuk Lai.

Baca jugaInsomnia

Ayah sudah tidak mencari pekerjaan karena ayah sudah berjanji untuk bekerja dengan temannya. Jadi, tidak mungkin ayah mengecewakan temannya dengan menerima tawaran Yuk itu.

“Membersihkan kandang babi setiap pagi dan sore,” jawab Yuk menjelaskan.

Tidak ingin berlama-lama dan tidak ingin memberikan harapan, ayah berterima kasih dan segera menjelaskan kepada Yuk itu dengan baik-baik. Ayah mengatakan bahwa dia baru saja mendapatkan pekerjaan dan tidak mungkin untuk dilepaskan. Yuk pun memahami dan berpamitan pulang.

“Baiklah, saya pamit pulang. Kalau  nanti butuh datang saja ke rumah Oe, yah?” ujar Yuk masih memberikan peluang kepada ayah. Sekali lagi ayah mengucapkan terima kasih dan melepaskan tamunya.

Sambil masuk ke rumah, dia membayangkan betapa jijiknya jika membersihkan kandang babi. Membayangkan hal itu ayah hendak mual muntah. Melihat itu, ibu bertanya apa gerangan yang menyebabkan ayah mau muntah.

Setelah dijelaskan, ibu dan ayah tertawa terbahak-bahak. Aku menangis keras di kamar hingga membuat ayah dan ibu berhenti tertawa lalu menghampiriku.

Keesokannya, teman ayah yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tetapi waktunya cukup larut, sekira pukul 10 malam. Bagaimanapun ayah menerimanya dengan senang hati, begitu pula ibuku.

Rasa percaya yang tinggi kepada temannya membuat ayah tidak menaruh curiga sedikit pun ketika pekerjaan yangdijanjikan itu hanya bisa dikerjakan pada malam hari.

Baca jugaDorbok!

Sambil minum kopi buatan ibu, mereka mengobrol.

“Nanti ku jelaskan di tempat kerja saja, Mas,” jelasnya saat ditanya tugasnya oleh ayah.

“Kita tidak berdua Mas. Teman saya yang dua orang sudah menunggu di tempat kerja kita.”

Setelah sejam lebih mengobrol, mereka pun berangkat. Ayah berpamitan kepada ibu. Ibu melepas dengan suka rela, sementara aku menangis, tiada henti.

Ayah dan temannya berangkat berdua dengan sepeda motor. Pada masa itu, pukul 11-12 malam, kota serasa mati. Tidak ada kehidupan sama sekali. Belum lagi tidak ada penerangan jalan yang menyala hingga larut malam.

Hati ayah berdebar, meskipun tiada takut sama sekali. Kemudian mereka berhenti di depan sebuah toko emas terbesar di kota. Ternyata di depan toko itu sudah ada dua orang dan sebuah sepeda motor. Mereka adalah orang-orangnya teman ayah. Sampai di sini, ayah masih berbaik sangka kepada temannya.

Baca Juga:  Hanum Salsabiela Rais dan Perjuangan Melawan Islamophobia

“Mungkin pemilik toko ini membutuhkan pelayan,” pikir ayah.

Dia juga menduga-duga. “Atau toko ini membutuhkan tenaga produksi perhiasan atau tenaga kasar lainnya.”

“Tetapi, mengapa harus malam hari?” tanya ayah dalam hati.

Lalu temannya menghampiri ayah dan memberikan briefing. “Mas, saya bertiga akan masuk ke dalam  toko. Mas Sifak cukup berdiri di sini. Dan pegang ini,” katanya sambil menyorongkan sebuah senjata api berjenis pistol.

Betapa terkejutnya ayah melihat situasi ini. Keringat dingin menyembul dari pori-pori dahinya bagai butiran-butiran jagung. Belum sempat ayah meminta penjelasan temannya berkata lagi.

“Mas Sifak hanya berdiri di sini, pegang pistol ini baik-baik, gunakan pada saat yang tepat,” jelasnya.

“Miskar!!!! Kamu merampok???” seru ayah kaget.

“Tenang Mas Sifak. Kita akan baik-baik saja,” jawabnya.

“Miskar, aku tidak bisa bergabung bersamamu dalam pekerjaan ini,” kata ayah mulai lantang.

“Mas Sifak sudah tahu pekerjaan kami. Itu artinya bahaya,” kata temannya intimidatif.

“Kamu mengancamku, Miskar? Lakukan kalau kamu berani.”

“Aku tidak takut sama sekali. Lebih baik kamu tembak aku daripada aku membunuh orang,” kata ayah sambil mengembalikan pistol itu.

Ayah membalikan tubuhnya lalu pergi dan meninggalkan mereka bertiga dengan berjalan kaki.

Diceritakannya peristiwa ini kepada ibu. Ibu menangi dan sekaligus bangga kepada ayah karena berani menolak ajakan untuk menjadi perampok.

Baca juga: Lurah Jadug

***

Dua hari kemudian, buru-buru ayah masuk ke rumah menemui ibu. Sambil menggendongku, ibu kaget dan bertanya ada apa.

Ayah bercerita bahwa baru saja mampir ke rumah Pak Mardi untuk membaca koran. Karena ada berita yang sangat penting, ayah izin meminjam koran itu untuk dibawa pulang untuk ditunjukkan kepada ibu.

Lalu ayah membuka halaman berita kota dan menunjukan kepada ibu sebuah headline yang berbunyi Miskar, Perampok Raja Tega Tewas Didor Polisi, Dua Temannya Ditahan.

Ibu gemetar dan lunglai. Dilempar koran itu dan aku dibaringkan di kasur. Ibu menangis dan ayah menenangkan. Butuh waktu lama agar ibu kembali kuat menghadapi kenyataan pahit itu. Hampir saja suaminya terlibat perampokan dan bisa juga menjadi korban penembakan oleh polisi.

Setelah ibu agak tenang, ayah berpamitan kepada ibu untuk mencari pekerjaan.

“Ayah akan mencari kerja ke mana?” tanya ibu.

“Aku akan pergi ke rumah Yuk Puk Leh,” jawab ayah. (#)

Lumajang, 27 Agustus 2024

Penyunting Ichwan Arif

Catatan:

  1. Rok-rok asem: sehari bekerja, beberapa hari libur
  2. Jombret: adalah sejenis sabit tetapi gagang dan bilah sabitnya lebih panjang.
  3. Oe= Saya (Cina)
Cerpen Tarko
Cerpen

Tarko, mantan preman, diikuti warga yang curiga terhadap…