Abdul Kahar Muzakkir adalah salah satu pendiri bangsa. Dia termasuk anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional 8 November 2019. Pemikirannya belum banyak tergali.
Tagar.co – K.H. Abdul Kahar Muzakkir (1907-1973) adalah anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
BPUPKI dibentuk oleh Pemerintah Jepang ini untuk mengkaji, mendalami, dan menyelidiki bentuk dasar negara yang cocok untuk Indonesia pascakemerdekaan. Dengan kata lain, BPUPKI dibentuk untuk mempersiapkan proses kemerdekaan Indonesia.
Anggota BPUPKI terdiri atas 60 orang anggota biasa, 6 anggota tambahan, dan 7 orang anggota istimewa. Selain Abdul Kahar Muzakkir, ada nama-nama beken pejuang kemerdekaan lainnya.
Yakni Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, M. Muhammad Yamin, Haji Agus Salim, K.H. A. Wachid Hasyim, Soekiman Wirjosandjojo, K.H. Ahmad Sanusi, A.R. Baswedan, atau Supomo.
Baca juga: Ki Bagus Hadikusumo dan Cita-Cita Islam sebagai Dasar Negara
Selain sebagai anggota BPUPKI, Abdul Kahar juga sebagai anggota Panitia Sembilan yang menghasilkan rumusan resmi pertama Preambule (Pembukaan) Undang-Undang Dasar 1945 seperti dirumuskan dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Dia kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 8 November 2019 setelah diusulkan sejak tahun 2012.
Terabaikan
Meski namanya terabadikan dalam sejarah pembentukan Negara Republik Indonesia, ternyata nama dan pemikiran Kahar Mudzakkir tidak terlalu banyak dikenal.
Menurut Lukman Hakiem dalam buku Dari Panggung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan Peristiwa, Lukman Hakiem (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, November 2020), hal itu disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, sifat tawadu (rendah hati) para pemimpin kita di masa itu, termasuk Abdul Kahar, yang tidak mau menuliskan apa yang pernah mereka perbuat untuk negeri ini.
Kedua, sejarah tidak cukup berbaik hati untuk mencatat peranan mereka. “Berbagai buku sejarah politik dan konstitusi Indonesia bagai melupakan tokoh kelahiran Yogyakarta ini,” tulisnya. Padahal Abdul Kahar pada 1 Juni 1945 menyampaikan pikirannya mengenai dasar negara Indonesia yang akan dibentuk.
Baca juga: Ki Bagus Hadikusumo, Pemimpin yang Hidup secara Kerakyatan
Pidato Abdul Kahar bersama anggota BPUPKI lainnya tidak pernah dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Menurut buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, pada persidangan pertama BPUPKI 29 Mei-31 Mei 1945, terdapat 31 anggota yang menyampaikan pidato.
Akan tetapi risalah sidang hanya memuat notula pidato-pidato Yamin (29 dan 31 Mei 1945), Soepomo (31 Mei 1945), dan Sukarno (1 Juni 1945).
“Ke manakah para tokoh, calon pembicara, yang sudah terjadwalkan itu,” tanya Lukman. “Ini misteri yang mesti diusut oleh para ahli sejarah,” tambahnya seraya bersyukur karena pada tahun 1982 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku A.B. Kusuma yang memuat pidato Ki Bagus Hadikusumo pada 31 Mei 1945.
Sosok Abdul Kahar Mudzakkir
Pada usia 17 tahun, selepas menyelesaikan Pendidikan di berbagai pondok pesantren dan Madrasah Mambaul Ulum, Surakarta, Abdul Kahar merantau. Semula ke Makkah untuk berhaji. Setahun kemudian dia di Mesir untuk melanjutkan pendidikan.
Selama 12 tahun di Mesir, Abdul Kahar yang kuliah di Universitas Al-Zahar, lalu di Universitas Darul Ulum, aktif memperkanalkan Indonesia yang sedang berjuang melepaskan diri dari penjajahan Belanda melalui tulisannya di koran-koran Mesir. Seperti Al-Ahram, Al-Balagh, dan Al-Hayat.
Abdul Kahar juga bersahabat dengan tokoh Ikhwanul Muslimin penulis Tafsir Fi Dzilalil Quran, Sayyid Qutb. Dia juga pernah menjadi aktivis Partai Wafd. Berkata aktivitasnya itu Abdul Kahar popular di Mesir.
Baca juga: Soekarno atau Sukarno?
Maka pada tahun 1931, dia diminta oleh Mufti Besar Palestina Sayid Amin Husaini untuk menghadiri Muktamar Islam Internasional di Palestina mewakili Asia Tenggara.
Kesempatan berharga ini dia manfaatkan untuk lebih mengenalkan kondisi Indonesia yang mayoritas Muslim dan meminta dukungan Muktamar untk perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan.
Aktivitas Abdul Kahar selama di Mesir, kelak mempermudah iktiar Haji Agus Salim, A.R. Baswedan, dan H.M. Rasjidi untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan RI dari Mesir.
Menurut pengakuan Rasjidi, pada tahun 1930-an di Mesir dan Timur Tengah, public bersimpati pada Indonesia karena aktivitas Abdul Kahar yang merupakan personifikasi Indonesia di Timur Tengah.
“Jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum ada duta besar Indonesia di Mesir, Abdul Kahar telah menjalankan tugas itu dengan sebaik-baiknya,” tulis Lukman. Jika di Mesir ada Abdul Kahar, di Belanda ada Soekiman Wirjosandjojo yang memperkenalkan Indonesia di luar negeri.
Perhimpunan Indonesia
Pada 1933, Abdul Kahar turut serta membentuk Perhimpunan Indonesia Raya (PIR) di Mesir yang merupakan jaringan dari Perhimpunan Indonesia di Belanda dan terpilih menjadi ketua. PIR di bawah pimpinan Abdul Kahar kemudian mendirikan Kantor Berita Indonesia Raya. Tuntutan Indonesia merdeka disiarkan oleh kantor berita tersebut.
Baca juga: Jenderal Soedirman Kader Tulen Muhammadiyah
Perhimpunan Indonesia (PI) adalah perubahan nama organisasi para mahasiswa pribumi di Belanda dari De Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia-Belanda) menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Peristiwa kecil yang sebenarnya revolisuioner ini terjadi pada tahun 1930-an.
Tidak berhenti sampai di situ, para mahasiswa itu mengubah nama majalah organisasinya “Indonesia merdeka, sekarang!”, dan mengeluarkan “Manifesto Politik” yang dari Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka, memperkenalkan semboyan berisi hasrat untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia yang demokratis.
Peristiwa Sederhana tapi Fundamental
Menurut sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah, seperti dikutip Lukman Hakiem, peristiwa sederhana itu sekaligus mengatakan tiga hal yang fundamental: (1) adanya sebuah bangsa yang bernama Indonesia, (2) adanya sebuah negeri yang bernama Indonesia, dan (3) bangsa ini menuntut kemerdekaan bagi negerinya.
Para mahasiswa yang tergabung dalam PI di negeri Belanda itulah yang sesungguhnya merupakan pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal. Ketika semua peristiwa radikal-revolusioner di negeri penjajah itu berlangsung, Ketua Pl adalah Soekiman Wirjosandjojo!
Abdul Kahar dan Soekiman kemudian bertemu dalam proses pembentukan Sekolah Tinggi Islam (STI). Soekiman mewakili kalangan ulama dan cendekiawan Muslim. Abdul Kahar mewakili Kantor Urusan Agama (Shumubu); bertemu dalam Muhammadiyah, lalu dalam BPUPK. Dan bertemu dalam Partai Masyumi.
Baca juga: Mohammad Natsir: Jabatan Mentereng, Gaya Hidup Bersahaja
Dibandingkan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang berhenti pada penyatuan tekad akan bangsa yang satu, Tanah Air yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan. Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia 1923 telah melampaui tekad Sumpah Pemuda itu dan menjadikan “Indonesia Merdeka, sekarang!” sebagai tujuan perjuangan.
Anehnya, dengan sekali lagi mengutip Taufik Abdullah, yang mengalami proses mitologisasi, diperlakukan sebagai salah satu tonggak dalam perjalanan sejarah nation-formation, pembentukan bangsa, dan selalu dirayakan, justru Sumpah Pemuda. Bukan Manifesto Politik PI 1923 yang radikal-revolusioner dan lebih kongkret dari sekadar pernyataan tekad itu!
Agama dan Negara Tak Terpisahkan
Abdul Kahar dengan caranya berbicara di sidang BPUPK sambil menggebrak meja, telah mengemukakan pendiriannya dengan jujur dan terang benderang. Mimpi Abdul Kahar sejak awal ialah bagaimana negara Indonesia yang merdeka memberi tempat terhormat dan strategis kepada agama.
Menurut dia antara agama dengan negara memang dapat dibedakan, tetapi dalam keyakinan Abdul Kahar dan banyak pemimpin bangsa yang lain, antara agama dan negara tidak dapat dipisahkan.
Dalam pidato di Konstituante, Abdul Kahar mengecam orang Islam yang merasa tidak perlu menyerahkan kehidupan kepada syariat Islam karena mereka percaya bahwa agama hanya berurusan dengan iman dan ibadah.
Dia menegaskan pendiriannya bahwa ajaran Islam itu mencakup iman, ibadah, moralitas, ajaran, ideologi negara, dan hukum. Bagi Abdul Kahar, syariat Islam akan memberi landasan yang kuat bagi negara dan bangsa.
Dan kegalauan Abdul Kahar, terjawab dengan temuan unik bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang diberlakukan melalui Dekrit Presiden Juli 1959.
Baca juga: Diplomasi Jenaka Haji Agus Salim: Dari Jenggot hingga Pusar Adam
Dekrit Presiden itu diterima secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) hasil pemilihan umum 1955. Itulah jalan pada 22 Juli 1959 panjang penemuan dasar negara kita, Pancasila.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang diterima secara aklamasi oleh DPR hasil Pemilu 1955 itu, menjadi landasan bersama (common platform) bagi semua aliran dan golongan warga negara Republik Indonesia yang harus ditegakkan bersama dengan saling menghormati identitas masing-masing.
Tujuh tahun sesudah Dekrit, lahir Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR Gotong Royong mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia yang mengukuhkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai sumber hukum bagi berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Harus Terus Digali
“Itulah jalan panjang menuju penemuan dasar negara sebagai commont flatform,” kata Lukman. Dalam proses itu terdapat sumbangan pikiran seorang anak bangsa bernama Abdul Kahar Muzakkir. Sayangnya sampai sekarang pikiran-pikiran bernas Abdul Kahar belum banyak terpublikasikan.
Pikiran Abdul Kahar yang masih belum banyak terpublikasikan itu, harus terus digali dan disajikan kepada khalayak ramai. Hal itu penting, bukan saja supaya generasi penerus makin mengenali pikiran para pendahulunya. Juga agar salah paham dan dikotomi dalam hubungan Islam dengan negara segera berakhir. (#)
Mohammad Nurfatoni