Rileks

Membonceng Bung Karno di Rumah Pengasingan Bengkulu

×

Membonceng Bung Karno di Rumah Pengasingan Bengkulu

Sebarkan artikel ini
Membonceng Bung Karno di Rumah Pengasingan Bengkulu (Tagar.co/Istimewa)

Rumah Pengasingan Sukarno menjadi saksi sejarah perjuangan merebut kemerdekaan. Pada tahun 1938 Bung Karno diasingkan Belanda di sebuah rumah di Bengkulu. Beruntung saya pernah mengunjunginya dan memboceng ‘Bung Karno’.

Tagar.co – Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda, Ir. Sukarno berkali-kali diasingkan—istilah halus ‘dipenjara’.

Mengutip kemdikbud.go.id, awalnya Bung Karno bersama dengan Maskoen Soepriadinata dan Gatot Mangkoepradja pada tanggal 29 Desember 1929 ditangkap oleh Belanda dan dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung. 

Setelah diadili dan dinyatakan bersalah karena melakukan tindakan yang meresahkan pemerintah Belanda akhirnya dia dipindahkan ke penjara Sukamiskin di Bandung. Karena dirasa masih sangat vokal dan berbahaya bagi pemerintahan Belanda, setelah bebas pada tanggal 31 Desember 1931, Sukarno kemudian diasingkan ke daerah-daerah yang sulit diakses pada saat itu.

Baca juga: Kisah Fatmawati Menjahit Bendera Pusaka Merah Putih

Penyambung lidah rakyat Indonesia ini pernah dikucilkan ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Selama di Ende Bung Karno mengalami sakit keras akibat wabah malaria. Tekanan untuk memindahkan Bung Kanro dari Ende disuarakan oleh para tokoh di Batavia. Salah satunya oleh Mohammad Husni Thamrin. 

Thamrin yang pada saat itu merupakan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) melayangkan protes kepada pemerintah Belanda. Aksi protes tersebut kemudian membuahkan hasil, Bung Karno dipindahkan dari Ende ke Bengkulu sebagai tempat pengasingan selanjutnya. 

Baca Juga:  Pengumuman Finalis Festival Faqih Usman Ke-8 Tahun 2024

Baca jugaGaruda di IKN Menunduk, Malu dan Lesu?

Selama pengasingannya di Bengkulu, Bung Karno ditempatkan di sebuah rumah yang awalnya adalah tempat tinggal pengusaha bernama Tan Eng Cian. Tan Eng Cian menyuplai bahan pokok untuk kebutuhan pemerintahan kolonial Belanda.

Terletak di jantung Kota Bengkulu, rumah yang berada di Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka ini adalah rumah pengasingan sang Bapak Proklamator tersebut. 

Bung Karno diasingkan seorang diri ke Bengkulu pada tahun 1938 dan beberapa pekan kemudian disusul oleh istrinya saat itu, Inggit Garnasih dan anak angkatnya Ratna Djuami. Bung Karno menempati rumah ini dari tahun 1938 hingga tahun 1942.  

Rumah Pengasingan Sukarno di Bengkulu (Tagar.co/Mohammad Nurfatoni)

Berkunjung ke Rumah Pengasingan

Pada 16 Februari 2019 saya berkesempatan mengunjungi Rumah Pengasingan Sukarno yang terletak di Jalan Soekarno Hatta Bengkulu. Memasuki tempat bersejarah itu, kesan pertama, rumah itu begitu asri karena dikelilingi halaman dengan hamparan rumput dan beberapa tanaman keras. 

Untuk memasuki rumah berwarna dominan putih dengan kusen, pintu, dan jendela bercat kuning itu, pengunjung harus berjalan melawati halaman depan sepanjang kurang lebih 100 meter.

Begitu tiba, seorang petugas langsung mempersilakan menulis buku tamu yang ada di teras rumah. Dari teras itulah kita akan terhubung ke semua ruangan. Inilah kesan kedua soal keunikan rumah itu. Semua ruang dihubungkan oleh pintu.

Baca Juga:  Partai Anies Baswedan Menurut Grok, Asisten AI di Platform X

Baca jugaEmpat Macam Kemerdekaan, Sudahkah Dirasakan Bangsa Indonesia?

Bersebelahan dengan teras adalah ruang kerja Bung Karno. Sepanjang dindingnya dihiasi oleh foto-fotonya saat masa pengasingan. Mulai di Banceuy Bandung (1929), Sukamiskin (1931), Ende (1934-1938), Bengkulu (1938-1942), Berastagi dan Perapat (1948), hing Muntok (1949).

Di tempat itu terdapat dua replika surat yang disimpan dalam sebuah kotak kaca yakni Surat Biaya Perjalanan dan Surat Kenaikan Tunjangan Bung Karno. Beberapa buku berbahasa Belanda dan Inggris peninggalan Bung Karno juga disimpan di sebuah lemari kaca di ruang ini.

Ruang tamu di Rumah Pengasingan Sukarno di Bengkulu (Tagar.co/Mohammad Nurfatoni)

Surat Nikah

Ruang kerja Bung Karno itu bisa tembus ke ruang tamu karena ada pintu yang menghubungkannya. Di ruang berukuran 4×4 meter itu ada meja kursi kayu yang—menurut sang penjaga rumah waktu itu, Roni Apriyanto—masih asli. Ada pula sepeda ontel Bung Karno.

Selain tembus ke ruang tamu, kamar tidur tamu tadi juga bisa terhubung ke kamar tidur Bung Karno dan Inggit Ganarsih, istri kedua Soekarno yang mendampingi selama pengasingan di Bengkulu pada tahun 1938-1942. 

Di ruang itu disimpan replika Surat Nikah Bung Karno dengan Inggit Ganarsih yang berlangsung tanggal 24 Maret 1923. Selain itu ada Surat Rahasia Residen Bengkulu kepada Gubernur Sumatera tentang penjelasan pengiriman sejumlah uang setiap bulan oleh Soekarno untuk anak angkatnya Omi di Bandung.

Juga terdapat ranjang besi dan sebuah lemari kayu yang berisi baju-baju seragam grup tonil Monte Carlo asuhan Soekarno semasa di Bengkulu. Baju-baju asli itu juga disimpan di kamar tidur Ratna Djuami (Omi) dan Sukarti/Kartika yang terletak berseberangan dengan kamar tidur utama.

Baca Juga:  Terhindar dari Makanan Haram di Taiwan gara-gara Tertidur di Masjid

Omi dan Kartika adalah anak angkat Bung Karno dan Ibu Inggit. Uniknya tadi, kamar ini juga terhubung oleh pintu ke ruang tamu.

Bung Karno di halaman Rumah Pengasingan Sukarno di Bengkulu (somber foto: kemdikbud.go.id)

Ikut Membonceng Bung Karno

Bagian belakang rumah pengasingan ini adalah teras yang luas. Di situ terdapat meja makan. Di teras belakang ini pula disediakan photo booth di mana pengunjung bisa berfoto seperti sedang dibonceng sepeda ontel oleh Bung Karno. Saya pun menyempatkan berfoto dengan membonceng Bung Karno naik sepeda ontel.

Yang juga menarik, di halaman belakang rumah masih terdapat sumur masa pengasingan itu. “Silakan mencoba airnya, Pak,” ujar Roni mempersilakan saya menggunakan air sumur yang masih harus diambil memakai timba itu.

Untuk memasuki dan mengenang perjuangan Bung Karno itu, pengunjung hanya perlu merogoh uang ribuan. Sangat terjangkau, tapi semoga saja sejarah bangsa ini tidak ikut ‘dihargai’ murah. 

Seperti pesan Jasmerah Bung Karno, pada pidato di depan MPRS, 17 Agustus 1966, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.” (*)

Penulis Mohammad Nurfatoni